Tidak dapat disangkal lagi bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah ‘Azza wa Jalla karena
Islam adalah agama yang datang dari Rabbul ‘alamin. Maka siapa pun
orangnya yang mencari-cari agama selain agama Islam, maka ia akan
ditolak di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (QS Alu Imran: 19).
Juga penegasan-Nya:
وَ مَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَ هُوَ فِي الْأخِرَةِ مِنَ الْخسِرِيْنَ
“Dan siapa yang mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Alu Imran: 85)
Yaitu, Siapa yang menempuh suatu jalan selain yang Allah syariatkan
kelak di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan termasuk perkara kami, maka ia tertolak.” (Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim III/103).
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu melaporkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ
مِنْ هذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَ لَا نَصْرَانِيٌّ وَ مَاتَ وَ لَمْ
يُؤْمِنُ بِي إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang
dari kalangan umat ini baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar
(dakwah)ku sedangkan ia wafat dalam keadaan tidak beriman kepadaku,
kecuali dia termasuk penduduk neraka.” (HR Muslim dalamShahih-nya)
Bukti yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama sempurna yang diridhai Allah adalah firman-Nya dalam surat Al-Maidah ayat ke-3, “Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.”
Dalam hal ini juga, telah berkata Abu Dzarr Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam telah
wafat. Tidaklah ada seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya ke
udara kecuali beliau telah mengingatkan (menjelaskan) ilmunya kepada
kita.” Selanjutnya Abu Dzarr berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sesuatu yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan kepada kalian.” (HR Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan Ath-Thabrani dalam Al-Kabir. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)
Bahkan yang mengakui kesempurnaan Islam tidak hanya orang di kalangan
Islam sendiri, sampai pun Yahudi mengakuinya. Dengarkanlah pengakuan
seorang Yahudi kepada Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, “Sungguh, Rasul kalian telah menjelaskan (segala hal) kepada kalian sampai buang hajat.” Selanjutnya Salman radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Beliau telah melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar dan
kecil atau beristinja dengan tangan kanan, beristinja dengan kotoran
atau belulang.” (HR Muslim).
Maka tidaklah ada suatu kebaikan yang dengannya seoramg hamba
mendekatkan diri kepada Rabb-nya kecuali telah beliau ajarkan. Demikian
dengan hal-hal yang menjerumuskan kepada keburukan, maka beliau telah
memperingatkan jauh-jauh hari darinya.
Allah Jalla wa ‘Ala sendiri menjelaskan kesempurnaan Kitab-Nya yang menjadi pedoman umat Islam (yang artinya), “Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) sebagai penjelas segala sesuatu.” (QS An-Nahl: 89) Juga firman-Nya (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab (Al-Quran).” (QS Al-An’am: 38)
Seluruh dalil ini adalah sebagai bantahan buat orang nyleneh dari
kalangan Liberal yang mengganggap bahwa semua agama itu sama dan juga
sebagai bantahan untuk para ahli bid’ah yang menganggap bahwa risalah
yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum
sempurna sehingga perlu disempurnakan lagi dengan mengada-ngadakan
amalan-amalan baru yang belum dikenal di tiga kenerasi awal.
Padahal
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan:
وَ شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كَلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٍ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فِي
النَّارِ
“Dan seburuk-buruk perkara adalah apa yang diada-adakan. Karena
sesunggunya setiap yang diada-adakan itu bid’ah. Dan setiap bid’ah
adalah sesat. Dan setiap kesesatan neraka tempatnya.”
Dalil-dalil yang mengancam perilaku bid’ah tidak hanya
sampai ini saja, namun masih banyak lagi. Di antaranya ialah sabda
beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang mengada-ngadakan suatu perkara dalam urusan kami ini yang bukan wewenangnya, maka ia tertolak.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Siapa yang mengerjakan sesuatu yang bukan termasuk perkara kami, maka ia tertolak.”
Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Setiap bid’ah adalah sesat meski manusia memandangnnya baik.”
Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas rahimahullah, berkata, “Barangsiapa yang membuat suatu bid’ah dalam Islam yang dipandang baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlaku khianat terhadap risalah. Sebab, Allah berfirman, ‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu…’ Apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini juga tetap bukan agama.” (Riwayat Abu Dawud)
Kewajiban mengambil seluruh syariat Islam dan tidak membeda-bedakannya
Setelah mengetahui kebenaran dan kesempurnaan agama Islam,
sepantasnya orang segera memeluk Islam agar keselamatan segera
menghampirinya. Baginda Nabi Muhammad ‘alaihi afdhalush shalatu was salam dalam suratnya yang ditujukan kepada raja Romawi, Herakliaus:
أَسْلِمْ تَسْلَمْ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، أَسْلِمْ يُئْتِكَ اللهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ
“Peluklah Islam Anda akan selamat. Masuklah ke dalam Islam Anda
akan selamat. Masuklah ke dalam Islam, niscaya Allah akan melimpahkan
kepada Anda ganjaran dua kali lipat.” (HR Al-Bukhari)
Dan bagi yang sudah memeluk Islam untuk memegang erat-erat seluruh
syariatnya tanpa memilah dan memilih. Dan sangat tidak pantas orang yang
berperinsip, “Apa yang disukai dikerjakan dan yang bertentangan dengan
hawa nafsu ditinggalkan.” Bukankah Allah secara tegas telah
memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar memeluk Islam secara
sempurna. Dia berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا ادْخُلُوْا فِي
الْسِّلْمِ كَافَّةً وَ لَا تَتَّبِعُوْا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Sesungguhnya ia merupakan musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208)
Berkaitan dengan ayat ini dan satu ayat setelahnya, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ini merupakan titah dari Allah Ta’ala kepada
orang-orang beriman agar mereka masuk { فِي الْسِّلْمِ كَافَّةً (ke
dalam Islam secara keseluruhan)}, yaitu dalam seluruh syariat agama dan
tidak meninggalkan darinya sedikit pun dan agar tidak menjadi orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya; jika perkara yang
disyariatkan itu sesuai dengan hawa nafsu dikerjakannya namun jika
bertentangan ia akan meninggalkannya. Akan tetapi yang menjadi kewajiban
adalah hawa nafsu itu haruslah mengikuti agama. Dan agar ia mengerjakan
setiap yang ia mampu berupa perbuatan-perbuatan baik dan yang belum mampu ia (tetap) memandangnya wajib dan berniat (mengerjakan)nya sehingga niatnya itu dapat menggapainya.
“Oleh karena masuk ke dalam Islam secara keseluruhan tidak akan
mungkin dan tergambar kecuali dengan menyelisihi langkah-langkah setan,
Allah berfirman, ‘…dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan’, yaitu dalam bermaksiat kepada Allah.‘Sesungguhnya dia (setan) adalah musuh nyata bagi kalian’, dan musuh yang nyata tidak akan memerintah kecuali dengan keburukan, kekejian, dan yang membahayakan kalian.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hlm. 78).
“Oleh karena itu,” kata Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi hafizhahullah,
“Jika ada seseorang berkata, ‘Aku menerima Islam dan memeluknya, hanya
saja apa yang diharamkannya berupa minuman dan makanan, aku tidak
mengharamkannya.’ Atau yang lain mengatakan, ‘Aku memeluk Islam, namun
aku tidak mau mengakui puasa karena ia akan melemahkan kekautan
badanku.’ Atau yang lain mengatakan, ‘Aku memeluknya tapi aku enggan
mengakui apa yang ditetapkan Islam bahwa bagian wanita itu setengah
daripada bagian laki-laki dalam pewarisan.’ Atau lainnya berkata, ‘Aku
mengakui Islam, tetapi aku tidak mau mengakui hukum potong tangan
pencuri atau rajam pezina muhshan (yang sudah kawin).’
“Apakah Islam mereka ini bisa diterima? Jawabannya, tidak akan
diterima selamanya. Mereka adalah orang-orang kafir yang kekal di neraka
jika mereka mati dalam keadaan kafir semacam ini.” (Nida’at Ar-Rahman li Ahli Al-Iman hlm. 20).
Beliau juga mengatakan, “Dan tidak diperkenankan bagi seorang mukmin
yang sejati kecuali berserah diri secara sempurna kepada Allah Ta’ala.
Yang demikian itu dengan menerima apa yang Dia syariatkan dan tidak
memilih-milihnya dengan menerima sebagian dan menolak yang sebagiannya.”
Allah Ta’ala juga berfirman memerintahkan kepada manusia agar menerima semua yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam (artinya), “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu
tinggalkanlah. Dan bertawqalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat
keras siksa-Nya.” (QS Al-Hasyr: 7).
Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani rahimahullah dalam tafsirnya, At-Tafsir Al-Munir li Ma’alim At-Tanzil(II/509), berkata, “Wajib patuh, karena beliau tidak berucap menurut nafsunya. Dan ini mengharuskan apa yang diperintahkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan titah dari Allah. Meskipun ayat ini khusus tentang fai’, namun seluruh perintah dan larangannya termasuk di dalamnya.”
Kebinasaan bagi Orang yang memilah-milah ajaran Islam
Ketika seseorang telah memutuskan dirinya untuk memeluk agama Islam
yang memang satu-satunya agama yang benar sebagaimana diterangkan di
atas, maka haruslah ia menerima seluruh konsekuensinya secara sempurna
tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Ia harus melakukan
seluruh ajarannya tanpa terkecuali. Demikian juga ia harus berserah diri
kepada hukum yang Allah turunkan; baik hukum itu sudah diketahui
hikmahnya atau belum.
Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan dalam risalahnya yang amat berharga, Al-Ushul Ats-Tsalatsah,
“(Islam adalah) berserah diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk
kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari kemusyrikan dan
pelakunya.”
Maka jika seorang muslim mendengar titah dari Allah dan Rasul-Nya,
maka tak ada pilihan baginya kecuali mentaati perintah tersebut dengan
penuh kerelaan dan keridhaan. Allah berfirman , “Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa’: 65).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka.” (QS Al-Ahzab: 36).
Adapun orang-orang yang memilah-milah ajaran Islam dalam artian jika
ajaran itu sesuai dengan kebutuhan mereka maka akan mereka ikuti namun
jika tidak serta-merta mereka meninggalkannya, maka ini adalah kebiasan
kaum munafik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan apabila
mereka diseru kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak
untuk datang.Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka,
mereka datang kepada rasul dengan patuh. Apakah (ketidak datangan mereka
itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka
ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku
zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS An-Nur: 47-50).
Akan tetapi sikap seorang mukmin sejati adalah tunduk dan patuh sebagaimana lanjutan ayat di atas, “Sesungguhnya
jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah
ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS An-Nur: 51).
Demikian juga kebiasaan buruk dalam beragama ini sudah menjadi kebiasaan umat sebelum umat ini. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan
rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebahagian dan
kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan
perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman
dan kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah
menyiapkan siksaan yang menghinakan untuk orang-orang yang kafir itu.” (QS An-Nisa’: 150-151).
Ancaman Allah kepada orang-orang yang setengah-setengah dalam berislam adalah sangat besar. Dimana Allah Ta’ala berfirman:
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَ تَكْفُرُوْنَ
بِبَعْضٍ، فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ مِنْكُمْ إِلّا خِزْيٌّ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّوْنَ إِلَى أَّشَّدِّ
الْعَذَابِ وَ مَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada
sebagian kepada sebagian (yang lainnya)? Maka tidak ada balasan (yang
pantas) bagi orang yang berbuat demikian itu di antara kalian selain
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka
dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah
terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 85).
Dalam ayat selanjutnya Allah ‘Azza wa Jlla menyebutkan sebab mengapa ada orang yang memilih-milih syariat untuk dikerjakan. Dia berfirman, “Mereka
itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan)
akhirat. Maka tidak akan diringankan siksanya dan mereka tidak akan
ditolong.”
Maka sepantasnya bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai seorang
mukmin agar dengan lapang dada dalam menerima seluruh syariat Islam dan
tidak membeda-bedakannya. Inilah sifat seorang mukmin sebenarnya. “Ucapan seorang mukmin yang apabila mereka diseru kepada
Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka
hanya, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan merekalah orang-orang yang
beruntung.” (QS An-Nur: 51).
Adapun hawa nafsu, maka sepatutnya tidak dijadikan sebagai tolak ukur
kebaikan karena dia hanya akan mengajak kepada keburukan sebagaimana
firman Allah ketika menghikayatkan perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam –menurut suatu pendapat-,“Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang dirahmati Rabb-ku.” (QS Yusuf: 53).
Lebih jauh lagi Allah Ta’ala berfirman, “Maka pernahkan
kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan
Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah mengunci
pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya?” (QS Al-Jatsiyyah: 23).
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم
بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.
Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran)
mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al-Mukminun: 71).
Disebutkan dalam sebuah hadits, “Salah seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
Karena pada dasarnya seorang yang berislam berarti ia menyerahkan
dirinya kepada Allah dan tunduk hanya kepada-Nya. Apa pun yang Allah
titahkan akan dilakukannya dan apa pun yang dilarang akan dijauhinya.
Inilah prinsip yang benar bagi seorang muslim.
Yang memperihatinkan adalah adanya penindasan-penindasan yang tidak
hanya dilakukan orang-orang kafir terhadap syariat Islam serta
tuduhan-tuduhan miring yang mereka alamatkan kepada setiap muslim yang
konsisten terhadap agamanya. Bahkan hal semacam ini juga terjadi di
perguruan-perguruan tinggi yang berlabelkan “Islam”.
Padahal jika kita cermat mengamati seluruh syariat Islam, tentu kita
akan mendapatinya di puncak keindahan dan kekokohan. Seluruh maslahatnya
akan berpulang kepada hamba. Oleh sebab itu kita jumpai dalam kaidah
fiqih, “Pembuat syariat (Allah) tidak menitahkan kecuali maslahatnya
murni atau dominan dan tidak melarang kecuali mafsadatnya murni atau
dominan.” (Al-Qawa’id wa Al-Ushul hlm. 27).
Adapun hukum-hukum Islam seperti rajam, potong tangan, cambuk, dan
seterusnya yang dianggap tidak berkeprimanusiaan oleh musuh-musuh Islam
dari kalangan orang kafir dan liberal, maka itu merupakan pandangan dan
pendapat yang sangat dangkal dan sama sekali jauh dari kebenaran dan
realita yang ada. Karena sebenarnya yang tidak berkeprimanusiaan itu
adalah pelaku kejahatan itu dan mereka sendiri. Hal ini sudah dibuktikan
oleh penemuan-penemuan keajaiban dan hikmah yang begitu menakjubkan
dalam syariat-syariat Islam. Tapi karena hati yang sudah terkunci dan
sudah terlanjur benci, maka yang baik pun tetap dipandang buruk meski
lubuk hati mereka yang terdalam tidak dapat mengingkarinya. Kesombongan
itulah biang keroknya. “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman
dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS An-Naml: 14).
Padahal sikap membenci syariat agama termasuk pembatal Islam. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam Nawaqidh Al-Islam, “(Pembatal Islam) kelima: siapa yang membenci sesuatu dari apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meski ia kerjakan, maka ia kafir.” Pernyataan ini disimpulkan dari firman Allah,
“Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang
Allah turunkan lalu Allah menghapus seluruh amal-amal mereka.” (QS Muhammad: 9)”.
Begitu pula termasuk pembatal Islam adalah tindakan memperolok-olok syariat Islam. Allah berfirman (yang artinya), “Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentu mereka akan beralasan, ‘Sesungguhnya kami hanya bersendau gurau
dan main-main saja.’ Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya,
dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?’ Tidak usah kalian meminta
mencari-cari alasan, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (QS At-Taubah: 65-66).
Sebuah contoh akibat buruk bagi orang yang enggan menjalankan syariat Islam adalah sebagaimana laporan Imam Muslim rahimahullahdalam kitab Shahih-nya, “Ada
seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Makanlah dengan
tangan kananmu!’ Dia malah menjawab, ‘Aku tidak bisa.’ Beliau bersabda,
‘Benarkah kamu tidak bisa?’ -dia menolaknya karena sombong-. Setelah
itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya.”
Berkata Abul ‘Aliyyah Ar-Rayahi rahimahullah, “Pelajarilah oleh kalian Islam itu. Apabila kalian sudah mempelajarinya, janganlah kalian benci. Hendaklah kalian mengambil shirath mustaqim (jalan
yang lurus). Karena jalan yang lurus adalah Islam. Dan kalian jangan
menyimpang ke kanan maupun ke kiri dari jalan yang lurus itu. Ambillah
sunnah Nabi kalian dan waspadalah terhadap hawa nafsu ini yang
melontarkan permusuhan dan kebencian di tengah pengagumnya.”
(Diriwayatkan Ibnu Baththah).
Semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurahkan kepada
baginda Nabi Muhammad, keluarga, shahabat, dan siapa pun yang teguh
serta tegar mengikuti sunnah-sunnahnya dengan penuh ketundukan. Allahua’lam. []
Penulis: Firman Hidayat
Pengajar dan Alumni Pondok Pesantren Hamalatul Qur'an Yogyakarta
Sumber : Muslim.Or.Id
Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar