Senin, 18 Agustus 2014

Lima Faedah Puasa Syawal

Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.

Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
  1. Puasanya dilakukan selama enam hari.
  2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
  3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
  4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dalam puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).”[13]
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja. [14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah dan shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita untuk istiqomah dalam ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan dan memudahkan kita untuk menyempurnakannya dengan melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Footnote:
[1] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[2] Syarh Muslim, 4/186, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah.
[3] QS. Al An’am ayat 160.
[4] HR. Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dari Tsauban –bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1007.
[5] Lihat Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/6, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah dan Taisir Al Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 282, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
[6] Lihat Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 394, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H [Tahqiq: Yasin Muhammad As Sawaas] [7] -idem-
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail] [9] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[10] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa no. 102, 10/139-141
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 394.
[12] HR. Bukhari no. 4837 dan Muslim no. 2820.
[13] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 394-395.
[14] Pembahasan berikut kami olah dari Latho-if Al Ma’arif, hal. 396-400
[15] HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783
[16] Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.
[17] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 399.

Tata Cara Puasa Syawal

Puasa Syawal kita tahu memiliki keutamaan yang besar yaitu mendapat pahala puasa setahun penuh. Namun bagaimanakah tata cara melakukan puasa Syawal?

Keutamaan Puasa Syawal

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itul punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Itulah dalil dari jumhur atau mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Yang berpendapat puasa tersebut sunnah adalah madzhab Abu Hanifah, Syafi’i dan Imam Ahmad. Adapun Imam Malik memakruhkannya. Namun sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah, “Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang menyunnahkan puasa Syawal didukung dengan dalil tegas ini. Jika telah terbukti adanya dukungan dalil dari hadits, maka pendapat tersebut tidaklah ditinggalkan hanya karena perkataan sebagian orang. Bahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah ditinggalkan walau mayoritas atau seluruh manusia menyelisihinya. Sedangkan ulama yang khawatir jika puasa Syawal sampai disangka wajib, maka itu sangkaan yang sama saja bisa membatalkan anjuran puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura’ dan puasa sunnah lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)

Seperti Berpuasa Setahun Penuh

Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini,
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »
Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Tata Cara Puasa Syawal

1- Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari
Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah: “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).
2- Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).
3- Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)
4- Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).
Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna, maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).
5- Boleh melakukan puasa Syawal pada hari Jum’at dan hari Sabtu.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).
Hal ini menunjukkan masih bolehnya berpuasa Syawal pada hari Jum’at karena bertepatan dengan kebiasaan.
Adapun berpuasa Syawal pada hari Sabtu juga masih dibolehkan sebagaimana puasa lainnya yang memiliki sebab masih dibolehkan dilakukan pada hari Sabtu, misalnya jika melakukan puasa Arafah pada hari Sabtu. Ada fatwa dari Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia berikut ini.

Soal:
Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arafah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada  yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arafah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arafah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas  mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.
Jawab:
Boleh berpuasa Arafah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arafah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih. (Fatwa no. 11747. Ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayan).
Semoga Allah memudahkan kita untuk melakukan puasa Syawal ini setelah sebelumnya berusaha menunaikan puasa qodho’ Ramadhan. Hanya Allah yang memberi hidayah untuk terus beramal sholih.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Rabu, 26 Februari 2014

Keagungan Tauhid dalam Diri Seorang Muslim

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, merupakan kebahagiaan tak terkira tatkala Allah memilih kita diantara sekian banyak manusia untuk menjadi muslim. Sebab dengan Islam itulah seorang insan akan meraih berbagai keutamaan dan pahala. Sebaliknya, tanpa Islam lenyaplah segala kebahagiaan dan kesuksesan.

Diantara perkara yang membuat hati semakin bergembira dan lapang ialah tatkala kita mengetahui bahwa surga yang penuh dengan kenikmatan hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpegang teguh dengan Islam secara lahir dan batin. Bukan hanya Islam secara penampilan, namun juga Islam yang tumbuh dari dalam relung hatinya.

Berangkat dari sanalah, semestinya kita sebagai seorang muslim untuk terus menambah syukur kita kepada Allah Ta’ala. Tidak henti-hentinya Allah curahkan sekian banyak nikmat dan karunia kepada kita, sampai detik ini. Nikmat-nikmat yang menjadi sebab keberlangsungan hidup kita di alam dunia.

Bukan hanya hidup secara jasmani, namun juga hidup secara rohani. Bukankah banyak orang yang hidup tetapi gaya hidupnya tidak jauh berbeda dengan binatang, tidak lebih mulia daripada anjing dan babi. Mereka hidup hanya demi pemuasan hawa nafsu dan mengejar ambisi dunia yang fana. Padahal, Allah Ta’ala menegaskan hikmah penciptaan kita dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56)

Raih Kemuliaan Dengan Ibadah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, inilah kadar kemuliaan dan martabat tinggi yang Allah tawarkan kepada umat manusia jika mereka mau taat dan patuh kepada ajaran-ajaran-Nya. Derajat hamba Allah, derajat tinggi insan pilihan dan hamba jempolan. Bukan derajat rendahan yang diperebutkan oleh manusia-manusia pemuja akal dan hawa nafsunya.
Seorang ulama, ‘Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Jika seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri [hawa nafsu] niscaya dia akan memandang dirinya [bisa jadi] jauh lebih hina daripada seekor anjing.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/29])

Itulah yang terjadi dan itulah yang merebak di tengah-tengah manusia. Ketika mereka lebih mengutamakan dan memuja selain-Nya. Padahal, mereka diciptakan untuk sebuah tujuan mulia, yaitu untuk mentauhidkan-Nya; beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan” Inilah kemuliaan jati diri seorang hamba.

Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq Al Wushul ila Idhah Ats Tsalatsah Al Ushul, hal. 147)

Memurnikan Keimanan dari Segala Kezhaliman

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagai seorang muslim kita menyadari bahwa mewujudkan nilai-nilai keislaman tidaklah hanya terhenti pada mengikrarkan dua kalimat syahadat, menjalankan shalat, membayar zakat, atau puasa Ramadhan. Lebih daripada itu semua, keislaman yang hakiki menuntut kita untuk benar-benar menjadi hamba Allah, yaitu orang yang mengabdi dan beribadah kepada-Nya semata, tidak kepada selain-Nya. Seorang muslim harus menjaga dirinya dari segala bentuk kezhaliman, dan yang terbesar ialah mempersekutukan-Nya dalam beribadah [baca: syirik].

Mengenai hal ini, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezhaliman, maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah” (QS. Al An’aam : 82).

Seorang sahabat Nabi yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika turun ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezhaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzhalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar (QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Inilah perkara yang ditetapkan-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah ; Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah” (QS. al-An’am: 162-163).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan shalat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Salah Satu Keutamaan Tauhid

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya -Abu Thalib- menjelang kematiannya, “Ucapkanlah laa ilaha illallah! Yang dengan kalimat itu aku akan bersaksi untuk menyelamatkanmu pada hari kiamat” Akan tetapi pamannya itu enggan. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu cintai...” (QS. Al Qashash : 56)” (HR. Muslim).

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan (tidak masuk neraka sama sekali)” (lihat Al Qaul As Sadid fi Maqashid At Tauhid, hal. 17).

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula” (HR. Tirmidzi, dan beliau nilai derajatnya hasan).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan siksaannya, ‘Seandainya kamu memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini apakah kamu mau menebus siksa dengannya?”. Dia menjawab, ‘Iya.’ Allah berfirman, “Sungguh Aku telah meminta kepadamu sesuatu yang lebih ringan daripada hal itu tatkala kamu masih berada di tulang sulbi Adam yaitu agar kamu tidak mempersekutukan-Ku, akan tetapi kamu tidak mau patuh (enggan) dan justru memilih untuk berbuat syirik.‘.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari sinilah, kita mengetahui betapa agung kedudukan tauhid dalam diri seorang muslim. Karena dengan tauhid itulah kebahagiaan dunia dan akhirat akan bisa digapai olehnya. Hanya kepada Allah jua, kita memohon keteguhan di atas agama-Nya.  
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si
Sumber : Buletin At-Tauhid
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Mengamalkan Dua Kalimat Syahadat

Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullāh. Kalimat ini adalah pondasi Islam dimana bangunan Islam dibangun diatasnya. Kalimat ini memiliki makna agung dan konsekuensi besar yang wajib ditunaikan oleh setiap pengucapnya. Oleh karena itu, setiap dari kita wajib mengetahui, memahami, dan mengamalkan kandungannya.
Makna Syahadat Laa ilaaha illallāh
Laa ilaaha illallāh memiliki 2 rukun yaitu an nafyu (peniadaan) dan al itsbat (penetapan). An nafyu ditunjukkan pada kalimat ’Laa ilaaha’, yang artinya meniadakan semua peribadahan kepada selain Allah. Sedangkan Al itsbat ditunjukkan pada kalimat ’illallāh’, yang artinya menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi, tidak ada sekutu bagiNya.
Maka, makna Laa ilaaha illallāh adalah laa ma’buda bi haqqin illallāh, yang artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan yang bathil.” (QS. Luqman : 30).
Makna ”ilah” adalah sesembahan yang ditaati dan yang dipuja dalam hati dengan cinta, pengagungan, dan ketundukan. Sehingga, tidak ada ilah yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. (Tadzhib Tas-hil ’Aqidah Islamiyyah, hal 32-33 dengan tambahan).
Pemaknaan Laa ilaaha illallāh dengan laa ma’buda illallāh (Tidak ada tuhan/sesembahan selain Allah), adalah pemaknaan yang keliru, karena realitanya ada banyak sesembahan yang disembah manusia selain Allah. Kalimat ini juga bisa bermakna, semua yang disembah manusia berupa pohon, berhala, orang shalih, dan yang lainnya adalah Allah. Pemaknaan seperti ini adalah kesalahan yang sangat fatal dan bukanlah pemaknaan yang dimaksudkan dari sisi bahasa Arab.
Konsekuensi Syahadat Laa ilaaha illallāh
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan semua bentuk ibadah dan menggantungkan hati kepada Allah semata serta mengingkari dan meninggalkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya, karena dia telah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallāh.
Siapa yang memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a atau menyembelih atau bernadzar kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah padahal yang mampu memberikan pertolongan itu hanyalah Allah, maka dia telah terjatuh kepada syirik akbar, yaitu dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah kecuali dengan taubat. Baik dia tujukan ibadah tersebut kepada berhala, pohon, nabi, wali yang hidup atau yang sudah mati, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini. Sesungguhnya Allah tidak ridha dipersekutukan dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah saja dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal 24-25).
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Makna kalimat syahadat ini adalah mengikrarkan dengan lisan dan meyakini dengan hati bahwa Muhammad bin ’Abdillah Al Quraisyi Al Hasyimi adalah hamba Allah dan utusan Allah kepada semua makhluk dari jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat : 56). Tidaklah bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan wahyu yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-Nya (Rasulullah), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS.Al Furqan : 1).
Muhammad adalah Rasul Allah yang tidak boleh didustakan dan hamba Allah yang tidak boleh disembah dan diibadahi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mempunyai hak rububiyyah (sifat ketuhanan-red). Tidak pula bisa memberikan manfaat dan madharat untuk dirinya sendiri dan orang lain tanpa izin dari Allah Ta’ala . (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal 54-55).
Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Diantaranya, kita wajib membenarkan semua yang beliau beritakan, termasuk perkara ghaib berupa tanda-tanda hari kiamat, kejadian di alam akhirat, kisah ummat terdahulu, dan yang lainnya. Karena Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah berdusta. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan tidaklah dia berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ” (QS. An Najm : 3-4).
Selain itu, mentaati semua yang beliau perintahkan. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu, kecuali terdapat kebaikan dan manfaat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. An Nisaa’ : 64).
Kemudian, meninggalkan semua yang beliau larang untuk dikerjakan. Tidaklah beliau melarang sesuatu kecuali terdapat keburukan dan bahaya didalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang terakhir, tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau ajarkan. Tidak boleh beribadah dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena ibadah adalah perkara tauqifiyyah (membutuhkan dalil), yang harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beribadah dan beramal dengan amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalan tersebut tertolak”.(HR. Muslim). (Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul, hal 274-276)
Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkannya
Adapun mengucapkan syahadat dengan lisan dan mengingkarinya di dalam hati, ini adalah jalan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya), ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 145).
Sebaliknya, jika hanya meyakini dalam hati, tetapi tidak mengucapkannya dan melaksanakan konsekuensinya, maka tidaklah bermanfaat keyakinannya itu. Sebagaimana yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib, dan sebagian besar kaum musyrikin jahiliyyah.
Dan jika sudah diyakini dan diucapkan, tetapi tindakan nyatanya bertentangan dengan ucapannya, maka tidaklah bermanfaat syahadatnya tersebut. Seperti yang banyak terjadi di zaman ini, banyak kaum muslimin yang berdoa kepada orang yang sudah mati di kuburan mereka. Hal ini bertentangan dengan syahadat Laa ilaaha illallāh. Banyak pula yang tidak mau menjadikan petunjuk Rasulullah sebagai jalan hidupnya. Hal ini bertentangan dengan syahadat Muhammad Rasulullah.
Demikianlah, 2 kalimat syahadat ini juga merupakan pondasi ibadah dimana semua ibadah dibangun diatasnya. Tidaklah diterima suatu ibadah, kecuali jika diniatkan ikhlas karena Allah (kandungan syahadat Laa ilaaha illallāh) dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad Rasulullah). Dan kualitas ibadah seseorang berbeda-beda sebanding dengan kadar ikhlas dan ittiba’ dalam ibadahnya tersebut. (Lihat Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul).

Sumber : Buletin At Tauhid
Penulis : Ferdiansyah Aryanto, S.T. (Alumni Ma’had Al ’Ilmi Yogyakarta)

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Fatihah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya suatu ilmu yang kebutuhan umat manusia terhadapnya semakin besar maka konsekuensinya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya juga semakin jelas, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al ‘Aqidah ath Thahawiyah, hal. 86)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, membaca surat Al Fatihah barangkali sudah menjadi perkara yang biasa bahkan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena di setiap raka’at shalat, surat ini selalu kita baca. Meskipun demikian, kita sering lalai dari merenungi hikmah dan pelajaran penting yang ada di dalamnya.

Apabila kita cermati penjelasan para ulama, baik di dalam kitab tafsir, kitab hadits, atau kitab seputar akidah dan tauhid, akan kita temukan bahwa surat Al Fatihah ini menyimpan sedemikian banyak ajaran Islam, dan yang paling utama adalah mengenai tauhid. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak beberapa keterangan berikut.
Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta. Keyakinan ini merupakan salah satu perkara penting dalam iman seorang muslim. Kita yakin, bahwa Allah semata yang menciptakan alam semesta ini. Kita juga yakin, bahwa Allah semata yang mengatur dan menguasainya. Inilah yang dikenal dalam istilah para ulama dengan nama tauhid rububiyah.

Nah, di dalam surat Al Fatihah ini, tauhid jenis ini terkandung di dalam beberapa ayat. Diantaranya adalah pada ucapan hamdalah <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin> yang artinya, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam”. Di dalamnya terdapat penegasan bahwa Allah adalah Rabb, yaitu penguasa dan pemelihara alam semesta. Inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah. Demikian juga, di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> yang artinya, “Yang merajai pada hari pembalasan”. Di dalamnya juga terkandung pengakuan bahwa Allah yang menguasai hari kiamat, sebagaimana Allah adalah penguasa jagad raya sebelum terjadinya kiamat.
Tauhid Asma’ wa Shifat
Tauhid asma’ wa shifat adalah keyakinan tentang kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Kita mengimani bahwa Allah Maha Pengasih lagi Penyayang, sebagaimana dalam ayat <Ar Raḥmaanir Raḥiim>. Allah memiliki nama-nama yang maha indah, dan biasa dikenal dengan istilah asma’ul husna. Selain itu, Allah juga memiliki sifat-sifat yang mulia.

Diantara sifat Allah yang disebutkan di dalam surat ini adalah Allah men-tarbiyah seluruh alam. Allah memiliki sifat kasih sayang. Dan Allah memiliki kekuasaan. Allah maha terpuji dengan segala nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu di awal surat ini kita membaca <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin>. Di dalamnya terkandung sanjungan kepada Allah, dan salah satu sebabnya adalah karena kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah
Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah adalah perbuatan hamba dalam bentuk mengesakan Allah dalam beribadah. Artinya dia menyembah hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Inilah intisari dan hakikat tauhid yang sebenarnya. Tidaklah seorang dikatakan bertauhid apabila belum melaksanakan tauhid jenis ini.

Inilah yang terkandung di dalam ayat <Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin> yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Ini pula yang terkandung di dalam nama “Allah”, karena nama ini bermakna “pemilik sifat ketuhanan/uluhiyah yang wajib disembah oleh seluruh makhluk”.

Makna tauhid ini adalah bahwasanya segala macam ibadah hanya ditujukan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Inilah misi utama dakwah para rasul dan kandungan pokok kitab-kitab suci yang Allah turunkan. Inilah cabang keimanan yang paling utama dan pondasi keislaman yang paling mendasar. Tidak sah keislaman seorang hamba tanpa mewujudkan tauhid ini di dalam hidupnya. Dengan tauhid inilah seorang hamba akan bisa masuk surga dan terbebas dari neraka.

Oleh sebab itu, ibadah apa pun -seperti shalat, doa, sembelihan, nadzar, istighotsah, dan sebagainya- hanya boleh ditujukan kepada Allah. Inilah kandungan dari kalimat tauhid Laa ilaaha illallāh. Di dalamnya terkandung penafian dan penetapan. Penafian segala sesembahan selain Allah, artinya kita yakini bahwa segala yang disembah selain Allah adalah batil. Kemudian di dalamnya juga terkandung penetapan, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Oleh sebab itu, seorang yang bertauhid harus meninggalkan segala bentuk kesyirikan, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang besar maupun yang kecil.

Syirik memiliki bahaya yang sangat banyak, diantaranya adalah menyebabkan kekal di neraka, menghalangi masuk surga, menghapuskan amalan, terhalang dari ampunan Allah, terhalang dari keamanan dan hidayah. Syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Ibadah kepada Allah tidaklah diterima apabila tercampur dengan syirik. Oleh sebab itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun” (QS. An Nisaa’ : 36)

Para ulama juga menjelaskan, bahwa dengan menghayati serta mengamalkan kandungan <Iyyaaka na’budu> seorang hamba akan terlepas dari penyakit riya’ yang itu merupakan salah satu bentuk kesyirikan. Karena orang yang riya’ tidak ikhlas dalam beribadah. Dengan <Iyyaaka na’budu>, maka dia akan terus berusaha memurnikan amalannya untuk Allah.

Adapun dengan menghayati dan mengamalkan kandungan <Iyyaaka nasta’iin> maka seorang hamba akan terlepas dari penyakit ujub yaitu merasa bangga dan hebat dengan amalnya. Karena dia menyadari bahwa segala kebaikan di tangan Allah, bukan di tangan-Nya. Oleh sebab itu dia meyakini bahwa dengan pertolongan Allah semata dia bisa melakukan kebaikan, bukan dengan kekuatan dan kehebatan dirinya.

Para ulama kita juga mengatakan, bahwa riya’ -beramal karena ingin dilihat orang atau mencari popularitas- dan ujub adalah termasuk perkara yang bisa merusak bahkan membatalkan pahala amalan. Bukan itu saja, ia termasuk dosa syirik yang bisa menyeret pelakunya ke dalam neraka. Oleh sebab itu hendaklah kita hayati ayat yang kita baca ini dengan sebaik-baiknya, bukan sekedar dibaca dan dihafalkan kata-katanya.
Tiga Pilar Ibadah
Demikian pula, apabila kita membaca kitab para ulama, jelaslah bagi kita bahwa di dalam surat Al Fatihah ini terkandung pokok-pokok ibadah dan keimanan. Di dalam ayat <Alḥamdulillāh> terkandung pilar kecintaan atau mahabbah. Di dalam ayat <Ar Raḥmaanir rahiim> terkandung pilar harapan atau roja’. Dan di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> terkandung pilar rasa takut atau khauf.

Nah, ibadah kepada Allah harus ditopang dengan ketiga macam amalan hati ini, yaitu cinta, takut dan harap. Beribadah kepada Allah tanpa kecintaan seperti badan tanpa ruh. Beribadah kepada Allah tanpa harapan akan melahirkan keputus asaan terhadap rahmat Allah. Dan beribadah kepada Allah tanpa rasa takut akan menyebabkan merasa aman dari hukuman Allah. Padahal, putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari hukuman Allah termasuk dalam jajaran dosa-dosa besar.

Ibadah kepada Allah ini dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Karena hakikat ibadah adalah perendahan diri kepada Allah yang dibarengi puncak kecintaan dan pengagungan, dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah ini mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak/lahir maupun yang tersembunyi/batin. Nah, segala macam ibadah itu tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah semata.
Ibadah Harus Dengan Dasar Ilmu
Ibadah kepada Allah pun tidak akan diterima kecuali apabila dilandasi dengan keimanan, keikhlasan, dan mengikuti tuntunan. Oleh sebab itu di dalam surat Al Fatihah kita memohon kepada Allah hidayah (yakni ayat <Ihdinash shiraathal mustaqiim> -red), yang di dalamnya tercakup hidayah ilmu dan hidayah berupa amalan. Agar kita bisa mendapatkan ilmu yang benar, dan agar kita bisa mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. Inilah jalan ‘orang-orang yang diberikan kenikmatan’, <shiraathalladziina an’amta ‘alaihim>.

Adapun jalan ‘orang yang dimurkai’ <al maghdhuubi ‘alaihim>, adalah jalan orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya, sebagaimana orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah. Adapun jalan ‘orang-orang sesat’, <adh dhaalliin>, adalah jalan orang yang beramal tanpa bekal ilmu, sebagaimana orang-orang Nashara. Kaum yang dimurkai menyimpang karena niat yang rusak, sedangkan kaum yang sesat menyimpang karena pemahaman yang rusak. Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa ‘kelurusan niat dan benarnya pemahaman’ adalah salah satu nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Itulah yang setiap hari kita minta dalam doa kita <Ihdinash shiraathal mustaqiim>, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Tidak mungkin ibadah kita ikhlas jika kita tidak mengerti apa itu ikhlas dan apa saja yang merusaknya, sebagaimana tidak mungkin kita beribadah mengikuti tuntunan (As Sunnah) jika kita tidak mengerti seperti apa tuntunan itu dan apa saja yang tidak dituntunkan. Sementara ilmu tentang itu semuanya hanya akan bisa kita gali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dan itu semua akan terwujud dengan taufik dan pertolongan Allah semata, bukan karena kepintaran, kecerdasan, pengalaman, atau kepandaian kita.

Inilah sekilas kandungan tauhid dalam surat Al Fatihah. Apa-apa yang dikemukakan di sini tentunya ibarat setetes air di tengah samudera. Laa haula wa laa quwwata illaa billāh.

Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Sumber : Buletin At-Tauhid

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Sebab Menuju Persatuan Umat

Setiap umat Islam ingin umatnya bersatu, tidak ada yang ingin umat ini terpecah belah. Namun ada yang menganggap berbeda-beda dalam prinsip beragama yang penting hati kita menyatu. Logikanya saja, bagaimana mungkin bisa bersatu jika satu pihak berkeyakinan bolehnya sesajen dan ruwatan, yang lainnya ingin umat itu bertauhid. Bagaimana bisa pula bersatu jika yang satu ingin agar umat cinta pada tradisi, namun tradisi yang ada jika tidak mengandung syirik, yah mengandung bid’ah. Dan mustahil syirik dan bid’ah itu menyatu dengan tauhid dan sunnah.

1- Memperbaiki akidah umat

Yang dimaksud memperbaiki akidah adalah membersihkan akidah umat dari kesyirikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ
Sesungguhnya agama ini adalah agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mu’minun: 52).
Karena akidah yang benar akan menyatukan umat dan akan menghilangkan rasa saling benci. Berbeda halnya jika umat itu berbeda-beda pemahaman dalam akidah atau beraneka ragam sesembahan.  Karena setiap kelompok akan mengklaim akidahnya-lah yang paling benar, sesembahannya-lah yang lebih pantas diagungkan, lalu menganggap keliru ajaran yang lain.
Bersatu di atas akidah dan sesembahan yang benar tentu lebih baik. Allah Ta’ala berfirman,
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf: 39).
Orang Arab di masa jahiliyah dahulu berpecah belah dan mereka menjadi kaum lemah di muka bumi. Ketika Islam datang, akidah mereka menjadi benar, lalu menyatulah mereka di atas satu daulah.

2- Taat pada ulil amri kaum muslimin

Mendengar dan taat pada ulil amri kaum muslimin (yaitu pemerintah yang sah). Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa pada Allah, dengarlah dan taatlah (pada ulil amri kalian) walau ia seorang budak dari negeri Habasyah. Karena siapa saja di antara kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.” (HR. Abu Daud no. 4607, shahih kata Syaikh Al Albani).
Membangkang pada ulil amri, itulah sebab perpecahan.

3- Mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah

Mengembalikan dan menyelesaikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah ketika terjadi perpecahan. AllahTa’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
Janganlah kembalikan perselisihan tersebut kepada perkataan si fulan atau perkataan seseorang, namun rujukannya adalah Al Kitab dan As Sunnah.

4- Melakukan ishlah

Melakukan ishlah atau memperbaiki hubungan antar sesama ketika terjadi perpecahan, ini juga di antara jalan menyatunya umat. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 1)

5- Memusnahkan para pemberontak dan Khawarij

Ini juga di antara jalan menyatunya umat yaitu memusnahkan kelompok yang  biasa menimbulkan perpecahan yaitu dari kalangan pemberontak dan Khawarij. Kelompok-kelompok ini sebenarnya ingin kaum muslimin terpecah belah. Allah Ta’alaberfirman,
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
Tapi kalau yang satu memberontak (melanggar perjanjian) terhadap yang lain, hendaklah yang memberontak itu kamu perangi.” (QS. Al Hujurat: 9).
Oleh karena itu, amirul mukminin ‘Ali bin Abi Tholib pernah memberantas para pemberontak dan Khawarij. Inilah yang menjadi keutamaan dan keunggulan ‘Ali -semoga Allah senantiasa meridhoi beliau-.
Semoga Allah menyatukan kaum muslimin di atas akidah yang benar dan di atas sunnah shahihah. Wallahu waliyyut taufiq.

(*) Tulisan di atas dikembangkan dari tulisan Syaikhuna  -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan mengenai sebab dan jalan menuju persatuan umat Islam dalam kitab “As-ilah Al Manahij Al Jadidah”, tanya jawab dengan beliau, dikumpulkan oleh Jamal bin Farihan Al Haritsi.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Girisekar, Panggang, Gunung Kidul, 9 Syawal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Pimpinan Redaksi Muslim.Or.Id dan Pengasuh Rumaysho.Com. Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta (2003-2005). S1 Teknik Kimia UGM (2002-2007). S2 Chemical Engineering (Spesialis Polymer Engineering), King Saud University, Riyadh, KSA (2010-2013). Murid Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsriy, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir Al Barrak, Syaikh Sholih bin 'Abdullah bin Hamad Al 'Ushoimi dan ulama lainnya. Penulis di Majalah Kesehatan Muslim dan Pengusaha Muslim. Situs lain yang diasuh: RemajaIslam.Com, Ruwaifi.Com, PolymerBlog.Com

Sumber : Muslim.Or.Id

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Selasa, 25 Februari 2014

Landasan dan Langkah Mewujudkan Persatuan

Persatuan kaum muslimin di atas al haq dan larangan berpecah-belah, merupakan prinsip yang agung dalam agama Islam. Namun layak disesalkan, kenyataan yang nampak di kalangan kaum muslimin berbeda dengan ajaran agama yang suci ini. Maka di sini, kami sampaikan sebagian keterangan agama mengenai masalah besar ini. Semoga bermanfaat untuk kita.

Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara”. (QS Ali Imran:103).

Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini: Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya) kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas  kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul Bayan 4/30.]

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqah. Diantaranya  terdapat satu firqah najiyah (yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan para sahabat beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]

Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]

Al Qurthubi juga mengatakan,“Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah Nab-iNya, serta -ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164).
Beliau juga mengatakan,“Boleh juga maknanya, janganlah kamu berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah, sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan membelakangi.” (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159).

Asy Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,“Allah memerintahkan mereka bersatu di atas landasan agama Islam, atau kepada Al Qur’an. Dan melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan di dalam agama.” (Fahul Qadir 1/367).

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat diambil beberapa perkara penting berkaitan dengan masalah persatuan.

Pertama. Perkataan Imam Ath Thabari: “Berpeganglah kamu kepada janjiNya, yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah”, menunjukkan kaidah dan landasan penting tentang persatuan yang benar. Yaitu: persatuan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. Kalimat yang haq, sering diistilahkan untuk kalimat la ilaha illa Allah, termasuk Muhammad Rasulullah. Dengan demikian, asas persatuan ialah tauhid dan Sunnah. Tidak ada persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah n . Persatuan yang dibangun tidak berdasarkan tauhid, merupakan model persatuan orang-orang musyrik. Dan persatuan yang tidak di atas Sunnah, merupakan persatuan ahli bid’ah. Bukan Ahlus Sunnah!

Kedua. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah yang menghubungkan ayat di atas -yang memerintahkan persatuan- dengan hadits firqah najiyah -menunjukkan- bahwa persatuan yang haq, ialah dengan mengikuti apa-apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau. Membangun persatuan, yaitu dengan mengikuti Al Kitab dan As Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, kemudian menolak bid’ah. Karena seluruh bid’ah merupakan kesesatan. Bid’ah adalah perkara baru dalam agama, yang tidak ada pada zaman Rasulullah n dan para sahabatnya.

Ketiga. Perkataan Al Qurhubi rahimahullah menjadi jelas bagi kita, bahwa langkah menuju persatuan yaitu dengan berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah NabiNya, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Dan jika terjadi perselisihan, maka dikembalikan kepada keduanya.

Keempat. Demikian juga penjelasan Asy Syaukani. Bahwa persatuan, ialah dengan berpegang kepada agama Allah; dengan berpegang kepada Al Qur’an.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS Al An’am:153).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata,“Ayat ini memuat perintah agar konsisten terhadap agama Islam, dalam masalah aqidah, ibadah, hukum, akhlaq, dan adab. Ayat ini juga memuat larangan mengikuti selain Islam, yaitu seluruh agama-agama dan sekte-sekte, yang Allah istilahkan dengan ‘jalan-jalan’ (Aisarut Tafasir).

Menjelaskan firman Allah: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain); 
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya), yaitu akan menyesatkan dan mencerai-beraikan kamu darinya. Maka jika kamu telah sesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi, kecuali jalan-jalan yang akan menghantarkan menuju neraka jahim.” (Taisir Karimir Rahman).
Kemudian dari ayat di atas dapat diambil petunjuk, bahwa diantara langkah menuju dan menjaga persatuan ialah dengan menetapi agama Islam sampai mati, dan berlepas diri dari selainnya, yang berupa: madzhab-madzhab, agama-agama, dan jalan-jalan selain Islam.

Langkah Menuju Persatuan

Setelah kita sampaikan perintah Allah tentang masalah persatuan ini, maka bagaimana keadaan umat yang sudah terpecah-belah ini dapat dipersatukan lagi? Tidakkah persatuan umat itu merupakan impian semata yang mustahil diwujudkan?
Sesungguhnya, agama kita mengajarkan segala kebaikan yang dibutuhkan umat manusia. Sedangkan persatuan umat Islam merupakan salah satu prinsip terbesar agama ini. Maka sudah pasti terdapat cara mengobati penyakit perpecahan umat yang sudah berabad-abad lamanya menggerogoti tubuh ini!

Berikut diantara langkah menuju persatuan umat Islam yang didambakan.

Pertama. Memutuskan Perkara Dengan Al Kitab dan As Sunnah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nisa’:59).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia -yang berupa ushuluddin dan furu’-  kepada Allah dan RasulNya, yaitu kepada kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terdapat penyelesaian untuk seluruh perkara yang diperselisihkan. Mungkin dengan jelas di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang serupa dengannya dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah RasulNya merupakan fondasi bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” (Taisir Karimir Rahman).
Barangsipa bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari kesesatan. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS Thaha:123).

Kedua. Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh bid’ah agama; mengikuti Sunnah Rasullah n , mengikuti Sunnah dan pemahaman sahabat terhadap agama ini. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, akhlaq, politik, ekonomi, dan seluruh sisi kehidupan beragama lainnya. Kemudian, menolak seluruh bid’ah. Karena bid’ah, sesungguhnya merupakan salah satu penyebab perpecahan terbesar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi  kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).

Ketiga. Ikhlas dan memurnikan mutaba’ah.
Ketika Nabi Yusuf mengikhlaskan untuk Rabbnya, Allah memalingkan darinya pendorong-pendorong keburukan dan kekejian.
Allah Ta’ala berfirman,
كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang dijadikan ikhlas” (QS Yusuf:24).
Oleh karena inilah ketika Iblis mengetahui bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,
فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka”  (QS Shad:82-83).
Maka ikhlas merupakan jalan kebebasan, Islam sebagai kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [Al ‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, tansiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.]
Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi satu-satunya manusia yang diikuti secara mutlak. Adapun selain beliau, maka perkataannya dapat diterima atau ditolak, sesuai dengan ukuran kebenaran. Karena seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq, sedangkan yang menyelisihinya adalah batil. Amalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk menjadikan amal tersebut tertolak.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak”” (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat. Menuntut ilmu syar’i dan mendalami agama dari ahlinya.
Untuk mengikuti al jama’ah, mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan para ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena para ulama itu sebagai al jama’ah. Maka seseorang yang ingin selalu menetapi kebenaran dan persatuan, harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah yang lurus aqidahnya, terpercaya amanahnya dan agamanya.
Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu mereka dengan manhaj yang lurus merupakan langkah untuk menjauhi perpecahan dan menjaga persatuan. Dan para ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman, sampai dikehendaki oleh Allah. Mereka itu adalah thaifah al manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah).
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl:43)

Penutup

Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau di bawah ini,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).
Juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, dan beliau menjalin antara jari-jarinya”.
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

Sumber : Muslim.Or.Id

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA