بسم الله الرحمن الرحيم
Hakikat Iman
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah
kepada Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya agama secara lurus,
mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah: 5)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan
keyakinan. Karena Allah menamakan perkara-perkara ini sebagai agama yang
lurus. Istilah agama dan iman adalah semakna. Yang dimaksud dengan agama yang lurus adalah millah/ajaran yang benar.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
Unsur Keimanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman
itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa
ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari
jalan. Bahkan, rasa malu juga merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Beliau menjadikan perkara-perkara ini semuanya sebagai bagian dari
iman. Yaitu ucapan laa ilaha illallah, ini adalah ucapan. Menyingkirkan
gangguan dari jalan, ini adalah amalan. Dan rasa malu sebagai cabang
keimanan, maka ini adalah keyakinan…” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)
Fluktuasi Iman
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu ialah yang apabila disebutkan nama Allah
maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya mereka maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya
bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal: 2).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Apabila seorang insan
mendengar al-Qur’an maka bertambahlah imannya. Dan apabila dia jauh dari
al-Qur’an maka berkuranglah imannya.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 175)
Tujuan Penciptaan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,
“Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar mereka mengesakan
Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya
mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan
Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak bisa dipisahkan,
pent).” (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/33])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah)
tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir maka kerajaan Allah
tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya.
Kamulah yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah
adalah dengan memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan
dirimu sendiri. Jika kamu beribadah kepada-Nya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan
memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah
memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akherat. Jadi, siapakah yang
memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah
hamba. Adapun Allah jalla wa ‘ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.”(lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 15-16)
Asas Agama Islam
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Aqidah
tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala
bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah
tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha
illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang
merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau
ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa
masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan
aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Tiga Pilar Ibadah
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang
diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan.
Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur
ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu
unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan
sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini
adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap
semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah
kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum
Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
Tauhid Rububiyah Tidak Cukup
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid
rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila
disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam
beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan
keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Landasan Kecintaan
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Kecintaan merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros segala ajaran
agama. Dengan kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama islam, dan
dengan berkurangnya cinta maka berkuranglah tauhid seorang insan. Yang
dimaksud dengan cinta di sini adalah kecintaaan penghambaan yang
mengandung perendahan diri dan ketundukan serta ketaatan secara mutlak
dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari segala sesuatu
selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allah, tidak boleh
dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.”(lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 84)
Maqam Tauhid Yang Tertinggi
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan
(dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid
yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah
tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada
Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada
selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun menjadi
benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)
Larangan Provokasi
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat
senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain
itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan
mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan
mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan
masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap
penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat.
Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk
ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar