Fatwa Syaikh Dr. Shalih
bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala
Pertanyaan:
Apakah membicarakan urusan kenegaraan dan
kondisi masyarakat dapat dianggap sebagai ghibah, sampai-sampai
seandainya seseorang itu mencela (mencaci) aib dan kejelekan penguasa? (dengan
kata lain, apakah ghibah itu hanya dilarang jika yang di-ghibah adalah
rakyat atau manusia biasa seperti kita, sedangkan jika kita meng-ghibah penguasa
itu diperbolehkan? –pen.)
Jawaban:
Perbuatan ini termasuk ghibah, bahkan
termasuk jenis ghibah yang paling parah (paling jelek). Hal ini karena
membicarakan (kesalahan) penguasa dan ulil amri akan menimbulkan suu’dzan
(buruk sangka) terhadap penguasa kaum muslimin dan merendahkan kedudukan
mereka di hadapan masyarakat. Dan terkadang akan menimbulkan kebencian pada
sebagian masyarakat dan (menimbulkan) dendam tersembunyi terhadap ulil amri,
sehingga akan terjadi perpecahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”
Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk
siapa (wahai Rasulullah)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para
pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)
Maka apakah termasuk dalam nasihat
(menginginkan kebaikan) kepada ulil amri ketika Engkau duduk di berbagai
forum dan berbicara (tentang kesalahan penguasa, pen.)? Atau Engkau merekam
perkataanmu di kaset, atau Engkau berbicara di mimbar-mimbar mencela penguasa
dan melecehkan mereka?
Perbuatan ini merusak persatuan, dan
menyebabkan masyarakat menyimpan dendam terhadap penguasa, sehingga menimbulkan
banyak kerusakan, terbaliknya keadaan, mencabut ketaatan (menjadi pemberontak),
dan anggapan bahwa ketaatan (terhadap penguasa) itu tidak wajib.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah
kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara
kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Maka harus ada ketaatan terhadap penguasa,
selama mereka tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Jika
Engkau mencela penguasa, membicarakan (aib) mereka, kemudian dampaknya
masyarakat meremehkan perintah penguasa dan durhaka kepada penguasa, sehingga
akhirnya masyarakat pun keluar dari perintah Allah Ta’ala.
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 11 Dzulqa’dah 1439/
25 Juli 2018
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab Al-farqu
baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 32 (penerbit Kunuuz Isybiliya).
Baca selengkapnya. Klik https://muslim.or.id/41771-membicarakan-keburukan-penguasa-apakah-termasuk-ghibah.html
Sumber : https://muslim.or.id/
Penerjemah : Muhammad Saifudin Hakim
- Alumni Ma'had Al-'Ilmi Yogyakarta (2003-2005).
- Pendidikan Dokter FK UGM (2003-2009).
- S-2 (MSc) Erasmus Medical Center (EMC) Rotterdam dalam bidang Infeksi dan
Imunologi (2011-2013).
- S-3 (PhD) di EMC-Postgraduate School Molecular Medicine Rotterdam dalam
bidang Virologi Molekuler (Nov 2014)
Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala
Pertanyaan:Apakah membicarakan urusan kenegaraan dan kondisi masyarakat dapat dianggap sebagai ghibah, sampai-sampai seandainya seseorang itu mencela (mencaci) aib dan kejelekan penguasa? (dengan kata lain, apakah ghibah itu hanya dilarang jika yang di-ghibah adalah rakyat atau manusia biasa seperti kita, sedangkan jika kita meng-ghibah penguasa itu diperbolehkan? –pen.)
Jawaban:
Perbuatan ini termasuk ghibah, bahkan termasuk jenis ghibah yang paling parah (paling jelek). Hal ini karena membicarakan (kesalahan) penguasa dan ulil amri akan menimbulkan suu’dzan (buruk sangka) terhadap penguasa kaum muslimin dan merendahkan kedudukan mereka di hadapan masyarakat. Dan terkadang akan menimbulkan kebencian pada sebagian masyarakat dan (menimbulkan) dendam tersembunyi terhadap ulil amri, sehingga akan terjadi perpecahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)Maka apakah termasuk dalam nasihat (menginginkan kebaikan) kepada ulil amri ketika Engkau duduk di berbagai forum dan berbicara (tentang kesalahan penguasa, pen.)? Atau Engkau merekam perkataanmu di kaset, atau Engkau berbicara di mimbar-mimbar mencela penguasa dan melecehkan mereka?
Perbuatan ini merusak persatuan, dan menyebabkan masyarakat menyimpan dendam terhadap penguasa, sehingga menimbulkan banyak kerusakan, terbaliknya keadaan, mencabut ketaatan (menjadi pemberontak), dan anggapan bahwa ketaatan (terhadap penguasa) itu tidak wajib.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)Maka harus ada ketaatan terhadap penguasa, selama mereka tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Jika Engkau mencela penguasa, membicarakan (aib) mereka, kemudian dampaknya masyarakat meremehkan perintah penguasa dan durhaka kepada penguasa, sehingga akhirnya masyarakat pun keluar dari perintah Allah Ta’ala.
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 11 Dzulqa’dah 1439/ 25 Juli 2018
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab Al-farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 32 (penerbit Kunuuz Isybiliya).
Baca selengkapnya. Klik https://muslim.or.id/41771-membicarakan-keburukan-penguasa-apakah-termasuk-ghibah.html
Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala
Pertanyaan:Apakah membicarakan urusan kenegaraan dan kondisi masyarakat dapat dianggap sebagai ghibah, sampai-sampai seandainya seseorang itu mencela (mencaci) aib dan kejelekan penguasa? (dengan kata lain, apakah ghibah itu hanya dilarang jika yang di-ghibah adalah rakyat atau manusia biasa seperti kita, sedangkan jika kita meng-ghibah penguasa itu diperbolehkan? –pen.)
Jawaban:
Perbuatan ini termasuk ghibah, bahkan termasuk jenis ghibah yang paling parah (paling jelek). Hal ini karena membicarakan (kesalahan) penguasa dan ulil amri akan menimbulkan suu’dzan (buruk sangka) terhadap penguasa kaum muslimin dan merendahkan kedudukan mereka di hadapan masyarakat. Dan terkadang akan menimbulkan kebencian pada sebagian masyarakat dan (menimbulkan) dendam tersembunyi terhadap ulil amri, sehingga akan terjadi perpecahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)Maka apakah termasuk dalam nasihat (menginginkan kebaikan) kepada ulil amri ketika Engkau duduk di berbagai forum dan berbicara (tentang kesalahan penguasa, pen.)? Atau Engkau merekam perkataanmu di kaset, atau Engkau berbicara di mimbar-mimbar mencela penguasa dan melecehkan mereka?
Perbuatan ini merusak persatuan, dan menyebabkan masyarakat menyimpan dendam terhadap penguasa, sehingga menimbulkan banyak kerusakan, terbaliknya keadaan, mencabut ketaatan (menjadi pemberontak), dan anggapan bahwa ketaatan (terhadap penguasa) itu tidak wajib.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)Maka harus ada ketaatan terhadap penguasa, selama mereka tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Jika Engkau mencela penguasa, membicarakan (aib) mereka, kemudian dampaknya masyarakat meremehkan perintah penguasa dan durhaka kepada penguasa, sehingga akhirnya masyarakat pun keluar dari perintah Allah Ta’ala.
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 11 Dzulqa’dah 1439/ 25 Juli 2018
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab Al-farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 32 (penerbit Kunuuz Isybiliya).
Baca selengkapnya. Klik https://muslim.or.id/41771-membicarakan-keburukan-penguasa-apakah-termasuk-ghibah.html
Fatwa Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala
Pertanyaan:Apakah membicarakan urusan kenegaraan dan kondisi masyarakat dapat dianggap sebagai ghibah, sampai-sampai seandainya seseorang itu mencela (mencaci) aib dan kejelekan penguasa? (dengan kata lain, apakah ghibah itu hanya dilarang jika yang di-ghibah adalah rakyat atau manusia biasa seperti kita, sedangkan jika kita meng-ghibah penguasa itu diperbolehkan? –pen.)
Jawaban:
Perbuatan ini termasuk ghibah, bahkan termasuk jenis ghibah yang paling parah (paling jelek). Hal ini karena membicarakan (kesalahan) penguasa dan ulil amri akan menimbulkan suu’dzan (buruk sangka) terhadap penguasa kaum muslimin dan merendahkan kedudukan mereka di hadapan masyarakat. Dan terkadang akan menimbulkan kebencian pada sebagian masyarakat dan (menimbulkan) dendam tersembunyi terhadap ulil amri, sehingga akan terjadi perpecahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.”Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada umumnya.” (HR. Muslim no. 55)Maka apakah termasuk dalam nasihat (menginginkan kebaikan) kepada ulil amri ketika Engkau duduk di berbagai forum dan berbicara (tentang kesalahan penguasa, pen.)? Atau Engkau merekam perkataanmu di kaset, atau Engkau berbicara di mimbar-mimbar mencela penguasa dan melecehkan mereka?
Perbuatan ini merusak persatuan, dan menyebabkan masyarakat menyimpan dendam terhadap penguasa, sehingga menimbulkan banyak kerusakan, terbaliknya keadaan, mencabut ketaatan (menjadi pemberontak), dan anggapan bahwa ketaatan (terhadap penguasa) itu tidak wajib.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)Maka harus ada ketaatan terhadap penguasa, selama mereka tidak memerintahkan untuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Jika Engkau mencela penguasa, membicarakan (aib) mereka, kemudian dampaknya masyarakat meremehkan perintah penguasa dan durhaka kepada penguasa, sehingga akhirnya masyarakat pun keluar dari perintah Allah Ta’ala.
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 11 Dzulqa’dah 1439/ 25 Juli 2018
Penerjemah: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Diterjemahkan dari kitab Al-farqu baina an-nashiihah wa at-tajriih, hal. 32 (penerbit Kunuuz Isybiliya).
Baca selengkapnya. Klik https://muslim.or.id/41771-membicarakan-keburukan-penguasa-apakah-termasuk-ghibah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar