Persatuan kaum muslimin di atas al haq dan
larangan berpecah-belah, merupakan prinsip yang agung dalam agama Islam.
Namun layak disesalkan, kenyataan yang nampak di kalangan kaum muslimin
berbeda dengan ajaran agama yang suci ini. Maka di sini, kami sampaikan
sebagian keterangan agama mengenai masalah besar ini. Semoga bermanfaat
untuk kita.
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara”. (QS Ali Imran:103).
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini: Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada agama Allah yang telah Dia
perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya) kepada janjiNya yang Dia
(Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang
berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah
diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul Bayan 4/30.]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia (Allah)
memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang
perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan
perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan
manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang
hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas
mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka
berpecah menjadi 73 firqah. Diantaranya terdapat satu firqah najiyah
(yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah
orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan
para sahabat beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]
Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]
Al Qurthubi juga mengatakan,“Maka Allah Ta’ala mewajibkan
kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah Nab-iNya, serta -ketika
berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di
atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan
perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya
perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia
dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah
memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi
pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164).
Beliau juga mengatakan,“Boleh juga maknanya, janganlah kamu
berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang
bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah,
sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan
membelakangi.” (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159).
Asy Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,“Allah memerintahkan
mereka bersatu di atas landasan agama Islam, atau kepada Al Qur’an. Dan
melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan di dalam
agama.” (Fahul Qadir 1/367).
Dari penjelasan para ulama di atas, dapat diambil beberapa perkara penting berkaitan dengan masalah persatuan.
Pertama. Perkataan Imam Ath Thabari: “Berpeganglah
kamu kepada janjiNya, yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas
kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas
kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah”, menunjukkan kaidah dan landasan penting tentang persatuan yang benar. Yaitu: persatuan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. Kalimat yang haq, sering diistilahkan untuk kalimat la ilaha illa Allah, termasuk Muhammad Rasulullah. Dengan demikian, asas persatuan ialah tauhid dan Sunnah. Tidak ada persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah n . Persatuan yang dibangun tidak berdasarkan tauhid, merupakan model persatuan orang-orang musyrik. Dan persatuan yang tidak di atas Sunnah, merupakan persatuan ahli bid’ah. Bukan Ahlus Sunnah!
Kedua. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah yang menghubungkan ayat di atas -yang memerintahkan persatuan- dengan hadits firqah najiyah -menunjukkan- bahwa persatuan yang haq,
ialah dengan mengikuti apa-apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat
beliau. Membangun persatuan, yaitu dengan mengikuti Al Kitab dan As
Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, kemudian menolak bid’ah. Karena seluruh bid’ah merupakan kesesatan. Bid’ah adalah perkara baru dalam agama, yang tidak ada pada zaman Rasulullah n dan para sahabatnya.
Ketiga. Perkataan Al Qurhubi rahimahullah
menjadi jelas bagi kita, bahwa langkah menuju persatuan yaitu dengan
berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah NabiNya, baik dalam keyakinan
maupun perbuatan. Dan jika terjadi perselisihan, maka dikembalikan
kepada keduanya.
Keempat. Demikian juga penjelasan Asy
Syaukani. Bahwa persatuan, ialah dengan berpegang kepada agama Allah;
dengan berpegang kepada Al Qur’an.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus,
maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang
demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS Al An’am:153).
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata,“Ayat ini memuat perintah
agar konsisten terhadap agama Islam, dalam masalah aqidah, ibadah,
hukum, akhlaq, dan adab. Ayat ini juga memuat larangan mengikuti selain
Islam, yaitu seluruh agama-agama dan sekte-sekte, yang Allah istilahkan
dengan ‘jalan-jalan’ (Aisarut Tafasir).
Menjelaskan firman Allah: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain);
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya),
yaitu akan menyesatkan dan mencerai-beraikan kamu darinya. Maka jika
kamu telah sesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi,
kecuali jalan-jalan yang akan menghantarkan menuju neraka jahim.” (Taisir Karimir Rahman).
Kemudian dari ayat di atas dapat diambil petunjuk, bahwa diantara
langkah menuju dan menjaga persatuan ialah dengan menetapi agama Islam
sampai mati, dan berlepas diri dari selainnya, yang berupa:
madzhab-madzhab, agama-agama, dan jalan-jalan selain Islam.
Langkah Menuju Persatuan
Setelah kita sampaikan perintah Allah tentang masalah persatuan ini,
maka bagaimana keadaan umat yang sudah terpecah-belah ini dapat
dipersatukan lagi? Tidakkah persatuan umat itu merupakan impian semata
yang mustahil diwujudkan?
Sesungguhnya, agama kita mengajarkan segala kebaikan yang dibutuhkan
umat manusia. Sedangkan persatuan umat Islam merupakan salah satu
prinsip terbesar agama ini. Maka sudah pasti terdapat cara mengobati
penyakit perpecahan umat yang sudah berabad-abad lamanya menggerogoti
tubuh ini!
Berikut diantara langkah menuju persatuan umat Islam yang didambakan.
Pertama. Memutuskan Perkara Dengan Al Kitab dan As Sunnah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ
مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS An Nisa’:59).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,“Allah memerintahkan
untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia -yang
berupa ushuluddin dan furu’- kepada Allah dan
RasulNya, yaitu kepada kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Karena
sesungguhnya, di dalam keduanya terdapat penyelesaian untuk seluruh
perkara yang diperselisihkan. Mungkin dengan jelas di dalam keduanya,
atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman,
atau keumuman makna, yang serupa dengannya dapat dikiaskan padanya.
Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah RasulNya merupakan fondasi
bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya.
Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya
merupakan syarat keimanan.” (Taisir Karimir Rahman).
Barangsipa bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari kesesatan. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى
“Barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS Thaha:123).
Kedua. Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh bid’ah
agama; mengikuti Sunnah Rasullah n , mengikuti Sunnah dan pemahaman
sahabat terhadap agama ini. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, akhlaq,
politik, ekonomi, dan seluruh sisi kehidupan beragama lainnya. Kemudian,
menolak seluruh bid’ah. Karena bid’ah, sesungguhnya merupakan salah satu penyebab perpecahan terbesar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ
تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar
dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak
Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan
melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada
Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus.
Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru
(dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah,
dan semua bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).
Ketiga. Ikhlas dan memurnikan mutaba’ah.
Ketika Nabi Yusuf mengikhlaskan untuk Rabbnya, Allah memalingkan darinya pendorong-pendorong keburukan dan kekejian.
Allah Ta’ala berfirman,
كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang
dijadikan ikhlas” (QS Yusuf:24).
Oleh karena inilah ketika Iblis mengetahui bahwa dia tidak memiliki
jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan
mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan
(manusia). Iblis mengatakan,
فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka” (QS Shad:82-83).
Maka ikhlas merupakan jalan kebebasan, Islam sebagai kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [Al ‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, tansiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.]
Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagi satu-satunya manusia yang diikuti secara mutlak. Adapun selain
beliau, maka perkataannya dapat diterima atau ditolak, sesuai dengan
ukuran kebenaran. Karena seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq, sedangkan yang menyelisihinya adalah batil. Amalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk menjadikan amal tersebut tertolak.
عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak”” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat. Menuntut ilmu syar’i dan mendalami agama dari ahlinya.
Untuk mengikuti al jama’ah, mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan
para ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena para ulama itu sebagai al jama’ah.
Maka seseorang yang ingin selalu menetapi kebenaran dan persatuan,
harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah
yang lurus aqidahnya, terpercaya amanahnya dan agamanya.
Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu mereka dengan manhaj
yang lurus merupakan langkah untuk menjauhi perpecahan dan menjaga
persatuan. Dan para ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman, sampai
dikehendaki oleh Allah. Mereka itu adalah thaifah al manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah).
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl:43)
Penutup
Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini
benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara
sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau di bawah ini,
الْمُسْلِمُ أَخُو
الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى
هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ
الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh
menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya.
Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah
keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang
muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya,
hartanya, dan kehormatannya” (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).
Juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu
bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, dan beliau
menjalin antara jari-jarinya”.
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan
kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa
terhadap segala sesuatu. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.
Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar