Bersama Mengamalkan Islam Sesuai Sunnah (Ajaran) Rasulullah
Islam yang Murni "Islam Manhaj Salaf" (Pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama'ah). Memahami Al-Qur'an dan Hadits atau Sunnah dengan Manhaj (pemahaman) para Sahabat Rasulullah, para Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.
Selasa, 26 Februari 2019
Kamis, 21 Februari 2019
Senin, 18 Februari 2019
Minggu, 17 Februari 2019
Senin, 04 Februari 2019
Jumat, 01 Februari 2019
Senin, 15 Oktober 2018
*Ternyata Ulama Nusantara Beriman Allah Berada di Atas ‘Arsy (Part 1)*
*Allah Beristiwa di Atas Arsy*
Bismillah…
*Ahlussunah
wal jama’ah meyakini bahwa Allah beristiwa di atas Arasy*. Banyak dalil dalam
Al-Qur’an maupun hadis yang menegaskan keyakinan ini.
Selengkapnya
bisa anda pelajari di sini : *Mengimani Allah Berada di Atas Langit*
Bahkan
fitrah atau naluri manusia mengakui, bahwa Allah beristiwa di atas Arasy. Hal
ini ditunjukkan saat ia berdoa kemanakah tangan menengadah?!
Saat
dia mendapatkan musibah atau permasalahan hidup, dia akan berucap pasrah dan
mentabahkan diri, “Kita serahkan semuanya kepada yang di atas.”
Dan
yang menarik, ternyata akidah ini bukanlah akidah yang baru di negeri kita
tercinta. Para ulama Nusantara yang telah mendahului kita, menjelaskan akidah
agung ini. Mari kita selengkapnya pada tulisan Ustadz Firman Hidayat Mawardi
BA* berikut:
***
Syaikh
Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi, guru besar IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta asal Aceh, menjelaskan dalam Tafsir Al-Quran
Al-Majid “An-Nur” (II/123),
“Kemudian
Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, menurut keadaan yang Allah sendiri lebih
mengetahui, serta keadaan itu suci dari menyerupai keadaan makhluk.
Pernah ditanya kepada Malik tentang makna istiwa’=bersemayam,
berketetapan.
Maka
beliau menjawab, “Menurut bahasa istiwa itu terang. Bagaimana Tuhan bersemayam
di atas ‘Arsy, kita tidak dapat mengetahuinya. Menanyakan tentang bagaimana
Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy adalah bid’ah.’ Demikian pendapat sahabat dan
ulama salaf (klasik).
*Ulama
salaf* menerima hal tersebut dengan tidak menjelaskan begini dan begitu, dan
tidak menyerupakan keadaan itu dengan keagaan makhluk. Mereka menyerahkan hal
itu kepada Allah sendiri.
Adapun
*Asy’ariyah* mentakwil (baca: mentahrif/mengobah) makna itu dengan
menyatakan bahwa sesudah menciptkan langit dan bumi, Allah mengatur segala
urusan yang berkaitan dengan itu dan menentukan sistemnya menurut takdir dan
hikmah yang telah ditentukan.”
Berkaitan
dengan penjelasan ayat-ayat istiwa di atas, selain Ash-Shiddieqy sebagai
pemberi penjelasan yang *sesuai dengan pemahaman Salaf Shalih* yang mewakili
ulama-ulama Nusantara, ternyata ada pula ulama yang jauh hidup dari zamannya
yang juga telah terlebih dahulu menjelaskan kepada masyarakat bahwa
*Allah
berada di atas langit, bukan di mana-mana*.
Beliaulah Syaikh
‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri As-Sinkili, Qadhi Kerajaan Aceh pengganti
Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri.
Baiklah,
untuk mempersingkat waktu, saya persilakan Anda mendengarkan penjelasan beliau
dalam Tafsir Turjuman Al-Mustafid.
*Pertama*, pada (I/209) beliau
mengatakan, “Bahwasanya Tuhan kamu, Allah, yang menjadikan tujuh petala langit
dan bumi pada sekira-kira enam hari daripada segala dunia. Kemudian, maka tetap
Ia atas ‘Arsy dengan tetap yang patut dengan Dia.”
*Kedua*, pada (I/250) beliau
megatakan, “Allah Ta’ala jua yang mengangkatkan tujuh petala langit dengan
tiada tiang yang kamu lihat akan dia. Kemudian dari itu, maka disahjanya atas
‘Arsy dengan sahaja yang patut dengan dia dan dimudahkan-Nya matahari, dan
bulan adalah tiap-tiap suatu dari keduanya pada peredarannya datang
kepada hari kiamat.”
*Ketiga*, pada (II/21) beliau
menulis, “Yang menjadikan bumi dan tujuh petala langit yang tinggi itu, yaitu
Tuhan yang bernama Rahman atas ‘Arsy tetap Ia dan yaitu dengan tetap yang
berpatutan dengan Dia.”
*Keempat*, pada (II/74) beliau
menuturkan, “Ia jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara
keduanya pada sekira-kira enam hari dunia. Kemudian maka yaitu Tuhan yang
bernama Rahman itu atas ‘Arsy dengan nyata yang laik (baca: layak) dengan Dia.”
*Kelima*, pada (II/124) beliau
menjelaskan, “Allah Ta’ala jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan
antara keduanya di dalam enam hari. Pertama menjadikan itu hari Ahad dan
akhirnya hari Jum’at. Kemudian dari itu, maka tetaplah Ia dan nyata atas ‘Arsy
dengan nyata yang berpatutan dengan Dia.”
*Keenam*, pada (II/247) beliau
menulis, “Ia jua Tuhan yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada enam
hari daripada segala hari dunia . Awal harinya Ahad dan akhirnya Jum’at.
Kemudian dari itu, maka Ia mengrasa Ia dan nyata Ia atas Kursi dengan yang berpatutan
dengan Dia.”
*Ketujuh*, pada (I/158) beliau pun
menulis, “Bahwasanya Tuhan Kamu itu Allah yang telah menjadikan tujuh petala
langit dan bumi di dalam enam hari daripada segala hari dunia. Kemudian maka
diqashad-Nya atas ‘Arsy-Nya.”
Ringkasnya,
*Syaikh ‘Abdurrauf Al-Fanshuri yang merupakan ulama nomor wahid sebumi Aceh
menjelaskan dengan gamblang, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy
dengan semayam yang bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya*. Maksudnya
ialah bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan
bersemayamnya makhluk di atas singgasananya.
Karena
memang, “Tiada seperti-Nya suatu dan yaitu yang amat mendengar segala yang
dikata lagi amat melihat akan segala yang diperbuat oleh sekalian
makhluk,” jelas beliau pada (II/193).
Apa
yang dipaparkan di atas ini sekaligus sebagai bantahan tajam terhadap *kaum
bid’ah yang bersembunyi di balik nama mulia Ahlussunnah wal Jama’ah yang pada
hakekatnya berfaham sekte Asy’ariyyah atau Asya’irah*. Padahal Abul Hasan Al-Asy’ari
sendiri berlepas diri dari mereka yang menisbatkan diri kepada beliau.
Sebab pernyataan beliau dalam Al-Ibadah (II/105-113).
Sedangkan
para ahli bid’ah *Asy’ariyyah* dan sekte-sekte yang sepaham dengan mereka dari
kalangan *Muktazilah* dan lainnya berpendapat bahwa Allah Ta’ala tidaklah
berada di atas ‘Arsy!
*Artinya
Allah tidak berada di atas. Lalu di manakah?*
*Di
antara mereka ada yang menegaskan bahwa Allah berada di mana-mana. Sehingga
menurut mereka Allah berada di tempat-tempat yang baik dan juga di
tempat-tempat yang kotor* sekalipun yang lisan saja enggan mengucapkannya!
Padahal
mereka sendiri sedikit pun tidak mau bertempat di tempat-tempat yang kotor.
Mereka pastilah lebih memilih di tempat-tempat yang bersih dan baik. Namun
ketika mereka berbicara tentang Allah, mereka katakan,
“Allah
ada di mana-mana!”
Subhanallah, Mahasuci Allah dari
segala yang mereka katakana tentang Allah. Kita hanya mengatakan pada mereka:
تِلۡكَ
إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ
“Kalau
begitu, pembagian semacam itu tidak adil alias curang!” [QS An-Najm: 22]
Ini
sama seperti sikap orang-orang musyrikin yang malu memiliki anak perempuan
sehingga mereka tega mengubur mereka hidup-hidup. Namun ketika mereka bicara
tentang Allah, mereka katakana bahwa Allah memiliki anak-anak perempuan, yaitu
para mailakat! “Kalau begitu, pembagian semacam ini curang!”
*Sebagian
ahli bid’ah pula ada yang mengatakan tanpa rasa malu dan dosa, sebagaimana
kawan sejawat mereka sebelumnya yang mengatakan Allah ada di mana-mana, bahwa
Allah tidak layak dikatakan apakah di atas, di bawah, atau di arah tertentu
yang diketahui manusia*.
Bahkan
mereka katakan, tidak layak dikatakan Allah berada di dalam atau di luar alam
semesta!
Salah
seorang imam mereka, yaitu Ibnu Faurak, pernah terjebak debat terkait masalah
ini dengan seorang ulama Ahlussunnah yang sekaligus panglima perang terkenal
bernama Mahmud bin Subuktikin.
Diantara
yang dikatakan Ibnu Faurak ialah, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah ada di
atas, tidak pula di bawah, tidak pula di kanan, dan tidak pula di sebelah
kiri.” Mendengar itu, Mahmud bin Subuktikin menimpali, “Sesungguhnya Tuhanmu
tidak ada!”
[Majmu’
Al-Fatawa (III/37)]
*Sebagaian
ulama ada yang menyatakan bahwa Ibnu Faurak inilah sosok di balik semakin
runyamnya akidah Asy’ariyyah*. Sebab sekte Asy’ariyyah generasi awal masih
meyakini Allah berada di atas ‘Arsy, bukan di mana-mana apalagi seperti
keyakinan Ibnu Faurak di atas. Namun setelah Ibnu Faurak memodifikasi ‘aqidah
Asy’ariyyah, pengikut sekte ini di kemudian hari justru lebih mengikutinya
daripada mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri selaku ‘pendiri’ sekte
Asy’ariyyah ini.
Kemudian
kenyataan di atas bahwa dua ulama senior Aceh, yang bahkan salah satunya qadhi
atau mufti Kerajaan Aceh yang masyhur itu, sebagai tamparan keras untuk
mereka-mereka kalangan Ahlul Bida’ wal Ahwa’ yang akhir-akhir ini mulai
menampakkan kedunguan serta kebodohan mereka, dengan cara membubarkan dan
memporak-porandakan setiap kajian yang jauh-jauh hari didakwahkan oleh pembesar
ulama Aceh di atas.
Sehingga,
amat sangat disayangkan sekali manakala orang-orang yang hanya berbekal
semangat, tanpa sedikit pun mengerti apa sebetulnya corak Islam yang mewarnai
bumi rencong itu. Kebodohan tersebut jelas-jelas terlahir lantaran malasnya
belajar dan membaca peninggalan-peninggalan intelektual ulama mereka sendiri.
Ahlul
Bida’ wal Ahwa’ tersebut justru lebih suka mengadopsi faham-faham asing yang
diseludupkan ke dalam ajaran agama Islam. Sehingga wajarlah apabila mereka
justru mendurhakai ‘orangtua kandung’ mereka sendiri, dan malah lebih berbakti
mentaati ‘orangtua angkat’ yang datang tiba-tiba!
Sebetulnya
ulama-ulama masa silam Aceh, yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah Salafiyyah, tidak sedikit jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang
kemerdekaan Indonesia penulis kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan
membakar semangat jihad kaum muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir.
Namun
sebagaimana kata orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan singgungan
saja. Sementara orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun dengan seribu
bahasa sekalipun.”
*Pernyataan Syaikh Daud bin ‘Abdullah
Al-Jawi Al-Fathani*
Syaikh
Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani menulis dalam Sullam Al-Mubtadi fi
Ma’rifah Thariqah Al-Muhtadi hlm. 3 menurut cet. Dar Ihya’ Al-Kutub
Mesir yang dicoppy oleh Maktabah Bin Hullabi Pattani Thailand atau hlm. 7
menurut cet. Al-Hidayah Selangor:
“Maka
adalah Ia sekarang seperti adaNya dahulu jua sebelum lagi diadakan kaun (baca:
alam semesta) ini dan tiada adaNya itu dilalu atasNya zaman dan tiada meliputi
pada makan (tempat), *bersemayam di atas ‘Arsy bersamaan yang
berpatutan dengan kebesaran-Nya seperti barang yang dikehendaki-Nya*.
Dan tiada mengambil akan Dia oleh mengantuk dan tidur.
Maha
suci Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada barang yang dikata oleh orang yang
zalimun. Adalah Ia Tuhan yang amat ketinggian-Nya dan amat kebesaran-Nya.”
*Syaikh Muhammad Sa’id bin ‘Umar Kedah*
Beliau
mengemukakan dalam tafsirnya yang bertajuk Nur Al-Ihsan pada
ayat dalam Surat Thaha,
“Ialah
Tuhan ar-Rahman itu atas ‘Arsy bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka ‘Arsy pada
logat itu tempat duduk raja. Ini jalan Salaf. Maka jalan khalaf makna istiwa
itu memerintah.”
Sedangkan
pada tafsir ayat dalam Surat Al-Furqan beliau mengatakan pula, “Kemudian
bersamaan atas ‘Arsy oleh Tuhan Ar-Rahman akan sebagai bersamaan yang layak
dengan-Nya. Maka makna ‘Arsy pada logat kursi raja. Dan dikehendaki di sini
jisim yang besar yang meliputi dengan alam atas tujuh lapis langit.”
*Syaikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muttalib
Al-Indonesi Al-Mandili*,
Beliau
merupakan ulama Masjidil Haram asal Mandailing Indonesia, mengemukakan
dalam Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah yang berjudul: Perisai
Bagian Sekalian Mukallaf,
“Dan
bagi-Nya[1]tangan tiada seperti tangan
hamba-Nya, dan baginya muka sabagai muka yang patut padanya dengan dia, dan
bershifat ia dengan istiwa’ tetapi tiada seperti istiwa’ yang baharu.
Bertanya
seorang laki-laki akan Imam Malik daripada ayat:
ٱلرَّحۡمَٰنُ
عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
“Bermula Tuhan yang sangat
pemurah tetap ia di atas ‘Arsy.”
Maka
menundukkan Imam Malik kepalanya pada masa yang panjang kemudian berkata ia,
“bermula ‘tetap’ itu diketahui akan dia, dan kelakuannya tiada dapat dengan
akal, dan beriman dengan dia wajib, dan bertanya daripadanya bid’ah. Dan tiada
aku sangka akan dikau melainkan sesat.”
Maka
menyuruh oleh Imam Malik dengan menghalau laki-laki yang bertanya itu, maka
dihalau akan dia.
Pendeknya,
sifat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan sifat makhluk, seperti dzat Allah
Ta’ala bersalah-salahan dengan dzat baharu. Dan tiada mengetahui oleh
makhluk akan hakikat shifat Allah ta’ala sekalipun rasul dan malaikat.
Seperti tiada mengetahui oleh yang baharu akan hakikat dzat-Nya yang Maha
Mulia. Dan kita serahkan akan hakikatnya kepada Allah Ta’ala serta kita
i’tiqadkan bahwasannya segala shifat itu semuanya shifat kesempurnaan yang laik
dan patut padan dengan kebesaran-Nya, seperti firman-Nya:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada
seumpama-Nya sesuatu dan Ia jua yang sangat mendengar lagi sangat melihat.”(Qs
Asy-Syura: 11)
Dan
firman Allah Ta’ala:
قُلْ
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3)
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
“Bersabda
olehmu, hai Rasulullah, bermula Tuhan aku yang kamu bertanya daripada-Nya Allah
Ta’ala,
Tuhan
yang Maha Esa.
Dan
Allah Ta’ala itu Tuhan yang diqasad pada segala hajat selama-lamanya, tiada ia
beranak dan tiada diperanakkan,
dan
tiada ada seorang yang menyamai dan sama tara dengan dia.” (Qs Al-Ikhlas: 1, 2,
3, 4)
Wallahua’lam.”
-Selesai
kutipan dari Al-Mandili.-
Bersambung insyaallah…
***
Ditulis
oleh : Firman Hidayat Mawardi, BA
*(Alumni
PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta, S1 Fakultas Syariah LIPIA Jakarta. Saat ini
beliau mengajar di Islamic Centre Wadi Mubarok, Bogor)
Baca selengkapnya : http://hamalatulquran.com/ternyata-ulama-nusantara-beriman-allah-berada-di-atas-arsy-allah-di-atas-langit.html
Sumber : http://hamalatulquran.com/
Langganan:
Postingan (Atom)