Jumat, 31 Januari 2014

Memahami Kata “Sunnah”

Saudara-saudariku semua… 
berapa banyak diantara kaum muslimin yang terjatuh pada kesalahan dalam ibadah karena pemahaman yang salah pada istilah syari’at yang digunakan. Semisal orang yang mencukupkan sholat dengan berdoa tanpa gerakan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mereka memahami kata sholat secara bahasa yang berarti doa. Salah satu istilah yang juga bisa berakibat fatal dalam pelaksanaan ibadah seorang muslim adalah pemahaman mereka dengan kata “sunnah”. Sebagai contoh, ketika seseorang mengingatkan saudaranya untuk tidak isbal (isbal: menjulurkan celana sampai di bawah mata kaki) ternyata jawabannya, “Itu bukannya sunnah ya?” Padahal tidak isbal adalah termasuk sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib dilaksanakan oleh setiap laki-laki.

Ketahuilah, kaidah penting yang harus kita pahami bahwa setiap kata yang datang dari Allah dan Rasul-Nya harus kita maknai dengan makna syar’i dan bukan dengan makna bahasa.

Sunnah Secara Bahasa

Sunnah secara bahasa bermakna metode (thoriqoh), jalan (sabiil). Salah satu dalil yang menunjukkan makna ini adalah hadits dari Abu ‘Amr Jarir ibn ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang memulai sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengikuti amal itu setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai sunnah kejelekan maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Sebab hadits ini turun terdapat dalam hadits yang panjang yang menceritakan tentang sekelompok orang dari suku Mudhar yang datang ke Madinah dalam keadaan hampir telanjang dengan hanya memakai kain shuf tebal dengan bergaris-garis yang dilubangi dari kepala. Hingga akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang untuk bersedekah. Hingga datanglah seorang dari Anshar yang memberikan sedekah dengan membawa pundi-pundi besar dan hampir tidak kuat untuk mengangkatnya. Akhirnya setelah orang ini, orang-orang pun mengikuti memberikan sedekah.

Maka perlu menjadi catatan di sini bahwa sunnah hasanah yang dimaksud dalam hadits ini tidak dapat dimaknai dengan bid’ah hasanah
Terdapat beberapa alasan, yaitu 
Pertama, melihat dari sebab turunnya hadits ini yaitu tentang bersedekah, maka orang itu tidaklah berbuat bid’ah. 
Kedua, dalam hadits disebutkan tentang sunnah yang baik dalam Islam, sedangkan bid’ah bukan berasal dari Islam. 
Ketiga, dalam hadits disebutkan adanya sunnah hasanah dan sayi’ah. Padahal setiap bid’ah adalah sesat. Keempat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hasanah (baik) dan sayi’ah (buruk). 

Padahal dalam ibadah tidaklah kita bisa menilainya dari akal, maka bagaimana kita bisa menilai suatu ibadah itu hasanah atau syai’ah (terutama teruntuk orang-orang yang menjalankan bid’ah dan menganggap itu adalah bid’ah hasanah karena menganggap amalan mereka adalah baik).

Sunnah Secara Istilah (Terminologi)

Syaikh Abdul Muhsin ibn Hamd Al ‘Abbad dalam kitab Al Hatstsu menjelaskan bahwa kata sunnah memiliki empat penggunaan, yaitu:

1. Sunnah dengan makna setiap yang datang dalam Al-Qur’an dan Hadits maka ia adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah jalan yang dilalui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Tentang hal ini, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فمَن رغب عن سنَّتي فليس منِّي
Artinya: “Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku.” (HR. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])

2. Sunnah dengan makna hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu segala hal yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat (baik fisik/moral), ketetapan dan perjalanan Nabi baik sebelum atau sesudah menjadi Nabi. Penggunaan ini dimaknai demikian ketika kata “sunnah” disebutkan bersamaan dengan kata “Al-Qur’an”. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,
يا أيُّها الناس! إنِّي قد تركتُ فيكم ما إن اعتصمتم به فلَن تضلُّوا أبداً: كتاب الله وسنَّة نبيِّه صلى الله عليه وسلم
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dan sabdanya, “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Hakim dalam Mustadrok [1/93]). Dalil yang lain adalah perkataan para ulama ketika menyebutkan beberapa masalah dan perkara ini didasarkan pada Kitab (Al-Qur’an), Sunnah dan Ijma.

3. Sunnah digunakan sebagai lawan dari bid’ah. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Irbadh Ibn Sariyah,
فإنَّه من يعش منكم فسيرى اختلافاً كثيراً، فعليكم بسنَّتي وسنَّة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسَّكوا بها وعضُّوا عليها بالنواجذ، وإيَّاكم ومحدثات الأمور؛ فإنَّ كلَّ محدثة بدعة، وكلَّ بدعة ضلالة
“Maka sesungguhnya barangsiapa dari kalian yang berumur panjang, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapatkan hidayah dan bimbingan. Peganglah kuat-kuat dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan (bid’ah -pen). Karena segala perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud (4607) – dan ini adalah lafadznya – dan Tirmidzi (2676) dan Ibnu Majah (43 – 44) Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shohih”)

4. Sunnah digunakan dengan makna mandub atau mustahab (yang dicintai), yaitu suatu perintah dalam bentuk anjuran dan tidak dengan bentuk pewajiban. Istilah ini digunakan oleh para ahli fiqih. Contohnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لولا أن أشقَّ على أمَّتي لأمرتهم بالسواك عند كلِّ صلاة
“Sekiranya tidaklah memberatkan umatku, maka aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak sholat.” (HR. Bukhari [887] dan Muslim [252]).

Maka bersiwak setiap kali hendak sholat tidak diwajibkan akan tetapi hanya sampai batasan anjuran. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan perintah bersiwak setiap kali akan sholat karena takut memberatkan umatnya.

Dalam penyebutan kata sunnah secara umum maka dimaknai dengan makna pertama yaitu syari’at yang sempurna ini. Setelah mengetahui makna sunnah baik secara bahasa dan secara istilah syar’i, maka hendaklah kini kita lebih berhati-hati dalam menjalankan amal ibadah kita. Semoga tidak ada yang terjebak dengan istilah sunnah hasanah dengan sunnah sayi’ah sehingga seseorang memaknai adanya bid’ah hasanah dan sayi’ah dan menganggap amalan yang dia kerjakan adalah ibadah dan termasuk bid’ah hasanah. Dan juga semoga tidak ada yang beralasan tidak menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi w asallam yang merupakan kewajiban baginya – misalnya memakai jilbab yang syar’i, makan dan minum dengan tangan kanan dan yang lainnya – dengan beralasan itu adalah sunnah (dengan makna mustahab). Wallahul musta’an.

Maraji’:
  1. Al Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnati wa Tahdziru minal bida’i wa Bayanu Khotoriha. Syaikh Abdul Muhsin ibn Hamd al ‘Abbad.
  2. Terjemah Riyadush Shalihin, takhrij Syaikh M. Nashiruddin Al Albani jilid 1. Imam Nawawi. Cetakan Duta Ilmu. 2003.
  3. Penjelasan kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal oleh Ustadz Aris Munandar (catatan kajian ilmiyah).
Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Abu Mushlih Ari Wahyudi

Sumber : Muslimah.Or.Id
 
Muslim STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Definisi Sunnah

Syariat yang telah sempurna ini adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam makna umum. Adapun sunnah itu sendiri, terbagi menjadi empat definisi:

Pertama

Sesungguhnya, segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-Quran –pen) dan As-Sunnah (hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia merupakan sebuah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contoh definisi ini adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((مَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ))
“Barangsiapa yang menolak sunnahku maka dia bukanlah bagian dariku.” (H.R. Bukhari [5063] dan Muslim [1401])


Kedua

Sunnah yang bermakna “al-hadits”. Hal tersebut jika digandengkan dengan “Al-Kitab”. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا أَبَدًا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ))
“Wahai sekalian manusia, sungguh telah aku tinggalkan bagi kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian kalian tidak akan tersesat selamanya: (yaitu) Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((إِنِّيْ قَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ))
“Sesungguhnya telah aku tinggalkan dua hal bagi kalian sehingga kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang teguh dengan kedua hal tersebut: (yaitu) Kitabullah dan sunnahku.”
Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrak beliau (I/93).
Di antara bentuk kata “sunnah” yang bermakna “al-hadits” adalah perkataan sebagian ulama dalam menyebutkan beberapa permasalahan, “Dan ini adalah sebuah permasalahan yang berdasarkan dalil Al-Kitab, as-sunnah, dan ijma’ para ulama.”

Ketiga

Sunnah pun dapat didefinisikan sebagai lawan dari bid’ah. Di antara contoh penggunaannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah,
((فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ، تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِانَّوَاجِذِ، وَ إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ))
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang tetap hidup (setelah kematianku –pen), niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang memperoleh petunjuk dan berilmu. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta berhati-hatilah terhadap perkara-perkara baru yang dibuat-buat. Sungguh, setiap perkara baru yang dibuat-buat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat!” (Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud [4607] -–lafal hadits ini adalah milik beliau–, dikeluarkan pula oleh At-Tirmidzi [2676] dan Ibnu Majah [43—44]; At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih”)

Di antara contoh penerapan istilah “sunnah” yang bermakna “lawan dari bid’ah” adalah sebagian ulama hadits zaman dahulu yang menyebut buku-buku karya mereka dalam bidang akidah dengan nama “As-Sunnah”, semisal As-Sunnah karya Muhammad bin Nashir Al-Marwazii, As-Sunnah karya Ibnu Abii ‘Aashim, As-Sunnah karya Al-Laalikaa`i, dan selainnya. Dalam kitab Sunan karya Abu Daud pun terdapat bab berjudul “As-Sunnah” yang memuat banyak hadits tentang akidah.

Keempat

Sunnah pun dapat bermakna “mandub” dan “mustahab”, yaitu segala sesuatu yang diperintahkan dalam bentuk anjuran, bukan dalam bentuk pewajiban. Definisi ini digunakan oleh para ahli fikih. Di antara contohnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ))
“Seandainya bukan karena takut memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk melakukan siwak setiap hendak melaksanakan shalat.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari [887] dan Muslim [252])

Sesungguhnya perintah untuk bersiwak berada pada derajat anjuran, dan hal tersebut semata-mata karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan memberatkan umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menetapkannya sebagai sebuah kewajiban.
(terjemahan kutipan dari kitab “Al-Hatstsu ‘Alaa Ittibaa’is Sunnah wat Tahdziiru minal Bida’i wa Bayaanu Khatharihaa”, karya Syeikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbaad Al-Badr)

Oleh: Ummul Hasan Athirah
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Sumber : Muslimah.Or.Id
Muslim STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Mengenal Manhaj Salaf

Apakah pengertian manhaj salaf? Siapakah mereka para salaf yang dimaksud? Kemudian adakah kewajiban untuk mengikuti manhaj salaf? Marilah kita simak penjelasan berikut yang disarikan dari sebuah buku yang sangat bermanfaat karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafidzahullah, semoga semakin memperjelas bagi kita tentang manhaj salaf sesuai pemahaman yang sebenarnya.

1. Apakah definisi dari manhaj?

Manhaj dalam bahasa artinya jalan yang jelas dan terang. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,
”Untuk tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (Al Maidah: 48)
Sedang menurut istilah, Manhaj ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang digunakan bagi setiap pelajaran-pelajaran ilmiyyah, seperi kaidah-kaidah bahasa arab, ushul ‘aqidah, ushul fiqih, dan ushul tafsir dimana dengan ilmu-ilmu ini pembelajaran dalam islam beserta pokok-pokoknya menjadi teratur dan benar. Dan manhaj yang benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut pemahaman para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Apakah definisi salaf ?

Salaf berasal dari kata salafa-yaslufu-salafun, artinya telah lalu. Kata salaf juga bermakna: seseorang yang telah mendahului (terdahulu) dalam ilmu, iman, keutamaan, dan kebaikan. Karena itu generasi pertama dari umat ini dari kalangan para tabi’in disebut sebagai as-salafush-shalih.
Sedangkan definisi salaf menurut istilah, salaf adalah sifat yang khusus dimutlakkan untuk para sahabat. Ketika yang disebutkan salaf maka yang dimaksud pertama kali adalah para sahabat. Adapun selain mereka itu ikut serta dalam makna salaf ini, yaitu orang-orang yang mengikuti mereka. Artinya, bila mereka mengikuti para sahabat maka disebut salafiyyin, yaitu orang-orang yang mengikuti salafush shalih.

3. Siapakah salaf yang dimaksud?

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, yang artinya :
”Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At- Taubah: 100)

Sedangkan dalam sebuah hadis juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan salaf pertama kali adalah sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sebaik-baik manusia adalah pada masa ku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in). Demikian juga yang dikatakan oleh para ulama bahwasannya yang dimaksud dengan salaf adalah para sahabat.

Akan tetapi pembatasan secara waktu tidaklah mutlak tepat karena kita mengetahui bahwa beberapa sekte bid’ah dan sesat sudah muncul pada masa-masa tersebut. Karena itulah keberadaan mereka pada masa-masa itu (tiga kurun yang dimuliakan) tidaklah cukup untuk menghukumi bahwa dirinya berada diatas Manhaj Salaf, selama dirinya tidak mengikuti sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami Al Quran dan Assunnah. Karena itulah ulama memberi batasan As-Salaf Ash-Shalih (pendahulu yang shalih).

Imam al Auza’i rahimahullah (wafat th.157 H) seorang Imam Ahlu Sunnah dari Syam berkata, “Bersabarlah dirimu diatas sunnah, tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak diatasnya. Katakanlah sebagai mana yang mereka katakan, tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya. Dan ikutilah jalan salafush shalih karena akan mencukupimu apa saja yang mencukupi mereka.”
Berdasarkan keterangan diatas, menjadi jelaslah bahwa kata salaf muthlak ditujukan untuk para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, semoga Allah Ta’ala meridhai mereka semua. Maka barang siapa yang mengikuti mereka semua dalam agama yang haq ini, maka ia adalah generasi penerus dari sebaik-baik pendahulu yang mulia.

4. Adakah dalil yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti mereka?

Terdapat banyak dalil yang dikemukakan oleh al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam bukunya Mulia dengan Manhaj Salaf, namun dalam tulisan yang singkat ini kami hanya mengambil beberapa dalil yang mewakili dan dapat digunakan sebagai hujjah.

Dalil-dalil dari Al Quranul Karim dan As Sunnah yang menunjukkan bahwa Manhaj Salaf adalah hujjah yang wajib diikuti oleh kaum muslimin:
  • Firman Allah Ta’ala, yang artinya,”Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (karena kamu menyuruh) berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah…” (Ali ‘Imran : 10 )Syaikhul Islam IbnuTaimiyah rahimahullah dalam kitabnya Naqdul Mantiq menjelaskan: kaum muslimin telah sepakat bahwa umat ini adalah sebaik-baik umat dan paling sempurna, dan umat yang paling sempurna dan utama adalah generasi yang terdahulu yaitu generasi para Sahabat.
  • Firman Allah Jalla Jalaaluhu, yang artinya, ”Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan-jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa: 115 )Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah mengatakan, ”Para ulama telah berkata mengenai makna dalam firman Allah, ”Dan mengikuti jalan yang bukan jalan-jalan orang yang beriman” yang dimaksud adalah (jalan) para Sahabat generasi pertama.
  • Diriwayatkan dari Sahabat al- ‘Irbadh bin sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Suatu hari Rasulullah shalallah ‘alaihi wasallam pernah shalat bersama kami kemudian beliau menghadap kepada kami dan memberikan nasehat kepada kami dengan nasehat yang menjadikan air mata berlinang dan membuat hati bergetar, maka seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah, nasehat ini seakan-akan nasehat dari orang yang akan berpisah, maka apa yang engkau wasiatkan kepada kami?’ Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,‘Aku wasiatkan kepada kalian supaya tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh orang yang hidup diantara kalian setelahku maka ia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” HR Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no.4607), at-Tirmidzi (no.2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al Hakim (I/95)Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas terdapat perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khulafa-ur Rasyidin sepeninggal beliau.
Disarikan dari buku Mulia Dengan Manhaj Salaf karya Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawaz oleh Ummu Maryam Ismiyanti
Murojaah: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/1185-mengenal-manhaj-salaf.html

Sumber : https://muslimah.or.id/

Jangan Biarkan Amalan Berlalu Sia-Sia

Salah satu tujuan utama dalam beramal adalah mendapat pahala dari Allah ta’alla, lantas bagaimana jika amalan yang sangat diharapkan sebagai tabungan diakherat ternyata ‘kopong’ alias sia-sia dan tak tertulis sabagai amalan?
Bagaimana mungkin amalan akan diterima tatkala kita tidak mengetahui cara agar amalan bisa diterima dan mendapat ridho dari Allah? Apalagi jika barometer kesuksesan dalam beramal tatkala mendapat pujian belaka. Tak dapat diragukan lagi walaupun lisan ini mengatakan ‘Aku ikhlas’ namun ikhlas tak semudah hanya ucapan saja dan malahan perlu dicek lagi arti keikhlasannya. Baiklah marilah kita berusaha mengetahui kaidah-kaidah dalam beramal agar amalan kita tidak sia-sia. Dan ingatlah tak ada satu detik waktupun menjadi sia-sia dan berakhir penyesalan jika segera diikuti dengan taubat dan membenahi cara beramal dengan benar.

Amalan tidak lepas dari 2 hal yaitu ikhlas dan ittiba’
  1. Ikhlas adalah niat dalam beramal, dan ikhlas merupakan ruh bagi amalan. Dalilnya, “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung dengan niat dan sesungguhnya setiap orang itu mendapatkan balasan sesuai dengan yang diniatkannya.” (Muttafaqun’alaihi)
  2. Yang kedua adalah ittiba’. Iittiba’ adalah amalan hendaknya dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ittiba’ ini laksana jiwa bagi amalan. Allah ta’ala berfirman, “Kataknlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali Imran:31)
Kedua syarat tersebut jangan sampai tercecer, karena jika salah satu syarat hilang maka ia tidak benar (bukan amal shalih) dan tidak akan diterima di sisi Allah, diantara dalil yang memperkuat pernyataan tersebut,
“…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (Qs. AL Kahfi: 110)

Tidak Ikhlas Namun Ittiba’
Misalnya, melakukan shalat sesuai dengan rukun-rukun shalat yang telah dicontohkan Rasulullah, namun ditengah perjalanan shalat tersebut, ada orang yang melihat dan hati timbul rasa ingin memperbagus gerakan, memperlama waktu shalat, dll. Nah inilah perlu dipertanyakan keikhlasan shalatnya. Apakah shalat hanya mengharap wajah Allah ataukah disertai pula mengharap pujian orang lain?

Ikhlas Namun Tidak Ittiba’
Misalnya, mencari berkah dikuburan, mengkhususkan membaca surat yasin selama 7 hari setelah kematian. Mungkin mereka ikhlas melakukannya, namun sayangnya tidak ada contoh dari Rasulullah dan perbuatan tersebut bisa dikatakan bid’ah.
Pada artikel ini penulis akan lebih memperinci mengenai syarat yang pertama yaitu berkaitan dengan keikhlasan. Hendaknya dalam beramal selain mengetahui syarat-syarat beramal juga mengetahui bagaimana caranya agar dapat mewujudkan syarat-syarat tersebut dengan mudah.

Untuk mewujudkan keikhlasan dalam beramal ada beberapa cara :
  1. Do’a. Berdo’alah agar setiap amalan ikhlas karena Allah. Sebagai manusia tak lepas dari riya’, pamer dan suka dipuji. Khalifah besar seperti Umar Ibnul Khattab radhiyallahu’anhum yang merupakan shahabat Rasul dan sudah dijanjikan surga kepadanya  pun masih saja berdoa agar ikhlas dalam beramal. “Ya Allah jadikanlah amalku shalih semuanya dan jadikanlah ia ikhlas karena-Mu dan janganlah Engkau jadikan untuk seseorang dari amal itu sedikitpun.”
  2. Menyembunyikan amal. Sembunyikan amal seperti menyembunyikan keburukan, seperti perkataan Bisyr Ibnul Harits berkata, “Jangan kau beramal supaya dikenang. Sembunyikanlah kebaikanmu seperti kamu menyembunyikan kejelekanmu.”
  3. Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik. Bacalah biografi-biografi dari para shahabat, tabi’in serta orang-orang terdahulu, sebagai suri teladan dalam beramal. Karena hidup di jaman sekarang ini terkadang dari penampakan terlihat bagus dan banyak yang meneladani, namun ternyata amalan-amalan bid’ah yang dilakukannya. Na’udzubillahi min dzalik
  4. Memandang remeh apa yang telah diamalkan. Terkadang manusia terjebak dengan godaan setan, yaitu melakukan sedikit amal dan merasa kagum dengan sedikit amal tersebut. Dan akibatnya bisa fatal, karena bisa jadi satu amal kebaikan bisa memasukkan manusia ke neraka. Seperti perkataan Sa’d bin Jubair, “Ada seseorang yang masuk surga karena sebuah kemaksiatan yang dilakukannya dan ada yang masuk neraka karena sebuah kebaikan yang dilakukannya. Seseorang yang melakukan maksiat setelah itu ia takut dan cemas terhadap siksa Allah karena dosanya, kemudian menghadap Allah dan Allah mengampuninya karena rasa takutnya kepada-Nya dan seseorang berbuat suatu kebaikan lalu ia senantiasa mengaguminya kemudian ia pun menghadap Allah dengan sikapnya itu maka Allah pun mencampakkannya ke dalam neraka.
  5. Khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima. Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya, bahwa lebih baik menganggap remeh amal yang telah diperbuat agar dapat menjaga hati ini dari rasa kagum terhadap amal yang telah diperbuat.
  6. Tidak terpengaruh dengan ucapan orang. Orang yang mendapat taufik adalah orang yang tidak terpengaruh dengan pujian orang. Ibnul Jauzy (Shaidul Khaathir) berkata, “Bersikap acuh terhadap orang lain serta menghapus pengaruh dari hati mereka dengan tetap beramal shaleh disertai niat yang ikhlas dengan berusaha untuk menutup-nutupinya adalah sebab utama yang mengangkat kedudukan orang-orang yang mulia.”
  7. Senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik manusia. Manusia tidak dapat memberikan manfaat maupun menimpakan bencana kepada manusia, begitu pula manusia bukanlah pemilik surga maupun neraka. Manusia tidak bisa memasukkan manusia lain ke surga dan mengeluarkan manusia lain keluar dari neraka,lantas untuk apalagi beramal demi manusia, agar dipuji atasan, agar disanjung mertua, atau agar datang simpati dari manusia lain?
  8. Ingatlah bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. Jiwa akan menjadi lebih baik tatkala ingat tempat ia kembali. Bahwa ia akan beralaskan tanah dikuburnya sendiri, tak ada yang menemani, ingat bahwa manusia tidak dapat meringankan siksa kuburnya, seluruh urusannya berada ditangan Allah. Ketika itulah ia yakin bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali dengan mengikhlaskan seluruh amalnya hanya kepada Allah Yang Maha Pencipta semata.
Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu dengan disertai keikhlasan dalam mengamalkannya tersebut. Ingatlah bahwa hanya Allah yang dapat membolak-balikkan hati hamba-Nya.

Disusun ulang oleh: Ummu Hamzah Galuh Pramita Sari
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Rujukan:
Ikhlas Syarat Diterimanya Ibadah, penerbit Pustaka Ibnu Katsir
Langkah Pasti Menuju Bahagia, penerbit Daar An Naba’
Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, penerbit Putaka Muslim

Sumber : Muslimah.Or.Id

Muslim STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA