Senin, 15 Oktober 2018

*Ternyata Ulama Nusantara Beriman Allah Berada di Atas ‘Arsy (Part 1)*



*Allah Beristiwa di Atas Arsy*

Bismillah…

*Ahlussunah wal jama’ah meyakini bahwa Allah beristiwa di atas Arasy*. Banyak dalil dalam Al-Qur’an maupun hadis yang menegaskan keyakinan ini.
Selengkapnya bisa anda pelajari di sini : *Mengimani Allah Berada di Atas Langit*

Bahkan fitrah atau naluri manusia mengakui, bahwa Allah beristiwa di atas Arasy. Hal ini ditunjukkan saat ia berdoa kemanakah tangan menengadah?!
Saat dia mendapatkan musibah atau permasalahan hidup, dia akan berucap pasrah dan mentabahkan diri, “Kita serahkan semuanya kepada yang di atas.”
Dan yang menarik, ternyata akidah ini bukanlah akidah yang baru di negeri kita tercinta. Para ulama Nusantara yang telah mendahului kita, menjelaskan akidah agung ini. Mari kita selengkapnya pada tulisan Ustadz Firman Hidayat Mawardi BA* berikut:
***
Syaikh Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi, guru besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta asal Aceh, menjelaskan dalam Tafsir Al-Quran Al-Majid “An-Nur” (II/123),
“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, menurut keadaan yang Allah sendiri lebih mengetahui, serta  keadaan itu suci dari menyerupai keadaan makhluk. Pernah ditanya kepada Malik tentang makna istiwa’=bersemayam, berketetapan.
Maka beliau menjawab, “Menurut bahasa istiwa itu terang. Bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy, kita tidak dapat mengetahuinya. Menanyakan tentang bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy adalah bid’ah.’ Demikian pendapat sahabat dan ulama salaf (klasik).

*Ulama salaf* menerima hal tersebut dengan tidak menjelaskan begini dan begitu, dan tidak menyerupakan keadaan itu dengan keagaan makhluk. Mereka menyerahkan hal itu kepada Allah sendiri.
Adapun *Asy’ariyah* mentakwil (baca: mentahrif/mengobah) makna itu dengan menyatakan bahwa sesudah menciptkan langit dan bumi, Allah mengatur segala urusan yang berkaitan dengan itu dan menentukan sistemnya menurut takdir dan hikmah yang telah ditentukan.”
Berkaitan dengan penjelasan ayat-ayat istiwa di atas, selain Ash-Shiddieqy sebagai pemberi penjelasan yang *sesuai dengan pemahaman Salaf Shalih* yang mewakili ulama-ulama Nusantara, ternyata ada pula ulama yang jauh hidup dari zamannya yang juga telah terlebih dahulu menjelaskan kepada masyarakat bahwa 

*Allah berada di atas langit, bukan di mana-mana*.

Beliaulah Syaikh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri As-Sinkili, Qadhi Kerajaan Aceh pengganti Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri.

Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya persilakan Anda mendengarkan penjelasan beliau dalam Tafsir Turjuman Al-Mustafid.

*Pertama*, pada (I/209) beliau mengatakan, “Bahwasanya Tuhan kamu, Allah, yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada sekira-kira enam hari daripada segala dunia. Kemudian, maka tetap Ia atas ‘Arsy dengan tetap yang patut dengan Dia.”

*Kedua*, pada (I/250) beliau megatakan, “Allah Ta’ala jua yang mengangkatkan tujuh petala langit dengan tiada tiang yang kamu lihat akan dia. Kemudian dari itu, maka disahjanya atas ‘Arsy dengan sahaja yang patut dengan dia dan dimudahkan-Nya matahari, dan bulan adalah tiap-tiap suatu dari keduanya pada peredarannya  datang kepada hari kiamat.”

*Ketiga*, pada (II/21) beliau menulis, “Yang menjadikan bumi dan tujuh petala langit yang tinggi itu, yaitu Tuhan yang bernama Rahman atas ‘Arsy tetap Ia dan yaitu dengan tetap yang berpatutan dengan Dia.”

*Keempat*, pada (II/74) beliau menuturkan, “Ia jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya pada sekira-kira enam hari dunia. Kemudian maka yaitu Tuhan yang bernama Rahman itu atas ‘Arsy dengan nyata yang laik (baca: layak) dengan Dia.”

*Kelima*, pada (II/124) beliau menjelaskan, “Allah Ta’ala jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya di dalam enam hari. Pertama menjadikan itu hari Ahad dan akhirnya hari Jum’at. Kemudian dari itu, maka tetaplah Ia dan nyata atas ‘Arsy dengan nyata yang berpatutan dengan Dia.”

*Keenam*, pada (II/247) beliau menulis, “Ia jua Tuhan yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada enam hari daripada segala hari dunia . Awal harinya Ahad dan akhirnya Jum’at. Kemudian dari itu, maka Ia mengrasa Ia dan nyata Ia atas Kursi dengan yang berpatutan dengan Dia.”

*Ketujuh*, pada (I/158) beliau pun menulis, “Bahwasanya Tuhan Kamu itu Allah yang telah menjadikan tujuh petala langit dan bumi di dalam enam hari daripada segala hari dunia. Kemudian maka diqashad-Nya atas ‘Arsy-Nya.”

Ringkasnya, *Syaikh ‘Abdurrauf Al-Fanshuri yang merupakan ulama nomor wahid sebumi Aceh menjelaskan dengan gamblang,  bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy dengan semayam yang bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya*. Maksudnya ialah bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan bersemayamnya makhluk di atas singgasananya.
Karena memang, “Tiada seperti-Nya suatu dan yaitu yang amat mendengar segala yang dikata lagi amat melihat  akan segala yang diperbuat oleh sekalian makhluk,” jelas beliau pada (II/193).

Apa yang dipaparkan di atas ini sekaligus sebagai bantahan tajam terhadap *kaum bid’ah yang bersembunyi di balik nama mulia Ahlussunnah wal Jama’ah yang pada hakekatnya berfaham sekte Asy’ariyyah atau Asya’irah*. Padahal Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri berlepas diri dari mereka yang menisbatkan diri kepada beliau.  Sebab pernyataan beliau dalam Al-Ibadah (II/105-113).
Sedangkan para ahli bid’ah *Asy’ariyyah* dan sekte-sekte yang sepaham dengan mereka dari kalangan *Muktazilah* dan lainnya berpendapat bahwa Allah Ta’ala tidaklah berada di atas ‘Arsy!

*Artinya Allah tidak berada di atas. Lalu di manakah?*

*Di antara mereka ada yang menegaskan bahwa Allah berada di mana-mana. Sehingga menurut mereka Allah berada di tempat-tempat yang baik dan juga di tempat-tempat yang kotor* sekalipun yang lisan saja enggan mengucapkannya!
Padahal mereka sendiri sedikit pun tidak mau bertempat di tempat-tempat yang kotor. Mereka pastilah lebih memilih di tempat-tempat yang bersih dan baik. Namun ketika mereka berbicara tentang Allah, mereka katakan,
“Allah ada di mana-mana!”
Subhanallah, Mahasuci Allah dari segala yang mereka katakana tentang Allah. Kita hanya mengatakan pada mereka:
تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ
“Kalau begitu, pembagian semacam itu tidak adil alias curang!” [QS An-Najm: 22]
Ini sama seperti sikap orang-orang musyrikin yang malu memiliki anak perempuan sehingga mereka tega mengubur mereka hidup-hidup. Namun ketika mereka bicara tentang Allah, mereka katakana bahwa Allah memiliki anak-anak perempuan, yaitu para mailakat! “Kalau begitu, pembagian semacam ini curang!”

*Sebagian ahli bid’ah pula ada yang mengatakan tanpa rasa malu dan dosa, sebagaimana kawan sejawat mereka sebelumnya yang mengatakan Allah ada di mana-mana, bahwa Allah tidak layak dikatakan apakah di atas, di bawah, atau di arah tertentu yang diketahui manusia*.
Bahkan mereka katakan, tidak layak dikatakan Allah berada di dalam atau di luar alam semesta!
Salah seorang imam mereka, yaitu Ibnu Faurak, pernah terjebak debat terkait masalah ini dengan seorang ulama Ahlussunnah yang sekaligus panglima perang terkenal bernama Mahmud bin Subuktikin.
Diantara yang dikatakan Ibnu Faurak ialah, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah ada di atas, tidak pula di bawah, tidak pula di kanan, dan tidak pula di sebelah kiri.” Mendengar itu, Mahmud bin Subuktikin menimpali, “Sesungguhnya Tuhanmu tidak ada!”
[Majmu’ Al-Fatawa (III/37)]

*Sebagaian ulama ada yang menyatakan bahwa Ibnu Faurak inilah sosok di balik semakin runyamnya akidah Asy’ariyyah*. Sebab sekte Asy’ariyyah generasi awal masih meyakini Allah berada di atas ‘Arsy, bukan di mana-mana apalagi seperti keyakinan Ibnu Faurak di atas. Namun setelah Ibnu Faurak memodifikasi ‘aqidah Asy’ariyyah, pengikut sekte ini di kemudian hari justru lebih mengikutinya daripada mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri selaku ‘pendiri’ sekte Asy’ariyyah ini.

Kemudian kenyataan di atas bahwa dua ulama senior Aceh, yang bahkan salah satunya qadhi atau mufti Kerajaan Aceh yang masyhur itu, sebagai tamparan keras untuk mereka-mereka kalangan Ahlul Bida’ wal Ahwa’ yang akhir-akhir ini mulai menampakkan kedunguan serta kebodohan mereka, dengan cara membubarkan dan memporak-porandakan setiap kajian yang jauh-jauh hari didakwahkan oleh pembesar ulama Aceh di atas.

Sehingga, amat sangat disayangkan sekali manakala orang-orang yang hanya berbekal semangat, tanpa sedikit pun mengerti apa sebetulnya corak Islam yang mewarnai bumi rencong itu. Kebodohan tersebut jelas-jelas terlahir lantaran malasnya belajar dan membaca peninggalan-peninggalan intelektual ulama mereka sendiri.
Ahlul Bida’ wal Ahwa’ tersebut justru lebih suka mengadopsi faham-faham asing yang diseludupkan ke dalam ajaran agama Islam. Sehingga wajarlah apabila mereka justru mendurhakai ‘orangtua kandung’ mereka sendiri, dan malah lebih berbakti mentaati ‘orangtua angkat’ yang datang tiba-tiba!
Sebetulnya ulama-ulama masa silam Aceh,  yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Salafiyyah, tidak sedikit jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia penulis kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan membakar semangat jihad kaum muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir.
Namun sebagaimana kata orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan singgungan saja. Sementara orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun dengan seribu bahasa sekalipun.”
  
*Pernyataan Syaikh Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani*

Syaikh Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani menulis dalam Sullam Al-Mubtadi fi Ma’rifah Thariqah Al-Muhtadi hlm. 3 menurut cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Mesir yang dicoppy oleh Maktabah Bin Hullabi Pattani Thailand atau hlm. 7 menurut cet. Al-Hidayah Selangor:
“Maka adalah Ia sekarang seperti adaNya dahulu jua sebelum lagi diadakan kaun (baca: alam semesta) ini dan tiada adaNya itu dilalu atasNya zaman dan tiada meliputi pada makan (tempat), *bersemayam di atas ‘Arsy bersamaan yang berpatutan dengan kebesaran-Nya seperti barang yang dikehendaki-Nya*. Dan tiada mengambil akan Dia oleh mengantuk dan tidur.
Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada barang yang dikata oleh orang yang zalimun. Adalah Ia Tuhan yang amat ketinggian-Nya dan amat kebesaran-Nya.”

*Syaikh Muhammad Sa’id bin ‘Umar Kedah*
Beliau mengemukakan dalam tafsirnya yang bertajuk Nur Al-Ihsan pada ayat dalam Surat Thaha,
“Ialah Tuhan ar-Rahman itu atas ‘Arsy bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka ‘Arsy pada logat itu tempat duduk raja. Ini jalan Salaf. Maka jalan khalaf makna istiwa itu memerintah.”
Sedangkan pada tafsir ayat dalam Surat Al-Furqan beliau mengatakan pula, “Kemudian bersamaan atas ‘Arsy oleh Tuhan Ar-Rahman akan sebagai bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka makna ‘Arsy pada logat kursi raja. Dan dikehendaki di sini jisim yang besar yang meliputi dengan alam atas tujuh lapis langit.”

*Syaikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muttalib Al-Indonesi Al-Mandili*,
Beliau merupakan ulama Masjidil Haram asal Mandailing Indonesia, mengemukakan dalam Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah yang berjudul:  Perisai Bagian Sekalian Mukallaf,
“Dan bagi-Nya[1]tangan tiada seperti tangan hamba-Nya, dan baginya muka sabagai muka yang patut padanya dengan dia, dan bershifat ia dengan istiwa’ tetapi tiada seperti istiwa’ yang baharu.
Bertanya seorang laki-laki akan Imam Malik daripada ayat:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Bermula Tuhan yang sangat pemurah tetap ia di atas ‘Arsy.”
Maka menundukkan Imam Malik kepalanya pada masa yang panjang kemudian berkata ia, “bermula ‘tetap’ itu diketahui akan dia, dan kelakuannya tiada dapat dengan akal, dan beriman dengan dia wajib, dan bertanya daripadanya bid’ah. Dan tiada aku sangka akan dikau melainkan sesat.”
Maka menyuruh oleh Imam Malik dengan menghalau laki-laki yang bertanya itu, maka dihalau akan dia.
Pendeknya, sifat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan sifat makhluk, seperti dzat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan dzat baharu. Dan tiada mengetahui oleh makhluk  akan hakikat shifat Allah ta’ala sekalipun rasul dan malaikat. Seperti tiada mengetahui oleh yang baharu akan hakikat dzat-Nya yang Maha Mulia. Dan kita serahkan akan hakikatnya kepada Allah Ta’ala serta kita i’tiqadkan bahwasannya segala shifat itu semuanya shifat kesempurnaan yang laik dan patut padan dengan kebesaran-Nya, seperti firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada seumpama-Nya sesuatu dan Ia jua yang sangat mendengar lagi sangat melihat.”(Qs Asy-Syura: 11)
Dan firman Allah Ta’ala:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
“Bersabda olehmu, hai Rasulullah, bermula Tuhan aku yang kamu bertanya daripada-Nya Allah Ta’ala,
Tuhan yang Maha Esa.
Dan Allah Ta’ala itu Tuhan yang diqasad pada segala hajat selama-lamanya, tiada ia beranak dan tiada diperanakkan,
dan tiada ada seorang yang menyamai dan sama tara dengan dia.” (Qs Al-Ikhlas: 1, 2, 3, 4)
Wallahua’lam.”
-Selesai kutipan dari Al-Mandili.-
Bersambung insyaallah…
***

Ditulis oleh : Firman Hidayat Mawardi, BA
*(Alumni PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta, S1 Fakultas Syariah LIPIA Jakarta. Saat ini beliau mengajar di Islamic Centre Wadi Mubarok, Bogor)