Senin, 15 Oktober 2018

*Ternyata Ulama Nusantara Beriman Allah Berada di Atas ‘Arsy (Part 1)*



*Allah Beristiwa di Atas Arsy*

Bismillah…

*Ahlussunah wal jama’ah meyakini bahwa Allah beristiwa di atas Arasy*. Banyak dalil dalam Al-Qur’an maupun hadis yang menegaskan keyakinan ini.
Selengkapnya bisa anda pelajari di sini : *Mengimani Allah Berada di Atas Langit*

Bahkan fitrah atau naluri manusia mengakui, bahwa Allah beristiwa di atas Arasy. Hal ini ditunjukkan saat ia berdoa kemanakah tangan menengadah?!
Saat dia mendapatkan musibah atau permasalahan hidup, dia akan berucap pasrah dan mentabahkan diri, “Kita serahkan semuanya kepada yang di atas.”
Dan yang menarik, ternyata akidah ini bukanlah akidah yang baru di negeri kita tercinta. Para ulama Nusantara yang telah mendahului kita, menjelaskan akidah agung ini. Mari kita selengkapnya pada tulisan Ustadz Firman Hidayat Mawardi BA* berikut:
***
Syaikh Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi, guru besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta asal Aceh, menjelaskan dalam Tafsir Al-Quran Al-Majid “An-Nur” (II/123),
“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, menurut keadaan yang Allah sendiri lebih mengetahui, serta  keadaan itu suci dari menyerupai keadaan makhluk. Pernah ditanya kepada Malik tentang makna istiwa’=bersemayam, berketetapan.
Maka beliau menjawab, “Menurut bahasa istiwa itu terang. Bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy, kita tidak dapat mengetahuinya. Menanyakan tentang bagaimana Tuhan bersemayam di atas ‘Arsy adalah bid’ah.’ Demikian pendapat sahabat dan ulama salaf (klasik).

*Ulama salaf* menerima hal tersebut dengan tidak menjelaskan begini dan begitu, dan tidak menyerupakan keadaan itu dengan keagaan makhluk. Mereka menyerahkan hal itu kepada Allah sendiri.
Adapun *Asy’ariyah* mentakwil (baca: mentahrif/mengobah) makna itu dengan menyatakan bahwa sesudah menciptkan langit dan bumi, Allah mengatur segala urusan yang berkaitan dengan itu dan menentukan sistemnya menurut takdir dan hikmah yang telah ditentukan.”
Berkaitan dengan penjelasan ayat-ayat istiwa di atas, selain Ash-Shiddieqy sebagai pemberi penjelasan yang *sesuai dengan pemahaman Salaf Shalih* yang mewakili ulama-ulama Nusantara, ternyata ada pula ulama yang jauh hidup dari zamannya yang juga telah terlebih dahulu menjelaskan kepada masyarakat bahwa 

*Allah berada di atas langit, bukan di mana-mana*.

Beliaulah Syaikh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Fanshuri As-Sinkili, Qadhi Kerajaan Aceh pengganti Al-Qadhi Nuruddin Muhammad Ar-Raniri.

Baiklah, untuk mempersingkat waktu, saya persilakan Anda mendengarkan penjelasan beliau dalam Tafsir Turjuman Al-Mustafid.

*Pertama*, pada (I/209) beliau mengatakan, “Bahwasanya Tuhan kamu, Allah, yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada sekira-kira enam hari daripada segala dunia. Kemudian, maka tetap Ia atas ‘Arsy dengan tetap yang patut dengan Dia.”

*Kedua*, pada (I/250) beliau megatakan, “Allah Ta’ala jua yang mengangkatkan tujuh petala langit dengan tiada tiang yang kamu lihat akan dia. Kemudian dari itu, maka disahjanya atas ‘Arsy dengan sahaja yang patut dengan dia dan dimudahkan-Nya matahari, dan bulan adalah tiap-tiap suatu dari keduanya pada peredarannya  datang kepada hari kiamat.”

*Ketiga*, pada (II/21) beliau menulis, “Yang menjadikan bumi dan tujuh petala langit yang tinggi itu, yaitu Tuhan yang bernama Rahman atas ‘Arsy tetap Ia dan yaitu dengan tetap yang berpatutan dengan Dia.”

*Keempat*, pada (II/74) beliau menuturkan, “Ia jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya pada sekira-kira enam hari dunia. Kemudian maka yaitu Tuhan yang bernama Rahman itu atas ‘Arsy dengan nyata yang laik (baca: layak) dengan Dia.”

*Kelima*, pada (II/124) beliau menjelaskan, “Allah Ta’ala jua yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi dan antara keduanya di dalam enam hari. Pertama menjadikan itu hari Ahad dan akhirnya hari Jum’at. Kemudian dari itu, maka tetaplah Ia dan nyata atas ‘Arsy dengan nyata yang berpatutan dengan Dia.”

*Keenam*, pada (II/247) beliau menulis, “Ia jua Tuhan yang menjadikan tujuh petala langit dan bumi pada enam hari daripada segala hari dunia . Awal harinya Ahad dan akhirnya Jum’at. Kemudian dari itu, maka Ia mengrasa Ia dan nyata Ia atas Kursi dengan yang berpatutan dengan Dia.”

*Ketujuh*, pada (I/158) beliau pun menulis, “Bahwasanya Tuhan Kamu itu Allah yang telah menjadikan tujuh petala langit dan bumi di dalam enam hari daripada segala hari dunia. Kemudian maka diqashad-Nya atas ‘Arsy-Nya.”

Ringkasnya, *Syaikh ‘Abdurrauf Al-Fanshuri yang merupakan ulama nomor wahid sebumi Aceh menjelaskan dengan gamblang,  bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy dengan semayam yang bersesuaian dengan kebesaran dan keagungan-Nya*. Maksudnya ialah bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu tidak menyerupai sedikit pun dengan bersemayamnya makhluk di atas singgasananya.
Karena memang, “Tiada seperti-Nya suatu dan yaitu yang amat mendengar segala yang dikata lagi amat melihat  akan segala yang diperbuat oleh sekalian makhluk,” jelas beliau pada (II/193).

Apa yang dipaparkan di atas ini sekaligus sebagai bantahan tajam terhadap *kaum bid’ah yang bersembunyi di balik nama mulia Ahlussunnah wal Jama’ah yang pada hakekatnya berfaham sekte Asy’ariyyah atau Asya’irah*. Padahal Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri berlepas diri dari mereka yang menisbatkan diri kepada beliau.  Sebab pernyataan beliau dalam Al-Ibadah (II/105-113).
Sedangkan para ahli bid’ah *Asy’ariyyah* dan sekte-sekte yang sepaham dengan mereka dari kalangan *Muktazilah* dan lainnya berpendapat bahwa Allah Ta’ala tidaklah berada di atas ‘Arsy!

*Artinya Allah tidak berada di atas. Lalu di manakah?*

*Di antara mereka ada yang menegaskan bahwa Allah berada di mana-mana. Sehingga menurut mereka Allah berada di tempat-tempat yang baik dan juga di tempat-tempat yang kotor* sekalipun yang lisan saja enggan mengucapkannya!
Padahal mereka sendiri sedikit pun tidak mau bertempat di tempat-tempat yang kotor. Mereka pastilah lebih memilih di tempat-tempat yang bersih dan baik. Namun ketika mereka berbicara tentang Allah, mereka katakan,
“Allah ada di mana-mana!”
Subhanallah, Mahasuci Allah dari segala yang mereka katakana tentang Allah. Kita hanya mengatakan pada mereka:
تِلۡكَ إِذٗا قِسۡمَةٞ ضِيزَىٰٓ
“Kalau begitu, pembagian semacam itu tidak adil alias curang!” [QS An-Najm: 22]
Ini sama seperti sikap orang-orang musyrikin yang malu memiliki anak perempuan sehingga mereka tega mengubur mereka hidup-hidup. Namun ketika mereka bicara tentang Allah, mereka katakana bahwa Allah memiliki anak-anak perempuan, yaitu para mailakat! “Kalau begitu, pembagian semacam ini curang!”

*Sebagian ahli bid’ah pula ada yang mengatakan tanpa rasa malu dan dosa, sebagaimana kawan sejawat mereka sebelumnya yang mengatakan Allah ada di mana-mana, bahwa Allah tidak layak dikatakan apakah di atas, di bawah, atau di arah tertentu yang diketahui manusia*.
Bahkan mereka katakan, tidak layak dikatakan Allah berada di dalam atau di luar alam semesta!
Salah seorang imam mereka, yaitu Ibnu Faurak, pernah terjebak debat terkait masalah ini dengan seorang ulama Ahlussunnah yang sekaligus panglima perang terkenal bernama Mahmud bin Subuktikin.
Diantara yang dikatakan Ibnu Faurak ialah, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah ada di atas, tidak pula di bawah, tidak pula di kanan, dan tidak pula di sebelah kiri.” Mendengar itu, Mahmud bin Subuktikin menimpali, “Sesungguhnya Tuhanmu tidak ada!”
[Majmu’ Al-Fatawa (III/37)]

*Sebagaian ulama ada yang menyatakan bahwa Ibnu Faurak inilah sosok di balik semakin runyamnya akidah Asy’ariyyah*. Sebab sekte Asy’ariyyah generasi awal masih meyakini Allah berada di atas ‘Arsy, bukan di mana-mana apalagi seperti keyakinan Ibnu Faurak di atas. Namun setelah Ibnu Faurak memodifikasi ‘aqidah Asy’ariyyah, pengikut sekte ini di kemudian hari justru lebih mengikutinya daripada mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri selaku ‘pendiri’ sekte Asy’ariyyah ini.

Kemudian kenyataan di atas bahwa dua ulama senior Aceh, yang bahkan salah satunya qadhi atau mufti Kerajaan Aceh yang masyhur itu, sebagai tamparan keras untuk mereka-mereka kalangan Ahlul Bida’ wal Ahwa’ yang akhir-akhir ini mulai menampakkan kedunguan serta kebodohan mereka, dengan cara membubarkan dan memporak-porandakan setiap kajian yang jauh-jauh hari didakwahkan oleh pembesar ulama Aceh di atas.

Sehingga, amat sangat disayangkan sekali manakala orang-orang yang hanya berbekal semangat, tanpa sedikit pun mengerti apa sebetulnya corak Islam yang mewarnai bumi rencong itu. Kebodohan tersebut jelas-jelas terlahir lantaran malasnya belajar dan membaca peninggalan-peninggalan intelektual ulama mereka sendiri.
Ahlul Bida’ wal Ahwa’ tersebut justru lebih suka mengadopsi faham-faham asing yang diseludupkan ke dalam ajaran agama Islam. Sehingga wajarlah apabila mereka justru mendurhakai ‘orangtua kandung’ mereka sendiri, dan malah lebih berbakti mentaati ‘orangtua angkat’ yang datang tiba-tiba!
Sebetulnya ulama-ulama masa silam Aceh,  yang sefaham dengan ‘aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Salafiyyah, tidak sedikit jumlahnya. Bahkan sebagiannya adalah pejuang kemerdekaan Indonesia penulis kisah Perang Sabi yang mampu membangkitkan dan membakar semangat jihad kaum muslimin Aceh melawan penjajah Belanda yang kafir.
Namun sebagaimana kata orang, “Orang yang cerdas sudah cukup hanya dengan singgungan saja. Sementara orang yang dungu tidak akan pernah faham meskipun dengan seribu bahasa sekalipun.”
  
*Pernyataan Syaikh Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani*

Syaikh Daud bin ‘Abdullah Al-Jawi Al-Fathani menulis dalam Sullam Al-Mubtadi fi Ma’rifah Thariqah Al-Muhtadi hlm. 3 menurut cet. Dar Ihya’ Al-Kutub Mesir yang dicoppy oleh Maktabah Bin Hullabi Pattani Thailand atau hlm. 7 menurut cet. Al-Hidayah Selangor:
“Maka adalah Ia sekarang seperti adaNya dahulu jua sebelum lagi diadakan kaun (baca: alam semesta) ini dan tiada adaNya itu dilalu atasNya zaman dan tiada meliputi pada makan (tempat), *bersemayam di atas ‘Arsy bersamaan yang berpatutan dengan kebesaran-Nya seperti barang yang dikehendaki-Nya*. Dan tiada mengambil akan Dia oleh mengantuk dan tidur.
Maha suci Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada barang yang dikata oleh orang yang zalimun. Adalah Ia Tuhan yang amat ketinggian-Nya dan amat kebesaran-Nya.”

*Syaikh Muhammad Sa’id bin ‘Umar Kedah*
Beliau mengemukakan dalam tafsirnya yang bertajuk Nur Al-Ihsan pada ayat dalam Surat Thaha,
“Ialah Tuhan ar-Rahman itu atas ‘Arsy bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka ‘Arsy pada logat itu tempat duduk raja. Ini jalan Salaf. Maka jalan khalaf makna istiwa itu memerintah.”
Sedangkan pada tafsir ayat dalam Surat Al-Furqan beliau mengatakan pula, “Kemudian bersamaan atas ‘Arsy oleh Tuhan Ar-Rahman akan sebagai bersamaan yang layak dengan-Nya. Maka makna ‘Arsy pada logat kursi raja. Dan dikehendaki di sini jisim yang besar yang meliputi dengan alam atas tujuh lapis langit.”

*Syaikh ‘Abdul Qadir bin ‘Abdul Muttalib Al-Indonesi Al-Mandili*,
Beliau merupakan ulama Masjidil Haram asal Mandailing Indonesia, mengemukakan dalam Syarah Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah yang berjudul:  Perisai Bagian Sekalian Mukallaf,
“Dan bagi-Nya[1]tangan tiada seperti tangan hamba-Nya, dan baginya muka sabagai muka yang patut padanya dengan dia, dan bershifat ia dengan istiwa’ tetapi tiada seperti istiwa’ yang baharu.
Bertanya seorang laki-laki akan Imam Malik daripada ayat:
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Bermula Tuhan yang sangat pemurah tetap ia di atas ‘Arsy.”
Maka menundukkan Imam Malik kepalanya pada masa yang panjang kemudian berkata ia, “bermula ‘tetap’ itu diketahui akan dia, dan kelakuannya tiada dapat dengan akal, dan beriman dengan dia wajib, dan bertanya daripadanya bid’ah. Dan tiada aku sangka akan dikau melainkan sesat.”
Maka menyuruh oleh Imam Malik dengan menghalau laki-laki yang bertanya itu, maka dihalau akan dia.
Pendeknya, sifat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan sifat makhluk, seperti dzat Allah Ta’ala bersalah-salahan dengan dzat baharu. Dan tiada mengetahui oleh makhluk  akan hakikat shifat Allah ta’ala sekalipun rasul dan malaikat. Seperti tiada mengetahui oleh yang baharu akan hakikat dzat-Nya yang Maha Mulia. Dan kita serahkan akan hakikatnya kepada Allah Ta’ala serta kita i’tiqadkan bahwasannya segala shifat itu semuanya shifat kesempurnaan yang laik dan patut padan dengan kebesaran-Nya, seperti firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tiada seumpama-Nya sesuatu dan Ia jua yang sangat mendengar lagi sangat melihat.”(Qs Asy-Syura: 11)
Dan firman Allah Ta’ala:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
“Bersabda olehmu, hai Rasulullah, bermula Tuhan aku yang kamu bertanya daripada-Nya Allah Ta’ala,
Tuhan yang Maha Esa.
Dan Allah Ta’ala itu Tuhan yang diqasad pada segala hajat selama-lamanya, tiada ia beranak dan tiada diperanakkan,
dan tiada ada seorang yang menyamai dan sama tara dengan dia.” (Qs Al-Ikhlas: 1, 2, 3, 4)
Wallahua’lam.”
-Selesai kutipan dari Al-Mandili.-
Bersambung insyaallah…
***

Ditulis oleh : Firman Hidayat Mawardi, BA
*(Alumni PP Hamalatul Qur’an Yogyakarta, S1 Fakultas Syariah LIPIA Jakarta. Saat ini beliau mengajar di Islamic Centre Wadi Mubarok, Bogor)


Senin, 01 Oktober 2018

*Cara Tidur Sesuai Petunjuk Nabi*

Bagaimana cara tidur sesuai petunjuk Nabi?
Yuk pelajari dari hadits adab-adab tidur yang disebutkan dalam kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi berikut ini.

*Hadits pertama:*

Dari Al-Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tidur, beliau berbaring pada sisi kanan, lalu membaca doa:
اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيَ إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ
Allahumma aslamtu nafsii ilaik, wa fawwadh-tu amrii ilaik, wa wajjahtu wajhiya ilaik, wa alja’tu zhohrii ilaik, rogh-batan wa rohbatan ilaik, laa malja-a wa laa manjaa minka illa ilaik. Aamantu bikitaabikalladzi anzalta wa bi nabiyyikalladzi arsalta.
[Artinya: “Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepadaMu, aku menyerahkan urusanku kepadaMu, aku menghadapkan wajahku kepadaMu, aku menyandarkan punggungku kepadaMu, karena senang (mendapatkan rahmatMu) dan takut pada (siksaanMu, bila melakukan kesalahan). Tidak ada tempat perlindungan dan penyelamatan dari (ancaman)Mu, kecuali kepadaMu. Aku beriman pada kitab yang telah Engkau turunkan, dan (kebenaran) NabiMu yang telah Engkau utus.” Apabila Engkau meninggal dunia (di waktu tidur), maka kamu akan meninggal dunia dengan memegang fitrah (agama Islam)].” (HR. Bukhari, no. 6313; Muslim, no. 2710) 

*Hadits kedua:*

Dari Al-Bara’ bin Aazib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padaku, “Jika engkau hendak tidur, maka berwudhulah dengan wudhu yang digunakan untuk shalat lalu berbaringlah pada sisi kanan.” Kemudian disebutkan do’a seperti di atas, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Jadikanlah bacaan tersebut sebagai kalimat terakhir yang engkau ucapkan.” (HR. Bukhari, no. 247; Muslim, no. 2710)

*Hadits ketiga:*

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat malam sebanyak 11 raka’at. Ketika terbit fajar Shubuh, beliau melakukan dua raka’at ringan, kemudian beliau berbaring lagi setelah itu pada sisi kakan sampai muadzin mengumandangkan iqamah. (HR. Bukhari, no. 6310; Muslim, no. 736) 

*Hadits keempat:*

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ingin tidur di malam hari, maka beliau meletakkan tangannya di pipinya (yang kanan), kemudian mengucapkan,
اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوْتُ وَأَحْيَا
“ALLOHUMMA BISMIKA AMUUTU WA  [Artinya: Ya Allah, dengan nama-Mu. Aku mati dan aku hidup].” Jika beliau bangun dari tidur, beliau mengucapkan,
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ
“ALHAMDULILLAHILLADZI AHYANAA BA’DA MAA AMAATANAA WA ILAIHIN NUSYUUR [Artinya: Segala puji bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami dan kepada-Nya lah kami dibangkitkan].” (HR. Bukhari, no. 6325)

*Hadits kelima:*

Dari Ya’isy bin Thokhfah Al-Ghifariy, dari bapaknya, ia berkata, “Ketika itu aku sedang berbaring tengkurap di masjid karena begadang dan itu terjadi di waktu sahur. Lalu tiba-tiba ada seseorang menggerak-gerakkanku dengan kakinya. Ia pun berkata, “Sesungguhnya ini adalah cara berbaring yang dibenci oleh Allah.” Kemudian aku pandang orang tersebut, ternyata ia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Abu Daud, no. 5040 dan Ibnu Majah, no. 3723. Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al-Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). 

*Hadits keenam:*

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapa yang duduk tanpa menyebut nama Allah di dalamnya, maka di dalamnya ada kekurangan (tirotun). Siapa yang tidur dalam keadaan tidak menyebut nama Allah di dalamnya, maka di dalamnya ada kekurangan (tirotun).” (HR. Abu Daud, no. 4856; 5059. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan bahwa hadits ini hasan).

*Faedah dari Adab Tidur*

1- Disunnahkan berbaring pada sisi kanan. Manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim, “Tidur berbaring pada sisi kanan dianjurkan dalam Islam agar seseorang tidak kesusahan untuk bangun shalat malam. Tidur pada sisi kanan lebih bermanfaat pada jantung. Sedangkan tidur pada sisi kiri berguna bagi badan (namun membuat seseorang semakin malas)” (Zaad Al-Ma’ad, 1:321-322).

2- Membaca dzikir sebelum tidur:
    • ALLOHUMMA ASLAMTU NAFSII ILAIK, WA WAJJAHTU WAJHII ILAIK, WA FAWWADH-TU AMRI ILAIK, WA ALJA’TU ZHAHRI ILAIK, ROGHBATAN WA ROHBATAN ILAIK. LAA MALJA-A WA LAA MANJAA MINKA ILLA ILAIK. AAMANTU BI KITAABIKALLADZI ANZALTA WA NABIYYIKALLADZI ARSALTA. Manfaat dari dzikir ini: Jika seseorang membaca dzikir di atas ketika hendak tidur lalu ia mati, maka ia mati di atas fithrah (mati di atas Islam).
    • Bismika allahumma amuutu wa ahyaa. Artinya: “Dengan namaMu, ya Allah! Aku mati dan hidup.” (HR. Bukhari, no. 6312 dan Muslim, no. 2711). Bisa juga dengan lafazh, “ALLAHUMMA BISMIKA AMUUTU WA AHYA”.
3- Membaca dzikir setelah bangun tidur, “ALHAMDULILLAHILLADZI AHYANAA BA’DA MAA AMAATANAA WA ILAIHIN NUSYUUR.” (HR. Bukhari, 11:113)

4- Membaca dzikir sebelum dan sesudah tidur, agar tidurnya penuh berkah, tidak terdapat tirotun (kekurangan). Juga dzikir ini moga sebagai akhir perkataan setiap orang yang akan tidur.

5- Disunnahkan berwudhu dengan wudhu yang digunakan untuk shalat.

6- Apa manfaat berwudhu sebelum tidur? Dijelaskan oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali bahwa dianjurkan berwudhu sebelum tidur dengan beberapa hikmah:
    • Dikhawatirkan nantinya seseorang yang akan tidur mati tiba-tiba. Mudah-mudahan jadi akhir hidup yang baik.
    • Berwudhu tadi sebagai persiapan menyucikan hati karena itu lebih utama dari menyucikan badan.
    • Supaya kalau bermimpi dapat dikatakan sebagai mimpi yang benar dan terhindar dari dipermainkan setan dalam tidur.
7- Dzikir atau wirid yang dilakukan sebelum tidur sifatnya tawqifiyyah, mesti patuh pada dalil, tidak ada qiyas dalam hal ini. Maka wajib menjaga dzikir sebagaimana disebutkan dalam hadits. Karena Al-Bara’ bin ‘Azib ketika keliru membaca dzikir sebelum tidur dengan kalimat “wa rosulikalladzi arsalta”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, “Tidak seperti itu, namun yang benar dengan kalimat ‘WA NABIYYIKALLADZI ARSALTA.’

8- Shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at.

9- Shalat sunnah fajar adalah dua raka’at, dengan raka’at yang ringan. Jika luput dari shalat ini bisa dilakukan setelah shalat Shubuh langsung.

10- Dianjurkan tidur sebelum Shalat Fardhu Shubuh, setelah melakukan shalat sunnah Fajar. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimian bahwa perintah tersebut ditujukan bagi imam karena imam diperintahkan untuk melakukan shalat sunnah di rumah. Imam pun ditunggu, berbeda dengan makmum. Kalau makmum melakukan seperti itu saat melaksanakannya di rumah lantas ia tertidur, maka bisa jadi ia akan tertinggal dari shalat Shubuh itu sendiri. Apakah berlaku bagi setiap yang melaksanakan qabliyyah Shubuh? Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin bahwa perintah ini lebih tepat ditujukan pada orang yang melakukan shalat tahajjud (shalat malam) dan mereka menuai lelah atau capek sehingga butuh akan istirahat sejenak seperti itu.

11- Imam itu keluar untuk shalat ketika jama’ah sudah pada berkumpul.

12- Imam dianjurkan melakukan shalat sunnah rawatib di rumah dan imam hadir ketika akan iqamah.

13- Tidur tengkurap itu terlarang. Hadits lainnya yang membicarakan hal ini, dari Ibnu Tikhfah Al Ghifari, dari Abu Dzarr, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di hadapanku dan ketika itu aku sedang tidur tengkurap. Beliau menggerak-gerakkanku dengan kaki beliau. Beliau pun bersabda, “Wahai Junaidib, tidur seperti itu seperti berbaringnya penduduk neraka.” (HR. Ibnu Majah no. 3724. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak pantas seseorang tidur tengkurap lebih-lebih lagi dilakukan di tempat yang terbuka. Karena jika orang banyak melihat tidur semacam itu, mereka tidak suka. Namun jika seseorang dalam keadaan sakit perut, dengan tidur seperti itu membuat teredam sakitnya, maka seperti itu tidaklah mengapa karena dilakukan dalam keadaan butuh.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 343) 

*Boleh Tidur Terlentang*

Dari ‘Abbad bin Tamim, dari pamannya bahwa ia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur terlentang di masjid dalam keadaan meletakkan satu kaki di atas lainnya. (HR. Bukhari no. 475 dan Muslim no. 2100).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menerangkan, “Yang lebih afdhol adalah tidur pada sisi kanan. Sedangkan tidur tengkurap adalah tidur yang tidak pantas kecuali dalam keadaan butuh. Sedangkan tidur dalam keadaan terlentang adalah tidak mengapa selama menjaga aurat tidak terbuka. Namun jika khawatir akan tersingkapnya aurat yaitu ketika mengangkat kedua kaki dan tidak memakai celana di bagian dalam jubah misalnya, maka itu tidaklah pantas. Namun kalau aman, maka tidaklah mengapa.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 346).

*Tidur dalam Keadaan Junub*

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.” (HR. Bukhari, no. 287; Muslim, no. 306).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 288).
‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qois mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, “Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qois berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim, no. 307).

Keadaan orang sebelum tidur sebagai berikut.
1- Junub lalu mandi sebelum tidur, ini lebih sempurna.
2- Junub dan wudhu terlebih dahulu sebelum tidur, ini yang disunnahkan untuk memperingan junub.
3- Junub dan tanpa wudhu, lalu tidur. Seperti ini masih dibolehkan.

Semoga bermanfaat.

*Referensi:*

Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. 2:94-98
Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. 4:340-342.

@ Batik dan perjalanan ke Kemang Raya 124 Jakarta, 15 Dzulqa’dah 1438 H

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
 
- Lulusan S-1 Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 
- S-2 Polymer Engineering (Chemical Engineering) King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia. 
- Guru dan Masyaikh yang pernah diambil ilmunya: Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy-Syatsri dan Syaikh Shalih Al-'Ushaimi. 
- Sekarang menjadi Pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul.

Selasa, 25 September 2018

*Adab Makan Penuh Barokah (2)*


Berikut adalah lanjutan adab-adab makan pada seri sebelumnya.

*Keenam: Tidak menjelek-jelekkan makanan yang tidak disukai*

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela suatu makanan sekali pun dan seandainya beliau menyukainya maka beliau memakannya dan bila tidak menyukainya beliau meninggalkannya (tidak memakannya).[1] Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Inilah adab yang baik kepada Allah Ta’ala. Karena jika seseorang telah menjelek-jelekkan makanan yang ia tidak sukai, maka seolah-olah dengan ucapan jeleknya itu, ia telah menolak rizki Allah.”[2]

*Ketujuh: Makan secara bersama-sama dan tidak makan sendirian*

Dari Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ إِذَا كُنْتَ فِى وَلِيمَةٍ فَوُضِعَ الْعَشَاءُ فَلاَ تَأْكُلْ حَتَّى يَأْذَنَ لَكَ صَاحِبُ الدَّارِ.
Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?” Beliau bersabda, “Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.”[3] Ibnu Baththol berkata, “Makan secara bersama-sama adalah salah satu sebab datangnya barokah ketika makan.”[4]

*Kedelapan: Tidak membiarkan suapan makanan yang terjatuh*

Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ
Apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, ambilah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jangan dibiarkan suapan tersebut dimakan setan.”[5]

*Kesembilan: Menjilat tangan sebelum mencuci atau mengusapnya*

Lanjutan dari hadits Jabir sebelumnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فِى أَىِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ
Janganlah dia sapu tangannya dengan serbet sebelum dia jilati jarinya. Karena dia tidak tahu makanan mana yang membawa berkah.[6]

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Menjilat jari (seusai makan) adalah sesuatu yang disyari’atkan (dianjurkan). Alasannya sebagaimana yang disebutkan di akhir hadits, yaitu karena orang yang makan tidak mengetahui di manakah barokah yang ada pada makanannya. Makanan yang disajikan pada orang yang makan benar-benar ada barokahnya. Namun tidak diketahui apakah barokahnya ada pada makanan yang dimakan, atau pada makanan yang tersisa pada jari atau pada mangkoknya, atau pada suapan yang terjatuh. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seseorang memperhatikan ajaran ini agar ketika makan pun bisa meraih barokah. Pengertian barokah pada asalnya adalah bertambahnya dan tetapnya kebaikan serta mendapatkan kesenangan dengannya.”[7]

An Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa dibolehkan mengusap tangan dengan serbet, namun yang sesuai sunnah (ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) dilakukan setelah menjilat jari.[8]

*Kesepuluh: Memuji Allah dan berdo’a seusai makan*

Di antara do’a yang shahih yang dapat diamalkan dan memiliki keutamaan luar biasa adalah do’a yang diajarkan dalam hadits berikut. Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), *maka diampuni dosanya yang telah lalu.*”[9]

Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum[10] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.[11]

*Kesebelas: Mendo’akan orang yang menyajikan makanan*

Do’a yang bisa dibaca:
اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى
Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku][12]

*Keduabelas: Mencuci tangan untuk membersihkan sisa-sisa makanan*

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا بَاتَ أَحَدُكُمْ وَفِى يَدِهِ غَمَرٌ فَأَصَابَهُ شَىْءٌ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
Jika salah seorang dari kalian tidur dan di tangannya terdapat minyak samin (sisa makanan) kemudian mengenainya, maka janganlah mencela kecuali kepada dirinya sendiri.”[13]
Moga dengan adab-adab yang kami sajikan ini, rutinitas makan kita bukan hanya ingin menguatkan badan saja, namun bisa bernilai ibadah dan mendapatkan barokah, yaitu kebaikan yang melimpah dari sisi Allah. Wallahu waliyyut taufiq.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

-Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat-

Panggang-GK, 29th Shafar 1432 H (2/2/2011)

[1] HR. Bukhari no. 5409.
[2] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 18/93
[3] HR. Abu Daud no. 3764. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[4] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 18/121
[5] HR. Muslim no. 2033
[6] HR. Muslim no. 2033
[7] Nailul Author, Muhammmad bin ‘Ali binn Muhammad Asy Syaukani, Idarotu Thoba’ah Al Maniriyah, 9/34
[8] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392, 13/204-205
[9] HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[10] HR. Muslim no. 2734
[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/51.
[12] HR. Muslim no. 2055.
[13] HR. Ahmad 2/344. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.




*Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc.*
-          Lulusan S-1 Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
-          S-2 Polymer Engineering (Chemical Engineering) King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia.
-          Guru dan Masyaikh yang pernah diambil ilmunya: Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy-Syatsri dan Syaikh Shalih Al-'Ushaimi.
-          Sekarang menjadi Pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul.

Sumber : https://rumaysho.com/