Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di
bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini
yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan
puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca
pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.
Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh
asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang
semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan
(berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan
puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan
(6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang
melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan
Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini
dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia
seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka
baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas
dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling
minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat
Islam.
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
- Puasanya dilakukan selama enam hari.
- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan
kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan
sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib.
Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa
Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang
dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang
mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka
Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima
amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan
sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini
diambil dari perkataan sebagian salaf,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf
lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan
selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan
dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang
pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah
dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya
atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di
bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat
lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan
Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa
Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan
dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti
ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan),
“Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya
pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang
yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang
seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan
kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang
seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling
kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu
banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui
amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab
datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam
lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang
banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka
bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di
bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita
dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu
bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari
setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk
melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan
hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan
satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it
sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu
nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan
nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat
agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah
disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu
nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua.
Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang
juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada
terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap
nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang
mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara
sempurna).”[13]
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan
karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika
menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia
terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan
karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera
melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia
begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak
ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan
saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan
rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan
Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab
ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan
janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy
yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di
bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah
Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya,
beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di
bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al
Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah
menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain
kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin”
adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang
diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah
sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat
tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya,
sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut,
“Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara
tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan
amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan
adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika
seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan,
maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat
bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya.
Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah
sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang
dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan
sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan
hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari
hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk
istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi
taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan
memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.
[3] QS. Al An’am ayat 160.
[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas] [7] -idem-
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail] [9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.
[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.
[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.
[3] QS. Al An’am ayat 160.
[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas] [7] -idem-
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail] [9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.
[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.
[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.