Rabu, 26 Februari 2014

Keagungan Tauhid dalam Diri Seorang Muslim

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, merupakan kebahagiaan tak terkira tatkala Allah memilih kita diantara sekian banyak manusia untuk menjadi muslim. Sebab dengan Islam itulah seorang insan akan meraih berbagai keutamaan dan pahala. Sebaliknya, tanpa Islam lenyaplah segala kebahagiaan dan kesuksesan.

Diantara perkara yang membuat hati semakin bergembira dan lapang ialah tatkala kita mengetahui bahwa surga yang penuh dengan kenikmatan hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpegang teguh dengan Islam secara lahir dan batin. Bukan hanya Islam secara penampilan, namun juga Islam yang tumbuh dari dalam relung hatinya.

Berangkat dari sanalah, semestinya kita sebagai seorang muslim untuk terus menambah syukur kita kepada Allah Ta’ala. Tidak henti-hentinya Allah curahkan sekian banyak nikmat dan karunia kepada kita, sampai detik ini. Nikmat-nikmat yang menjadi sebab keberlangsungan hidup kita di alam dunia.

Bukan hanya hidup secara jasmani, namun juga hidup secara rohani. Bukankah banyak orang yang hidup tetapi gaya hidupnya tidak jauh berbeda dengan binatang, tidak lebih mulia daripada anjing dan babi. Mereka hidup hanya demi pemuasan hawa nafsu dan mengejar ambisi dunia yang fana. Padahal, Allah Ta’ala menegaskan hikmah penciptaan kita dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56)

Raih Kemuliaan Dengan Ibadah

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, inilah kadar kemuliaan dan martabat tinggi yang Allah tawarkan kepada umat manusia jika mereka mau taat dan patuh kepada ajaran-ajaran-Nya. Derajat hamba Allah, derajat tinggi insan pilihan dan hamba jempolan. Bukan derajat rendahan yang diperebutkan oleh manusia-manusia pemuja akal dan hawa nafsunya.
Seorang ulama, ‘Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Jika seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri [hawa nafsu] niscaya dia akan memandang dirinya [bisa jadi] jauh lebih hina daripada seekor anjing.” (lihat Min A’lam as-Salaf [2/29])

Itulah yang terjadi dan itulah yang merebak di tengah-tengah manusia. Ketika mereka lebih mengutamakan dan memuja selain-Nya. Padahal, mereka diciptakan untuk sebuah tujuan mulia, yaitu untuk mentauhidkan-Nya; beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan” Inilah kemuliaan jati diri seorang hamba.

Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkannya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq Al Wushul ila Idhah Ats Tsalatsah Al Ushul, hal. 147)

Memurnikan Keimanan dari Segala Kezhaliman

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sebagai seorang muslim kita menyadari bahwa mewujudkan nilai-nilai keislaman tidaklah hanya terhenti pada mengikrarkan dua kalimat syahadat, menjalankan shalat, membayar zakat, atau puasa Ramadhan. Lebih daripada itu semua, keislaman yang hakiki menuntut kita untuk benar-benar menjadi hamba Allah, yaitu orang yang mengabdi dan beribadah kepada-Nya semata, tidak kepada selain-Nya. Seorang muslim harus menjaga dirinya dari segala bentuk kezhaliman, dan yang terbesar ialah mempersekutukan-Nya dalam beribadah [baca: syirik].

Mengenai hal ini, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezhaliman, maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah” (QS. Al An’aam : 82).

Seorang sahabat Nabi yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika turun ayat “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezhaliman (yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah” (QS. al-An’aam: 82). Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzhalimi dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar (QS. Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Inilah perkara yang ditetapkan-Nya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah ; Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku, adalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku termasuk orang yang pertama-tama pasrah” (QS. al-An’am: 162-163).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan shalat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim).

Salah Satu Keutamaan Tauhid

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya -Abu Thalib- menjelang kematiannya, “Ucapkanlah laa ilaha illallah! Yang dengan kalimat itu aku akan bersaksi untuk menyelamatkanmu pada hari kiamat” Akan tetapi pamannya itu enggan. Maka Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu cintai...” (QS. Al Qashash : 56)” (HR. Muslim).

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Di antara keutamaan tauhid yang paling agung adalah ia merupakan sebab yang menghalangi kekalnya seorang di dalam neraka, yaitu apabila di dalam hatinya masih terdapat tauhid meskipun seberat biji sawi. Kemudian, apabila tauhid itu sempurna di dalam hati maka akan menghalangi masuk neraka secara keseluruhan (tidak masuk neraka sama sekali)” (lihat Al Qaul As Sadid fi Maqashid At Tauhid, hal. 17).

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula” (HR. Tirmidzi, dan beliau nilai derajatnya hasan).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan siksaannya, ‘Seandainya kamu memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini apakah kamu mau menebus siksa dengannya?”. Dia menjawab, ‘Iya.’ Allah berfirman, “Sungguh Aku telah meminta kepadamu sesuatu yang lebih ringan daripada hal itu tatkala kamu masih berada di tulang sulbi Adam yaitu agar kamu tidak mempersekutukan-Ku, akan tetapi kamu tidak mau patuh (enggan) dan justru memilih untuk berbuat syirik.‘.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari sinilah, kita mengetahui betapa agung kedudukan tauhid dalam diri seorang muslim. Karena dengan tauhid itulah kebahagiaan dunia dan akhirat akan bisa digapai olehnya. Hanya kepada Allah jua, kita memohon keteguhan di atas agama-Nya.  
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si
Sumber : Buletin At-Tauhid
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Mengamalkan Dua Kalimat Syahadat

Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullāh. Kalimat ini adalah pondasi Islam dimana bangunan Islam dibangun diatasnya. Kalimat ini memiliki makna agung dan konsekuensi besar yang wajib ditunaikan oleh setiap pengucapnya. Oleh karena itu, setiap dari kita wajib mengetahui, memahami, dan mengamalkan kandungannya.
Makna Syahadat Laa ilaaha illallāh
Laa ilaaha illallāh memiliki 2 rukun yaitu an nafyu (peniadaan) dan al itsbat (penetapan). An nafyu ditunjukkan pada kalimat ’Laa ilaaha’, yang artinya meniadakan semua peribadahan kepada selain Allah. Sedangkan Al itsbat ditunjukkan pada kalimat ’illallāh’, yang artinya menetapkan bahwa hanya Allah saja yang berhak diibadahi, tidak ada sekutu bagiNya.
Maka, makna Laa ilaaha illallāh adalah laa ma’buda bi haqqin illallāh, yang artinya tidak ada sesembahan yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ”Yang demikian itu karena Allah adalah sesembahan yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah sesembahan yang bathil.” (QS. Luqman : 30).
Makna ”ilah” adalah sesembahan yang ditaati dan yang dipuja dalam hati dengan cinta, pengagungan, dan ketundukan. Sehingga, tidak ada ilah yang benar dan berhak diibadahi kecuali Allah semata. (Tadzhib Tas-hil ’Aqidah Islamiyyah, hal 32-33 dengan tambahan).
Pemaknaan Laa ilaaha illallāh dengan laa ma’buda illallāh (Tidak ada tuhan/sesembahan selain Allah), adalah pemaknaan yang keliru, karena realitanya ada banyak sesembahan yang disembah manusia selain Allah. Kalimat ini juga bisa bermakna, semua yang disembah manusia berupa pohon, berhala, orang shalih, dan yang lainnya adalah Allah. Pemaknaan seperti ini adalah kesalahan yang sangat fatal dan bukanlah pemaknaan yang dimaksudkan dari sisi bahasa Arab.
Konsekuensi Syahadat Laa ilaaha illallāh
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan semua bentuk ibadah dan menggantungkan hati kepada Allah semata serta mengingkari dan meninggalkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya, karena dia telah mengucapkan syahadat Laa ilaaha illallāh.
Siapa yang memalingkan sebagian ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a atau menyembelih atau bernadzar kepada selain Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah padahal yang mampu memberikan pertolongan itu hanyalah Allah, maka dia telah terjatuh kepada syirik akbar, yaitu dosa yang paling besar yang tidak diampuni Allah kecuali dengan taubat. Baik dia tujukan ibadah tersebut kepada berhala, pohon, nabi, wali yang hidup atau yang sudah mati, sebagaimana yang banyak terjadi di zaman ini. Sesungguhnya Allah tidak ridha dipersekutukan dalam ibadah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah saja dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya.” (QS. An Nisaa’ : 36). (Al Irsyad ila Shahih Al I’tiqad, hal 24-25).
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Makna kalimat syahadat ini adalah mengikrarkan dengan lisan dan meyakini dengan hati bahwa Muhammad bin ’Abdillah Al Quraisyi Al Hasyimi adalah hamba Allah dan utusan Allah kepada semua makhluk dari jin dan manusia. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat : 56). Tidaklah bisa beribadah kepada Allah kecuali dengan wahyu yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an kepada hamba-Nya (Rasulullah), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”. (QS.Al Furqan : 1).
Muhammad adalah Rasul Allah yang tidak boleh didustakan dan hamba Allah yang tidak boleh disembah dan diibadahi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mempunyai hak rububiyyah (sifat ketuhanan-red). Tidak pula bisa memberikan manfaat dan madharat untuk dirinya sendiri dan orang lain tanpa izin dari Allah Ta’ala . (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal 54-55).
Konsekuensi Syahadat Muhammad Rasulullah
Diantaranya, kita wajib membenarkan semua yang beliau beritakan, termasuk perkara ghaib berupa tanda-tanda hari kiamat, kejadian di alam akhirat, kisah ummat terdahulu, dan yang lainnya. Karena Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah berdusta. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan tidaklah dia berkata menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya ” (QS. An Najm : 3-4).
Selain itu, mentaati semua yang beliau perintahkan. Tidaklah beliau memerintahkan sesuatu, kecuali terdapat kebaikan dan manfaat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah” (QS. An Nisaa’ : 64).
Kemudian, meninggalkan semua yang beliau larang untuk dikerjakan. Tidaklah beliau melarang sesuatu kecuali terdapat keburukan dan bahaya didalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, maka tinggalkanlah dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari dan Muslim).
Yang terakhir, tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan syariat yang beliau ajarkan. Tidak boleh beribadah dengan hawa nafsu dan bid’ah. Karena ibadah adalah perkara tauqifiyyah (membutuhkan dalil), yang harus berdasarkan Al Qur’an dan sunnah beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beribadah dan beramal dengan amalan yang tidak kami peritahkan, maka amalan tersebut tertolak”.(HR. Muslim). (Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul, hal 274-276)
Meyakini dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkannya
Adapun mengucapkan syahadat dengan lisan dan mengingkarinya di dalam hati, ini adalah jalan orang-orang munafik. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka (yang artinya), ”Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 145).
Sebaliknya, jika hanya meyakini dalam hati, tetapi tidak mengucapkannya dan melaksanakan konsekuensinya, maka tidaklah bermanfaat keyakinannya itu. Sebagaimana yang terjadi pada paman Nabi, Abu Thalib, dan sebagian besar kaum musyrikin jahiliyyah.
Dan jika sudah diyakini dan diucapkan, tetapi tindakan nyatanya bertentangan dengan ucapannya, maka tidaklah bermanfaat syahadatnya tersebut. Seperti yang banyak terjadi di zaman ini, banyak kaum muslimin yang berdoa kepada orang yang sudah mati di kuburan mereka. Hal ini bertentangan dengan syahadat Laa ilaaha illallāh. Banyak pula yang tidak mau menjadikan petunjuk Rasulullah sebagai jalan hidupnya. Hal ini bertentangan dengan syahadat Muhammad Rasulullah.
Demikianlah, 2 kalimat syahadat ini juga merupakan pondasi ibadah dimana semua ibadah dibangun diatasnya. Tidaklah diterima suatu ibadah, kecuali jika diniatkan ikhlas karena Allah (kandungan syahadat Laa ilaaha illallāh) dan mengikuti syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (kandungan syahadat Muhammad Rasulullah). Dan kualitas ibadah seseorang berbeda-beda sebanding dengan kadar ikhlas dan ittiba’ dalam ibadahnya tersebut. (Lihat Jami’ Syuruh Tsalatsatul Ushul).

Sumber : Buletin At Tauhid
Penulis : Ferdiansyah Aryanto, S.T. (Alumni Ma’had Al ’Ilmi Yogyakarta)

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Kandungan Tauhid Dalam Surat Al Fatihah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya suatu ilmu yang kebutuhan umat manusia terhadapnya semakin besar maka konsekuensinya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya juga semakin jelas, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.” (lihat Syarh Al ‘Aqidah ath Thahawiyah, hal. 86)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, membaca surat Al Fatihah barangkali sudah menjadi perkara yang biasa bahkan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena di setiap raka’at shalat, surat ini selalu kita baca. Meskipun demikian, kita sering lalai dari merenungi hikmah dan pelajaran penting yang ada di dalamnya.

Apabila kita cermati penjelasan para ulama, baik di dalam kitab tafsir, kitab hadits, atau kitab seputar akidah dan tauhid, akan kita temukan bahwa surat Al Fatihah ini menyimpan sedemikian banyak ajaran Islam, dan yang paling utama adalah mengenai tauhid. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak beberapa keterangan berikut.
Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa, dan pengatur alam semesta. Keyakinan ini merupakan salah satu perkara penting dalam iman seorang muslim. Kita yakin, bahwa Allah semata yang menciptakan alam semesta ini. Kita juga yakin, bahwa Allah semata yang mengatur dan menguasainya. Inilah yang dikenal dalam istilah para ulama dengan nama tauhid rububiyah.

Nah, di dalam surat Al Fatihah ini, tauhid jenis ini terkandung di dalam beberapa ayat. Diantaranya adalah pada ucapan hamdalah <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin> yang artinya, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam”. Di dalamnya terdapat penegasan bahwa Allah adalah Rabb, yaitu penguasa dan pemelihara alam semesta. Inilah yang disebut dengan tauhid rububiyah. Demikian juga, di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> yang artinya, “Yang merajai pada hari pembalasan”. Di dalamnya juga terkandung pengakuan bahwa Allah yang menguasai hari kiamat, sebagaimana Allah adalah penguasa jagad raya sebelum terjadinya kiamat.
Tauhid Asma’ wa Shifat
Tauhid asma’ wa shifat adalah keyakinan tentang kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Kita mengimani bahwa Allah Maha Pengasih lagi Penyayang, sebagaimana dalam ayat <Ar Raḥmaanir Raḥiim>. Allah memiliki nama-nama yang maha indah, dan biasa dikenal dengan istilah asma’ul husna. Selain itu, Allah juga memiliki sifat-sifat yang mulia.

Diantara sifat Allah yang disebutkan di dalam surat ini adalah Allah men-tarbiyah seluruh alam. Allah memiliki sifat kasih sayang. Dan Allah memiliki kekuasaan. Allah maha terpuji dengan segala nama dan sifat-sifat-Nya. Oleh sebab itu di awal surat ini kita membaca <Alḥamdulillāhi Rabbil ‘aalamiin>. Di dalamnya terkandung sanjungan kepada Allah, dan salah satu sebabnya adalah karena kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Tauhid Uluhiyah atau Tauhid Ibadah
Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah adalah perbuatan hamba dalam bentuk mengesakan Allah dalam beribadah. Artinya dia menyembah hanya kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Inilah intisari dan hakikat tauhid yang sebenarnya. Tidaklah seorang dikatakan bertauhid apabila belum melaksanakan tauhid jenis ini.

Inilah yang terkandung di dalam ayat <Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin> yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”. Ini pula yang terkandung di dalam nama “Allah”, karena nama ini bermakna “pemilik sifat ketuhanan/uluhiyah yang wajib disembah oleh seluruh makhluk”.

Makna tauhid ini adalah bahwasanya segala macam ibadah hanya ditujukan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Inilah misi utama dakwah para rasul dan kandungan pokok kitab-kitab suci yang Allah turunkan. Inilah cabang keimanan yang paling utama dan pondasi keislaman yang paling mendasar. Tidak sah keislaman seorang hamba tanpa mewujudkan tauhid ini di dalam hidupnya. Dengan tauhid inilah seorang hamba akan bisa masuk surga dan terbebas dari neraka.

Oleh sebab itu, ibadah apa pun -seperti shalat, doa, sembelihan, nadzar, istighotsah, dan sebagainya- hanya boleh ditujukan kepada Allah. Inilah kandungan dari kalimat tauhid Laa ilaaha illallāh. Di dalamnya terkandung penafian dan penetapan. Penafian segala sesembahan selain Allah, artinya kita yakini bahwa segala yang disembah selain Allah adalah batil. Kemudian di dalamnya juga terkandung penetapan, yaitu keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah. Oleh sebab itu, seorang yang bertauhid harus meninggalkan segala bentuk kesyirikan, yang tampak maupun yang tersembunyi, yang besar maupun yang kecil.

Syirik memiliki bahaya yang sangat banyak, diantaranya adalah menyebabkan kekal di neraka, menghalangi masuk surga, menghapuskan amalan, terhalang dari ampunan Allah, terhalang dari keamanan dan hidayah. Syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Ibadah kepada Allah tidaklah diterima apabila tercampur dengan syirik. Oleh sebab itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun” (QS. An Nisaa’ : 36)

Para ulama juga menjelaskan, bahwa dengan menghayati serta mengamalkan kandungan <Iyyaaka na’budu> seorang hamba akan terlepas dari penyakit riya’ yang itu merupakan salah satu bentuk kesyirikan. Karena orang yang riya’ tidak ikhlas dalam beribadah. Dengan <Iyyaaka na’budu>, maka dia akan terus berusaha memurnikan amalannya untuk Allah.

Adapun dengan menghayati dan mengamalkan kandungan <Iyyaaka nasta’iin> maka seorang hamba akan terlepas dari penyakit ujub yaitu merasa bangga dan hebat dengan amalnya. Karena dia menyadari bahwa segala kebaikan di tangan Allah, bukan di tangan-Nya. Oleh sebab itu dia meyakini bahwa dengan pertolongan Allah semata dia bisa melakukan kebaikan, bukan dengan kekuatan dan kehebatan dirinya.

Para ulama kita juga mengatakan, bahwa riya’ -beramal karena ingin dilihat orang atau mencari popularitas- dan ujub adalah termasuk perkara yang bisa merusak bahkan membatalkan pahala amalan. Bukan itu saja, ia termasuk dosa syirik yang bisa menyeret pelakunya ke dalam neraka. Oleh sebab itu hendaklah kita hayati ayat yang kita baca ini dengan sebaik-baiknya, bukan sekedar dibaca dan dihafalkan kata-katanya.
Tiga Pilar Ibadah
Demikian pula, apabila kita membaca kitab para ulama, jelaslah bagi kita bahwa di dalam surat Al Fatihah ini terkandung pokok-pokok ibadah dan keimanan. Di dalam ayat <Alḥamdulillāh> terkandung pilar kecintaan atau mahabbah. Di dalam ayat <Ar Raḥmaanir rahiim> terkandung pilar harapan atau roja’. Dan di dalam ayat <Maaliki yaumid diin> terkandung pilar rasa takut atau khauf.

Nah, ibadah kepada Allah harus ditopang dengan ketiga macam amalan hati ini, yaitu cinta, takut dan harap. Beribadah kepada Allah tanpa kecintaan seperti badan tanpa ruh. Beribadah kepada Allah tanpa harapan akan melahirkan keputus asaan terhadap rahmat Allah. Dan beribadah kepada Allah tanpa rasa takut akan menyebabkan merasa aman dari hukuman Allah. Padahal, putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari hukuman Allah termasuk dalam jajaran dosa-dosa besar.

Ibadah kepada Allah ini dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Karena hakikat ibadah adalah perendahan diri kepada Allah yang dibarengi puncak kecintaan dan pengagungan, dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah ini mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, yang tampak/lahir maupun yang tersembunyi/batin. Nah, segala macam ibadah itu tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah semata.
Ibadah Harus Dengan Dasar Ilmu
Ibadah kepada Allah pun tidak akan diterima kecuali apabila dilandasi dengan keimanan, keikhlasan, dan mengikuti tuntunan. Oleh sebab itu di dalam surat Al Fatihah kita memohon kepada Allah hidayah (yakni ayat <Ihdinash shiraathal mustaqiim> -red), yang di dalamnya tercakup hidayah ilmu dan hidayah berupa amalan. Agar kita bisa mendapatkan ilmu yang benar, dan agar kita bisa mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh. Inilah jalan ‘orang-orang yang diberikan kenikmatan’, <shiraathalladziina an’amta ‘alaihim>.

Adapun jalan ‘orang yang dimurkai’ <al maghdhuubi ‘alaihim>, adalah jalan orang yang berilmu namun tidak mengamalkan ilmunya, sebagaimana orang-orang Yahudi yang dimurkai Allah. Adapun jalan ‘orang-orang sesat’, <adh dhaalliin>, adalah jalan orang yang beramal tanpa bekal ilmu, sebagaimana orang-orang Nashara. Kaum yang dimurkai menyimpang karena niat yang rusak, sedangkan kaum yang sesat menyimpang karena pemahaman yang rusak. Oleh sebab itu para ulama menyatakan bahwa ‘kelurusan niat dan benarnya pemahaman’ adalah salah satu nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Itulah yang setiap hari kita minta dalam doa kita <Ihdinash shiraathal mustaqiim>, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Tidak mungkin ibadah kita ikhlas jika kita tidak mengerti apa itu ikhlas dan apa saja yang merusaknya, sebagaimana tidak mungkin kita beribadah mengikuti tuntunan (As Sunnah) jika kita tidak mengerti seperti apa tuntunan itu dan apa saja yang tidak dituntunkan. Sementara ilmu tentang itu semuanya hanya akan bisa kita gali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Dan itu semua akan terwujud dengan taufik dan pertolongan Allah semata, bukan karena kepintaran, kecerdasan, pengalaman, atau kepandaian kita.

Inilah sekilas kandungan tauhid dalam surat Al Fatihah. Apa-apa yang dikemukakan di sini tentunya ibarat setetes air di tengah samudera. Laa haula wa laa quwwata illaa billāh.

Penulis : Ustadz Ari Wahyudi, S.Si (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Sumber : Buletin At-Tauhid

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Sebab Menuju Persatuan Umat

Setiap umat Islam ingin umatnya bersatu, tidak ada yang ingin umat ini terpecah belah. Namun ada yang menganggap berbeda-beda dalam prinsip beragama yang penting hati kita menyatu. Logikanya saja, bagaimana mungkin bisa bersatu jika satu pihak berkeyakinan bolehnya sesajen dan ruwatan, yang lainnya ingin umat itu bertauhid. Bagaimana bisa pula bersatu jika yang satu ingin agar umat cinta pada tradisi, namun tradisi yang ada jika tidak mengandung syirik, yah mengandung bid’ah. Dan mustahil syirik dan bid’ah itu menyatu dengan tauhid dan sunnah.

1- Memperbaiki akidah umat

Yang dimaksud memperbaiki akidah adalah membersihkan akidah umat dari kesyirikan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ
Sesungguhnya agama ini adalah agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al Mu’minun: 52).
Karena akidah yang benar akan menyatukan umat dan akan menghilangkan rasa saling benci. Berbeda halnya jika umat itu berbeda-beda pemahaman dalam akidah atau beraneka ragam sesembahan.  Karena setiap kelompok akan mengklaim akidahnya-lah yang paling benar, sesembahannya-lah yang lebih pantas diagungkan, lalu menganggap keliru ajaran yang lain.
Bersatu di atas akidah dan sesembahan yang benar tentu lebih baik. Allah Ta’ala berfirman,
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf: 39).
Orang Arab di masa jahiliyah dahulu berpecah belah dan mereka menjadi kaum lemah di muka bumi. Ketika Islam datang, akidah mereka menjadi benar, lalu menyatulah mereka di atas satu daulah.

2- Taat pada ulil amri kaum muslimin

Mendengar dan taat pada ulil amri kaum muslimin (yaitu pemerintah yang sah). Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa pada Allah, dengarlah dan taatlah (pada ulil amri kalian) walau ia seorang budak dari negeri Habasyah. Karena siapa saja di antara kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak.” (HR. Abu Daud no. 4607, shahih kata Syaikh Al Albani).
Membangkang pada ulil amri, itulah sebab perpecahan.

3- Mengembalikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah

Mengembalikan dan menyelesaikan segala perselisihan kepada Al Qur’an dan As Sunnah ketika terjadi perpecahan. AllahTa’ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
Janganlah kembalikan perselisihan tersebut kepada perkataan si fulan atau perkataan seseorang, namun rujukannya adalah Al Kitab dan As Sunnah.

4- Melakukan ishlah

Melakukan ishlah atau memperbaiki hubungan antar sesama ketika terjadi perpecahan, ini juga di antara jalan menyatunya umat. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anfal: 1)

5- Memusnahkan para pemberontak dan Khawarij

Ini juga di antara jalan menyatunya umat yaitu memusnahkan kelompok yang  biasa menimbulkan perpecahan yaitu dari kalangan pemberontak dan Khawarij. Kelompok-kelompok ini sebenarnya ingin kaum muslimin terpecah belah. Allah Ta’alaberfirman,
فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي
Tapi kalau yang satu memberontak (melanggar perjanjian) terhadap yang lain, hendaklah yang memberontak itu kamu perangi.” (QS. Al Hujurat: 9).
Oleh karena itu, amirul mukminin ‘Ali bin Abi Tholib pernah memberantas para pemberontak dan Khawarij. Inilah yang menjadi keutamaan dan keunggulan ‘Ali -semoga Allah senantiasa meridhoi beliau-.
Semoga Allah menyatukan kaum muslimin di atas akidah yang benar dan di atas sunnah shahihah. Wallahu waliyyut taufiq.

(*) Tulisan di atas dikembangkan dari tulisan Syaikhuna  -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan mengenai sebab dan jalan menuju persatuan umat Islam dalam kitab “As-ilah Al Manahij Al Jadidah”, tanya jawab dengan beliau, dikumpulkan oleh Jamal bin Farihan Al Haritsi.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Girisekar, Panggang, Gunung Kidul, 9 Syawal 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Pimpinan Redaksi Muslim.Or.Id dan Pengasuh Rumaysho.Com. Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta (2003-2005). S1 Teknik Kimia UGM (2002-2007). S2 Chemical Engineering (Spesialis Polymer Engineering), King Saud University, Riyadh, KSA (2010-2013). Murid Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsriy, Syaikh 'Abdurrahman bin Nashir Al Barrak, Syaikh Sholih bin 'Abdullah bin Hamad Al 'Ushoimi dan ulama lainnya. Penulis di Majalah Kesehatan Muslim dan Pengusaha Muslim. Situs lain yang diasuh: RemajaIslam.Com, Ruwaifi.Com, PolymerBlog.Com

Sumber : Muslim.Or.Id

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Selasa, 25 Februari 2014

Landasan dan Langkah Mewujudkan Persatuan

Persatuan kaum muslimin di atas al haq dan larangan berpecah-belah, merupakan prinsip yang agung dalam agama Islam. Namun layak disesalkan, kenyataan yang nampak di kalangan kaum muslimin berbeda dengan ajaran agama yang suci ini. Maka di sini, kami sampaikan sebagian keterangan agama mengenai masalah besar ini. Semoga bermanfaat untuk kita.

Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara”. (QS Ali Imran:103).

Ibnu Jarir Ath Thabari berkata tentang tafsir ayat ini: Allah Ta’ala menghendaki dengan ayat ini, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada agama Allah yang telah Dia perintahkan, dan (berpeganglah kamu semuanya) kepada janjiNya yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas  kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. [Jami’ul Bayan 4/30.]

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata,“Dia (Allah) memerintahkan mereka (umat Islam) untuk berjama’ah dan melarang perpecahan. Dan telah datang banyak hadits, yang (berisi) larangan perpecahan dan perintah persatuan. Mereka dijamin terjaga dari kesalahan manakala mereka bersepakat, sebagaimana tersebut banyak hadits tentang hal itu juga. Dikhawatirkan terjadi perpecahan dan perselisihan atas mereka. Namun hal itu telah terjadi pada umat ini, sehingga mereka berpecah menjadi 73 firqah. Diantaranya  terdapat satu firqah najiyah (yang selamat) menuju surga dan selamat dari siksa neraka. Mereka ialah orang-orang yang berada di atas apa-apa yang ada pada diri Nabi n dan para sahabat beliau.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim, surat Ali Imran:103.]

Al Qurthubi berkata tentang tafsir ayat ini,“Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan. Karena sesungguhnya perpecahan merupakan kebinasaan dan al jama’ah (persatuan) merupakan keselamatan.” [Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159.]

Al Qurthubi juga mengatakan,“Maka Allah Ta’ala mewajibkan kita berpegang kepada kitabNya dan Sunnah Nab-iNya, serta -ketika berselisih- kembali kepada keduanya. Dan memerintahkan kita bersatu di atas landasan Al Kitab dan As Sunnah, baik dalam keyakinan dan perbuatan. Hal itu merupakan sebab persatuan kalimat dan tersusunnya perpecahan (menjadi persatuan), yang dengannya mashlahat-mashlahat dunia dan agama menjadi sempurna, dan selamat dari perselisihan. Dan Allah memerintahkan persatuan dan melarang dari perpecahan yang telah terjadi pada kedua ahli kitab”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/164).
Beliau juga mengatakan,“Boleh juga maknanya, janganlah kamu berpecah-belah karena mengikuti hawa nafsu dan tujuan-tujuan yang bermacam-macam. Jadilah kamu saudara-saudara di dalam agama Allah, sehingga hal itu menghalangi dari (sikap) saling memutuskan dan membelakangi.” (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 4/159).

Asy Syaukani berkata tentang tafsir ayat ini,“Allah memerintahkan mereka bersatu di atas landasan agama Islam, atau kepada Al Qur’an. Dan melarang mereka dari perpecahan yang muncul akibat perselisihan di dalam agama.” (Fahul Qadir 1/367).

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat diambil beberapa perkara penting berkaitan dengan masalah persatuan.

Pertama. Perkataan Imam Ath Thabari: “Berpeganglah kamu kepada janjiNya, yang Dia (Allah) telah mengadakan perjanjian atas kamu di dalam kitabNya, yang berupa persatuan dan kesepakatan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah”, menunjukkan kaidah dan landasan penting tentang persatuan yang benar. Yaitu: persatuan di atas kalimat yang haq dan berserah diri terhadap perintah Allah. Kalimat yang haq, sering diistilahkan untuk kalimat la ilaha illa Allah, termasuk Muhammad Rasulullah. Dengan demikian, asas persatuan ialah tauhid dan Sunnah. Tidak ada persatuan tanpa tauhid dan Sunnah Rasulullah n . Persatuan yang dibangun tidak berdasarkan tauhid, merupakan model persatuan orang-orang musyrik. Dan persatuan yang tidak di atas Sunnah, merupakan persatuan ahli bid’ah. Bukan Ahlus Sunnah!

Kedua. Penjelasan Ibnu Katsir rahimahullah yang menghubungkan ayat di atas -yang memerintahkan persatuan- dengan hadits firqah najiyah -menunjukkan- bahwa persatuan yang haq, ialah dengan mengikuti apa-apa yang ada pada Nabi n dan para sahabat beliau. Membangun persatuan, yaitu dengan mengikuti Al Kitab dan As Sunnah berdasarkan pemahaman para sahabat, kemudian menolak bid’ah. Karena seluruh bid’ah merupakan kesesatan. Bid’ah adalah perkara baru dalam agama, yang tidak ada pada zaman Rasulullah n dan para sahabatnya.

Ketiga. Perkataan Al Qurhubi rahimahullah menjadi jelas bagi kita, bahwa langkah menuju persatuan yaitu dengan berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah NabiNya, baik dalam keyakinan maupun perbuatan. Dan jika terjadi perselisihan, maka dikembalikan kepada keduanya.

Keempat. Demikian juga penjelasan Asy Syaukani. Bahwa persatuan, ialah dengan berpegang kepada agama Allah; dengan berpegang kepada Al Qur’an.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَأَنَّ هذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa”. (QS Al An’am:153).

Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi berkata,“Ayat ini memuat perintah agar konsisten terhadap agama Islam, dalam masalah aqidah, ibadah, hukum, akhlaq, dan adab. Ayat ini juga memuat larangan mengikuti selain Islam, yaitu seluruh agama-agama dan sekte-sekte, yang Allah istilahkan dengan ‘jalan-jalan’ (Aisarut Tafasir).

Menjelaskan firman Allah: dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain); 
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,”Yaitu jalan-jalan yang menyelisihi jalan ini.” (Firman Allah: karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya), yaitu akan menyesatkan dan mencerai-beraikan kamu darinya. Maka jika kamu telah sesat dari jalan yang lurus, maka di sana tidak ada lagi, kecuali jalan-jalan yang akan menghantarkan menuju neraka jahim.” (Taisir Karimir Rahman).
Kemudian dari ayat di atas dapat diambil petunjuk, bahwa diantara langkah menuju dan menjaga persatuan ialah dengan menetapi agama Islam sampai mati, dan berlepas diri dari selainnya, yang berupa: madzhab-madzhab, agama-agama, dan jalan-jalan selain Islam.

Langkah Menuju Persatuan

Setelah kita sampaikan perintah Allah tentang masalah persatuan ini, maka bagaimana keadaan umat yang sudah terpecah-belah ini dapat dipersatukan lagi? Tidakkah persatuan umat itu merupakan impian semata yang mustahil diwujudkan?
Sesungguhnya, agama kita mengajarkan segala kebaikan yang dibutuhkan umat manusia. Sedangkan persatuan umat Islam merupakan salah satu prinsip terbesar agama ini. Maka sudah pasti terdapat cara mengobati penyakit perpecahan umat yang sudah berabad-abad lamanya menggerogoti tubuh ini!

Berikut diantara langkah menuju persatuan umat Islam yang didambakan.

Pertama. Memutuskan Perkara Dengan Al Kitab dan As Sunnah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ أمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nisa’:59).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata,“Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan manusia -yang berupa ushuluddin dan furu’-  kepada Allah dan RasulNya, yaitu kepada kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Karena sesungguhnya, di dalam keduanya terdapat penyelesaian untuk seluruh perkara yang diperselisihkan. Mungkin dengan jelas di dalam keduanya, atau dengan keumumannya, atau isyarat, atau peringatan, atau pemahaman, atau keumuman makna, yang serupa dengannya dapat dikiaskan padanya. Karena sesungguhnya kitab Allah dan Sunnah RasulNya merupakan fondasi bangunan agama. Keimanan tidak akan lurus, kecuali dengan keduanya. Maka, mengembalikan (perkara yang diperselisihkan) kepada keduanya merupakan syarat keimanan.” (Taisir Karimir Rahman).
Barangsipa bersungguh-sungguh mengikuti petunjuk Allah, niscaya akan terhindar dari kesesatan. Allah berfirman,
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjukKu, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka”. (QS Thaha:123).

Kedua. Menetapi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan meninggalkan seluruh bid’ah agama; mengikuti Sunnah Rasullah n , mengikuti Sunnah dan pemahaman sahabat terhadap agama ini. Baik dalam perkara aqidah, ibadah, akhlaq, politik, ekonomi, dan seluruh sisi kehidupan beragama lainnya. Kemudian, menolak seluruh bid’ah. Karena bid’ah, sesungguhnya merupakan salah satu penyebab perpecahan terbesar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi  kamu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama). Karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”. (HR. Abu Dawud no: 4607; Tirmidzi 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah).

Ketiga. Ikhlas dan memurnikan mutaba’ah.
Ketika Nabi Yusuf mengikhlaskan untuk Rabbnya, Allah memalingkan darinya pendorong-pendorong keburukan dan kekejian.
Allah Ta’ala berfirman,
كَذلِكَ لِنَصْرِفُ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَآءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang dijadikan ikhlas” (QS Yusuf:24).
Oleh karena inilah ketika Iblis mengetahui bahwa dia tidak memiliki jalan (untuk menguasai) orang-orang yang ikhlas, dia mengecualikan mereka dari sumpahnya yang bersyarat untuk menyesatkan dan membinasakan (manusia). Iblis mengatakan,
فَبِعِزَّتِكَ لأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ . إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ

“Demi kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlas diantara mereka”  (QS Shad:82-83).
Maka ikhlas merupakan jalan kebebasan, Islam sebagai kendaraan keselamatan, dan iman adalah penutup keamanan. [Al ‘Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu, tansiq: Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.]
Hendaklah kaum muslimin menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi satu-satunya manusia yang diikuti secara mutlak. Adapun selain beliau, maka perkataannya dapat diterima atau ditolak, sesuai dengan ukuran kebenaran. Karena seluruh apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq, sedangkan yang menyelisihinya adalah batil. Amalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk menjadikan amal tersebut tertolak.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak”” (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat. Menuntut ilmu syar’i dan mendalami agama dari ahlinya.
Untuk mengikuti al jama’ah, mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, tidaklah dapat dijalankan kecuali dengan bimbingan para ulama’ Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena para ulama itu sebagai al jama’ah. Maka seseorang yang ingin selalu menetapi kebenaran dan persatuan, harus selalu mendalami agama dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah yang lurus aqidahnya, terpercaya amanahnya dan agamanya.
Bergaul dengan ahli ilmu, meneladani akhlak, mengambil ilmu mereka dengan manhaj yang lurus merupakan langkah untuk menjauhi perpecahan dan menjaga persatuan. Dan para ulama itu akan selalu ada sepanjang zaman, sampai dikehendaki oleh Allah. Mereka itu adalah thaifah al manshurah (kelompok yang ditolong oleh Allah).
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS An Nahl:43)

Penutup

Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau di bawah ini,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya” (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).
Juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa Al Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain, dan beliau menjalin antara jari-jarinya”.
Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

Sumber : Muslim.Or.Id

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Berislam Secara Utuh

Tidak dapat disangkal lagi bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla karena Islam adalah agama yang datang dari Rabbul ‘alamin. Maka siapa pun orangnya yang mencari-cari agama selain agama Islam, maka ia akan ditolak di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (QS Alu Imran: 19).

Juga penegasan-Nya:
وَ مَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِي الْأخِرَةِ مِنَ الْخسِرِيْنَ
“Dan siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Alu Imran: 85)

Yaitu, Siapa yang menempuh suatu jalan  selain yang Allah syariatkan kelak di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk perkara kami, maka ia tertolak.” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim III/103).

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu melaporkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَ لَا نَصْرَانِيٌّ وَ مَاتَ وَ لَمْ يُؤْمِنُ بِي إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari kalangan umat ini baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar (dakwah)ku sedangkan ia wafat dalam keadaan tidak beriman kepadaku, kecuali dia termasuk penduduk neraka.” (HR Muslim dalamShahih-nya)

Bukti yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama sempurna yang diridhai Allah adalah firman-Nya dalam surat Al-Maidah ayat ke-3, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”

Dalam hal ini juga, telah berkata Abu Dzarr Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah wafat. Tidaklah ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya ke udara kecuali beliau telah mengingatkan (menjelaskan) ilmunya kepada kita.” Selanjutnya Abu Dzarr berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sesuatu yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan kepada kalian.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)

Bahkan yang mengakui kesempurnaan Islam tidak hanya orang di kalangan Islam sendiri, sampai pun Yahudi mengakuinya. Dengarkanlah pengakuan seorang Yahudi kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasul kalian telah menjelaskan (segala hal) kepada kalian sampai buang hajat.” Selanjutnya Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Beliau telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar dan kecil atau beristinja dengan tangan kanan, beristinja dengan kotoran atau belulang.” (HR Muslim).

Maka tidaklah ada suatu kebaikan yang dengannya seoramg hamba mendekatkan diri kepada Rabb-nya kecuali telah beliau ajarkan. Demikian dengan hal-hal yang menjerumuskan kepada keburukan, maka beliau telah memperingatkan jauh-jauh hari darinya.

Allah Jalla wa ‘Ala sendiri menjelaskan kesempurnaan Kitab-Nya yang menjadi pedoman umat Islam (yang artinya), “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) sebagai penjelas segala sesuatu.” (QS An-Nahl: 89) Juga firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Quran).” (QS Al-An’am: 38)

Seluruh dalil ini adalah sebagai bantahan buat orang nyleneh dari kalangan Liberal yang mengganggap bahwa semua agama itu sama dan juga sebagai bantahan untuk para ahli bid’ah yang menganggap bahwa risalah yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna sehingga perlu disempurnakan lagi dengan mengada-ngadakan amalan-amalan baru yang belum dikenal di tiga kenerasi awal. 

Padahal Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan:
وَ شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كَلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Dan seburuk-buruk perkara adalah apa yang diada-adakan. Karena sesunggunya setiap yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan neraka tempatnya.”

Dalil-dalil yang mengancam perilaku bid’ah tidak hanya sampai ini saja, namun masih banyak lagi. Di antaranya ialah sabda beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-ngadakan suatu perkara dalam urusan kami ini yang bukan wewenangnya, maka ia tertolak.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Siapa yang mengerjakan sesuatu yang bukan termasuk perkara kami, maka ia tertolak.”
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Setiap bid’ah adalah sesat meski manusia memandangnnya baik.”

Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas rahimahullah, berkata, “Barangsiapa yang membuat suatu bid’ah dalam Islam yang dipandang baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlaku khianat terhadap risalah. Sebab, Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…’  Apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini juga tetap bukan agama.” (Riwayat Abu Dawud)

Kewajiban mengambil seluruh syariat Islam dan tidak membeda-bedakannya

Setelah mengetahui kebenaran dan kesempurnaan agama Islam, sepantasnya orang segera memeluk Islam agar keselamatan segera menghampirinya. Baginda Nabi Muhammad ‘alaihi afdhalush shalatu was salam dalam suratnya yang ditujukan kepada raja Romawi, Herakliaus:
أَسْلِمْ تَسْلَمْ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، أَسْلِمْ يُئْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ
“Peluklah Islam Anda akan selamat. Masuklah ke dalam Islam Anda akan selamat. Masuklah ke dalam Islam, niscaya Allah akan melimpahkan kepada Anda ganjaran dua kali lipat.” (HR Al-Bukhari)

Dan bagi yang sudah memeluk Islam untuk memegang erat-erat seluruh syariatnya tanpa memilah dan memilih. Dan sangat tidak pantas orang yang berperinsip, “Apa yang disukai dikerjakan dan yang bertentangan dengan hawa nafsu ditinggalkan.” Bukankah Allah secara tegas telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memeluk Islam secara sempurna. Dia berfirman:
 يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia merupakan musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)

Berkaitan dengan ayat ini dan satu ayat setelahnya, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan titah dari Allah Ta’ala kepada orang-orang beriman agar mereka masuk { فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً (ke dalam Islam secara keseluruhan)}, yaitu dalam seluruh syariat agama dan tidak meninggalkan darinya sedikit pun dan agar tidak menjadi orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya; jika perkara yang disyariatkan itu sesuai dengan hawa nafsu dikerjakannya namun jika bertentangan ia akan meninggalkannya. Akan tetapi yang menjadi kewajiban adalah hawa nafsu itu haruslah mengikuti agama. Dan agar ia mengerjakan setiap yang ia mampu berupa perbuatan-perbuatan baik dan yang belum mampu ia (tetap) memandangnya wajib dan berniat (mengerjakan)nya sehingga niatnya itu dapat menggapainya.
“Oleh karena masuk ke dalam Islam secara keseluruhan tidak akan mungkin dan tergambar kecuali dengan menyelisihi langkah-langkah setan, Allah berfirman, ‘…dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan’, yaitu dalam bermaksiat kepada Allah.‘Sesungguhnya dia (setan) adalah musuh nyata bagi kalian’, dan musuh yang nyata tidak akan memerintah kecuali dengan keburukan, kekejian, dan yang membahayakan kalian.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hlm. 78).

“Oleh karena itu,” kata Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi hafizhahullah, “Jika ada seseorang berkata, ‘Aku menerima Islam dan memeluknya, hanya saja apa yang diharamkannya berupa minuman dan makanan, aku tidak mengharamkannya.’ Atau yang lain mengatakan, ‘Aku memeluk Islam, namun aku tidak mau mengakui puasa karena ia akan melemahkan kekautan badanku.’ Atau yang lain mengatakan, ‘Aku memeluknya tapi aku enggan mengakui apa yang ditetapkan Islam bahwa bagian wanita itu setengah daripada bagian laki-laki dalam pewarisan.’ Atau lainnya berkata, ‘Aku mengakui Islam, tetapi aku tidak mau mengakui hukum potong tangan pencuri atau rajam pezina muhshan (yang sudah kawin).’
“Apakah Islam mereka ini bisa diterima? Jawabannya, tidak akan diterima selamanya. Mereka adalah orang-orang kafir yang kekal di neraka jika mereka mati dalam keadaan kafir semacam ini.” (Nida’at Ar-Rahman li Ahli Al-Iman hlm. 20).

Beliau juga mengatakan, “Dan tidak diperkenankan bagi seorang mukmin yang sejati kecuali berserah diri secara sempurna kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dengan menerima apa yang Dia syariatkan dan tidak memilih-milihnya dengan menerima sebagian dan menolak yang sebagiannya.”
Allah Ta’ala juga berfirman memerintahkan kepada manusia agar menerima semua yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (artinya), “Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Dan bertawqalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS Al-Hasyr: 7).

Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani rahimahullah dalam tafsirnya, At-Tafsir Al-Munir li Ma’alim At-Tanzil(II/509), berkata, “Wajib patuh, karena beliau tidak berucap menurut nafsunya. Dan ini mengharuskan apa yang diperintahkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan titah dari Allah. Meskipun ayat ini khusus tentang fai’, namun seluruh perintah dan larangannya termasuk di dalamnya.”

Kebinasaan bagi Orang yang memilah-milah ajaran Islam

Ketika seseorang telah memutuskan dirinya untuk memeluk agama Islam yang memang satu-satunya agama yang benar sebagaimana diterangkan di atas, maka haruslah ia menerima seluruh konsekuensinya secara sempurna tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Ia harus melakukan seluruh ajarannya tanpa terkecuali. Demikian juga ia harus berserah diri kepada hukum yang Allah turunkan; baik hukum itu sudah diketahui hikmahnya atau belum.

Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan dalam risalahnya yang amat berharga, Al-Ushul Ats-Tsalatsah, “(Islam adalah) berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan dan pelakunya.”

Maka jika seorang muslim mendengar titah dari Allah dan Rasul-Nya, maka tak ada pilihan baginya kecuali mentaati perintah tersebut dengan penuh kerelaan dan keridhaan. Allah berfirman , “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65).

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS Al-Ahzab: 36).

Adapun orang-orang yang memilah-milah ajaran Islam dalam artian jika ajaran itu sesuai dengan kebutuhan mereka maka akan mereka ikuti namun jika tidak serta-merta mereka meninggalkannya, maka ini adalah kebiasan kaum munafik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Dan apabila mereka diseru kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS An-Nur: 47-50).

Akan tetapi sikap seorang mukmin sejati adalah tunduk dan patuh sebagaimana lanjutan ayat di atas, Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh.’  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur: 51).

Demikian juga kebiasaan buruk dalam beragama ini sudah menjadi kebiasaan umat sebelum umat ini. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyiapkan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS An-Nisa’: 150-151).

Ancaman Allah kepada orang-orang yang setengah-setengah dalam berislam adalah sangat besar. Dimana Allah Ta’ala berfirman:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ، فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ مِنْكُمْ إِلّا خِزْيٌّ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَّشَّدِّ الْعَذَابِ وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab  dan ingkar kepada sebagian kepada sebagian (yang lainnya)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian itu di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 85).
Dalam ayat selanjutnya Allah ‘Azza wa Jlla menyebutkan sebab mengapa ada orang yang memilih-milih syariat untuk dikerjakan. Dia berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan siksanya dan mereka tidak akan ditolong.”
Maka sepantasnya bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai seorang mukmin agar dengan lapang dada dalam menerima seluruh syariat Islam dan tidak membeda-bedakannya. Inilah sifat seorang mukmin sebenarnya. “Ucapan seorang mukmin yang apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka hanya, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur: 51).

Adapun hawa nafsu, maka sepatutnya tidak dijadikan sebagai tolak ukur kebaikan karena dia hanya akan mengajak kepada keburukan sebagaimana firman Allah ketika menghikayatkan perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam –menurut suatu pendapat-,“Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang dirahmati Rabb-ku.” (QS Yusuf: 53).

Lebih jauh lagi Allah Ta’ala berfirman, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya?” (QS Al-Jatsiyyah: 23).
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al-Mukminun: 71).

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
Karena pada dasarnya seorang yang berislam berarti ia menyerahkan dirinya kepada Allah dan tunduk hanya kepada-Nya. Apa pun yang Allah titahkan akan dilakukannya dan apa pun yang dilarang akan dijauhinya. Inilah prinsip yang benar bagi seorang muslim.

Yang memperihatinkan adalah adanya penindasan-penindasan yang tidak hanya dilakukan orang-orang kafir terhadap syariat Islam serta tuduhan-tuduhan miring yang mereka alamatkan kepada setiap muslim yang konsisten terhadap agamanya. Bahkan hal semacam ini juga terjadi di perguruan-perguruan tinggi yang berlabelkan “Islam”.
Padahal jika kita cermat mengamati seluruh syariat Islam, tentu kita akan mendapatinya di puncak keindahan dan kekokohan. Seluruh maslahatnya akan berpulang kepada hamba. Oleh sebab itu kita jumpai dalam kaidah fiqih, “Pembuat syariat (Allah) tidak menitahkan kecuali maslahatnya murni atau dominan dan tidak melarang kecuali mafsadatnya murni atau dominan.” (Al-Qawa’id wa Al-Ushul hlm. 27).
Adapun hukum-hukum Islam seperti rajam, potong tangan, cambuk, dan seterusnya yang dianggap tidak berkeprimanusiaan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan orang kafir dan liberal, maka itu merupakan pandangan dan pendapat yang sangat dangkal dan sama sekali jauh dari kebenaran dan realita yang ada. Karena sebenarnya yang tidak berkeprimanusiaan itu adalah pelaku kejahatan itu dan mereka sendiri. Hal ini sudah dibuktikan oleh penemuan-penemuan keajaiban dan hikmah yang begitu menakjubkan dalam syariat-syariat Islam. Tapi karena hati yang sudah terkunci dan sudah terlanjur benci, maka yang baik pun tetap dipandang buruk meski lubuk hati mereka yang terdalam tidak dapat mengingkarinya. Kesombongan itulah biang keroknya. “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS An-Naml: 14).

Padahal sikap membenci syariat agama termasuk pembatal Islam. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam Nawaqidh Al-Islam, “(Pembatal Islam) kelima: siapa yang membenci sesuatu dari apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meski ia kerjakan, maka ia kafir.” Pernyataan ini disimpulkan dari firman Allah, “Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang Allah turunkan lalu Allah menghapus seluruh amal-amal mereka.” (QS Muhammad: 9)”.

Begitu pula termasuk pembatal Islam adalah tindakan memperolok-olok syariat Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan beralasan, ‘Sesungguhnya kami hanya bersendau gurau dan main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kalian meminta mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (QS At-Taubah: 65-66).

Sebuah contoh akibat buruk bagi orang yang enggan menjalankan syariat Islam adalah sebagaimana laporan Imam Muslim rahimahullahdalam kitab Shahih-nya, “Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda, ‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.”
Berkata Abul ‘Aliyyah Ar-Rayahi rahimahullah, “Pelajarilah oleh kalian Islam itu. Apabila kalian sudah mempelajarinya, janganlah kalian benci. Hendaklah kalian mengambil shirath mustaqim (jalan yang lurus). Karena jalan yang lurus adalah Islam. Dan kalian jangan menyimpang ke kanan maupun ke kiri dari jalan yang lurus itu. Ambillah sunnah Nabi kalian dan waspadalah terhadap hawa nafsu ini yang melontarkan  permusuhan dan kebencian di tengah pengagumnya.” (Diriwayatkan Ibnu Baththah).
Semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad, keluarga, shahabat, dan siapa pun yang teguh serta tegar mengikuti sunnah-sunnahnya dengan penuh ketundukan.  Allahua’lam. []

Penulis: Firman Hidayat
Pengajar dan Alumni Pondok Pesantren Hamalatul Qur'an Yogyakarta
Sumber : Muslim.Or.Id

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA