Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya suatu ilmu yang kebutuhan umat manusia
terhadapnya semakin besar maka konsekuensinya adalah dalil-dalil yang
menunjukkan kepadanya juga semakin jelas, sebagai bentuk kasih sayang
Allah kepada makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al ‘Aqidah ath Thahawiyah, hal. 86)
Kaum muslimin
yang dirahmati Allah, membaca surat Al Fatihah barangkali sudah menjadi
perkara yang biasa bahkan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
kita sehari-hari. Karena di setiap raka’at shalat, surat ini selalu kita
baca. Meskipun demikian, kita sering lalai dari merenungi hikmah dan
pelajaran penting yang ada di dalamnya.
Apabila kita
cermati penjelasan para ulama, baik di dalam kitab tafsir, kitab hadits,
atau kitab seputar akidah dan tauhid, akan kita temukan bahwa surat Al
Fatihah ini menyimpan sedemikian banyak ajaran Islam, dan yang paling
utama adalah mengenai tauhid. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak
beberapa keterangan berikut.
Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah
adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa, dan
pengatur alam semesta. Keyakinan ini merupakan salah satu perkara
penting dalam iman seorang muslim. Kita yakin, bahwa Allah semata yang
menciptakan alam semesta ini. Kita juga yakin, bahwa Allah semata yang
mengatur dan menguasainya. Inilah yang dikenal dalam istilah para ulama
dengan nama tauhid rububiyah.
Nah, di dalam surat Al Fatihah ini, tauhid jenis ini terkandung di dalam beberapa ayat. Diantaranya adalah pada ucapan hamdalah <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin> yang artinya, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam”.
Di dalamnya terdapat penegasan bahwa Allah adalah Rabb, yaitu penguasa
dan pemelihara alam semesta. Inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah. Demikian juga, di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> yang artinya, “Yang merajai pada hari pembalasan”.
Di dalamnya juga terkandung pengakuan bahwa Allah yang menguasai hari
kiamat, sebagaimana Allah adalah penguasa jagad raya sebelum terjadinya
kiamat.
Tauhid Asma’ wa Shifat
Tauhid asma’ wa shifat
adalah keyakinan tentang kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah.
Kita mengimani bahwa Allah Maha Pengasih lagi Penyayang, sebagaimana
dalam ayat <Ar Raḥmaanir Raḥiim>. Allah memiliki nama-nama yang maha indah, dan biasa dikenal dengan istilah asma’ul husna. Selain itu, Allah juga memiliki sifat-sifat yang mulia.
Diantara sifat Allah yang disebutkan di dalam surat ini adalah Allah men-tarbiyah
seluruh alam. Allah memiliki sifat kasih sayang. Dan Allah memiliki
kekuasaan. Allah maha terpuji dengan segala nama dan sifat-sifat-Nya.
Oleh sebab itu di awal surat ini kita membaca <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin>.
Di dalamnya terkandung sanjungan kepada Allah, dan salah satu sebabnya
adalah karena kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah
Tauhid uluhiyah
atau tauhid ibadah adalah perbuatan hamba dalam bentuk mengesakan Allah
dalam beribadah. Artinya dia menyembah hanya kepada Allah dan tidak
kepada selain-Nya. Inilah intisari dan hakikat tauhid yang sebenarnya.
Tidaklah seorang dikatakan bertauhid apabila belum melaksanakan tauhid
jenis ini.
Inilah yang terkandung di dalam ayat <Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin> yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Ini pula yang terkandung di dalam nama “Allah”, karena nama ini bermakna “pemilik sifat ketuhanan/uluhiyah yang wajib disembah oleh seluruh makhluk”.
Makna tauhid ini
adalah bahwasanya segala macam ibadah hanya ditujukan kepada Allah,
tidak kepada selain-Nya. Inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia.
Inilah misi utama dakwah para rasul dan kandungan pokok kitab-kitab suci
yang Allah turunkan. Inilah cabang keimanan yang paling utama dan
pondasi keislaman yang paling mendasar. Tidak sah keislaman seorang
hamba tanpa mewujudkan tauhid ini di dalam hidupnya. Dengan tauhid
inilah seorang hamba akan bisa masuk surga dan terbebas dari neraka.
Oleh sebab itu,
ibadah apa pun -seperti shalat, doa, sembelihan, nadzar, istighotsah,
dan sebagainya- hanya boleh ditujukan kepada Allah. Inilah kandungan
dari kalimat tauhid Laa ilaaha illallāh. Di dalamnya terkandung
penafian dan penetapan. Penafian segala sesembahan selain Allah, artinya
kita yakini bahwa segala yang disembah selain Allah adalah batil.
Kemudian di dalamnya juga terkandung penetapan, yaitu keyakinan bahwa
hanya Allah yang berhak disembah. Oleh sebab itu, seorang yang bertauhid
harus meninggalkan segala bentuk kesyirikan, yang tampak maupun yang
tersembunyi, yang besar maupun yang kecil.
Syirik memiliki
bahaya yang sangat banyak, diantaranya adalah menyebabkan kekal di
neraka, menghalangi masuk surga, menghapuskan amalan, terhalang dari
ampunan Allah, terhalang dari keamanan dan hidayah. Syirik merupakan
dosa besar yang paling besar. Ibadah kepada Allah tidaklah diterima
apabila tercampur dengan syirik. Oleh sebab itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun” (QS. An Nisaa’ : 36)
Para ulama juga menjelaskan, bahwa dengan menghayati serta mengamalkan kandungan <Iyyaaka na’budu>
seorang hamba akan terlepas dari penyakit riya’ yang itu merupakan
salah satu bentuk kesyirikan. Karena orang yang riya’ tidak ikhlas dalam
beribadah. Dengan <Iyyaaka na’budu>, maka dia akan terus berusaha memurnikan amalannya untuk Allah.
Adapun dengan menghayati dan mengamalkan kandungan <Iyyaaka nasta’iin> maka
seorang hamba akan terlepas dari penyakit ujub yaitu merasa bangga dan
hebat dengan amalnya. Karena dia menyadari bahwa segala kebaikan di
tangan Allah, bukan di tangan-Nya. Oleh sebab itu dia meyakini bahwa
dengan pertolongan Allah semata dia bisa melakukan kebaikan, bukan
dengan kekuatan dan kehebatan dirinya.
Para ulama kita
juga mengatakan, bahwa riya’ -beramal karena ingin dilihat orang atau
mencari popularitas- dan ujub adalah termasuk perkara yang bisa merusak
bahkan membatalkan pahala amalan. Bukan itu saja, ia termasuk dosa
syirik yang bisa menyeret pelakunya ke dalam neraka. Oleh sebab itu
hendaklah kita hayati ayat yang kita baca ini dengan sebaik-baiknya,
bukan sekedar dibaca dan dihafalkan kata-katanya.
Tiga Pilar Ibadah
Demikian pula,
apabila kita membaca kitab para ulama, jelaslah bagi kita bahwa di dalam
surat Al Fatihah ini terkandung pokok-pokok ibadah dan keimanan. Di
dalam ayat <Alḥamdulillāh> terkandung pilar kecintaan atau mahabbah. Di dalam ayat <Ar Raḥmaanir rahiim> terkandung pilar harapan atau roja’. Dan di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> terkandung pilar rasa takut atau khauf.
Nah, ibadah
kepada Allah harus ditopang dengan ketiga macam amalan hati ini, yaitu
cinta, takut dan harap. Beribadah kepada Allah tanpa kecintaan seperti
badan tanpa ruh. Beribadah kepada Allah tanpa harapan akan melahirkan
keputus asaan terhadap rahmat Allah. Dan beribadah kepada Allah tanpa
rasa takut akan menyebabkan merasa aman dari hukuman Allah. Padahal,
putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari hukuman Allah termasuk
dalam jajaran dosa-dosa besar.
Ibadah kepada
Allah ini dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Karena hakikat
ibadah adalah perendahan diri kepada Allah yang dibarengi puncak
kecintaan dan pengagungan, dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Ibadah ini mencakup segala hal yang dicintai dan
diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak/lahir
maupun yang tersembunyi/batin. Nah, segala macam ibadah itu tidak boleh
dipersembahkan kecuali kepada Allah semata.
Ibadah Harus Dengan Dasar Ilmu
Ibadah kepada
Allah pun tidak akan diterima kecuali apabila dilandasi dengan keimanan,
keikhlasan, dan mengikuti tuntunan. Oleh sebab itu di dalam surat Al
Fatihah kita memohon kepada Allah hidayah (yakni ayat <Ihdinash shiraathal mustaqiim> -red),
yang di dalamnya tercakup hidayah ilmu dan hidayah berupa amalan. Agar
kita bisa mendapatkan ilmu yang benar, dan agar kita bisa mengamalkan
ilmu yang telah kita peroleh. Inilah jalan ‘orang-orang yang diberikan kenikmatan’, <shiraathalladziina an’amta ‘alaihim>.
Adapun jalan ‘orang yang dimurkai’ <al maghdhuubi ‘alaihim>,
adalah jalan orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya,
sebagaimana orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah. Adapun jalan ‘orang-orang sesat’, <adh dhaalliin>,
adalah jalan orang yang beramal tanpa bekal ilmu, sebagaimana
orang-orang Nashara. Kaum yang dimurkai menyimpang karena niat yang
rusak, sedangkan kaum yang sesat menyimpang karena pemahaman yang rusak.
Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa ‘kelurusan niat dan benarnya
pemahaman’ adalah salah satu nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah
kepada seorang hamba. Itulah yang setiap hari kita minta dalam doa kita <Ihdinash shiraathal mustaqiim>, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Tidak mungkin
ibadah kita ikhlas jika kita tidak mengerti apa itu ikhlas dan apa saja
yang merusaknya, sebagaimana tidak mungkin kita beribadah mengikuti
tuntunan (As Sunnah) jika kita tidak mengerti seperti apa tuntunan itu
dan apa saja yang tidak dituntunkan. Sementara ilmu tentang itu semuanya
hanya akan bisa kita gali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dan itu semua
akan terwujud dengan taufik dan pertolongan Allah semata, bukan karena
kepintaran, kecerdasan, pengalaman, atau kepandaian kita.
Inilah sekilas
kandungan tauhid dalam surat Al Fatihah. Apa-apa yang dikemukakan di
sini tentunya ibarat setetes air di tengah samudera. Laa haula wa laa quwwata illaa billāh.
Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Sumber : Buletin At-Tauhid
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar