Rabu, 06 November 2013

Tidak Taat Pemimpin, Akibatnya Mati Jahiliyah

Setiap muslim diperintahkan untuk taat pemimpin. Siapa saja yang tidak mentaati pemimpinnya, maka ia dikatakan mati dalam keadaan mati jahiliyah. Apa yang dimaksud mati jahiliyah?
Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
(( مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ حُجَّةَ لَهُ ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً )) رواه مسلم .
وفي رواية لَهُ : (( وَمَنْ مَاتَ وَهُوَ مُفَارِقٌ لِلجَمَاعَةِ ، فَإنَّهُ يَمُوتُ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً )) .
"Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan pada penguasa, maka ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam ia tidak punya argumen apa-apa untuk membelanya. Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai'at, maka ia mati seperti keadaan orang jahiliyah" (HR. Muslim no. 1851).
Dalam riwayat lain dari Imam Muslim disebutkan, "Siapa yang mati dan ia berpisah dari jama'ah, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah."

Pengertian Hadits

Yang dimaksud melepaskan tangan dari ketaatan adalah tidak mau taat pada pemimpin padahal ketaatan tersebut bukan dalam perkara maksiat, lalu ia enggan berbaiat pada pemimpin.
Yang dimaksud tanpa argumen yang membelanya adalah tidak ada uzur (alasan) ketika ia membatalkan janjinya untuk taat.
Sedangkan kalimat tidak ada baiat di lehernya adalah tidak mau berbai'at, yaitu mengikat janji setia untuk taat pada pemimpin.
Mati jahiliyah yang dimaksud adalah mati dalam keadaan sesat dan salah jalan sebagaimana keadaan orang-orang jahiliyah karena dahulu mereka tidak mau taat pada pemimpin bahkan mereka menilai 'aib jika mesti taat seperti itu. Namun bukanlah yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati kafir sebagaimana sangkaan sebagian golongan yang keliru dan salah paham.
Adapun yang dimaksud berpisah dari jama'ah adalah menyelisihi kaum muslimin dalam bai'at serta tidak mau patuh dan taat kepada pemimpin yang ada.

Faedah Hadits

1- Wajib mentaati jama'ah atau penguasa yang sah dan wajib berbai'at pada mereka. Dan jama'ah yang dimaksud di sini bukanlah kelompok, golongan, atau kumpulan orang tertentu tetapi yang dimaksud adalah yang punya kuasa dan punya wilayah yang sah. Sehingga jika di negara NKRI, taat pada jama'ah berarti taat pada pimpinan negara selama bukan dalam hal maksiat.
2- Siapa yang enggan taat pada penguasa dengan membatalkan janji setianya untuk taat (baca: bai'at), maka ia berarti telah terjerumus dalam dosa besar dan telah serupa dengan kelakuan orang Jahiliyah.
3- Hendaknya setiap umat memiliki pemimpin yang urusan agama diatur oleh mereka.
4- Mati jahiliyah bukan berarti mati kafir tetapi mati dalam keadaan tidak taat pada pemimpin. Sehingga orang-orang yang enggan taat pada pemimpin atau penguasa yang mengatur maslahat mereka, maka ia pantas menyandang sifat ini.
Semoga Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang jujur dan adil, yang mampu menyejahterakan rakyat. Moga kita pun dikarunia oleh Allah sebagai hamba yang taat pada Allah, Rasul-Nya dan ulil amri kaum muslimin.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 655.
---
Akhukum fillah,

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Taat pada Pemimpin Berarti Taat Rasul

Taat pada pemimpin adalah suatu ibadah dan akan diberi ganjaran karena taat pada pemimpin diperintah oleh Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengatakan bahwa barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaati Rasul.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى
"Barangsiapa mentaatiku, maka ia berarti mentaati Allah. Barangsiapa yang  tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaati Allah. Barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia mentaatiku. Barangsiapa yang tidak mentaatiku berarti ia tidak mentaatiku." (HR. Bukhari no. 7137 dan Muslim no. 1835).

Yang dimaksud amir adalah orang yang punya wilayah kekuasaan seperti khalifah dan lainnya.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Wajib patuh dan taat pada pemimpin (imam a'zhom) dan setiap yang diberi mandat untuk memimpin suatu wilayah yang khusus.
2- Mentaati penguasa adalah suatu ibadah yang diberi ganjaran pahala. Jadi janganlah dikira bahwa hal ini adalah ketaatan biasa karena mentaati pemimpin diperintah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
3- Barangsiapa mentaati Rasul berarti dia mentaati Allah karena Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati Allah. Allah juga memerintahkan untuk mentaati Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
---
Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 660.
---
Akhukum fillah,

Serba-Serbi Bulan Muharram

Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

Keutamaan Bulan Muharram

Bulan Muharram termasuk bulan yang disucikan Allah ta’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati dan menisbatkannya kepada Allah dengan menamainya sebagai “syahrullah al muharram” (bulan Allah Al Muharram). Hal ini menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan ini di sisi Allah ta’ala, karena tidaklah Allah  menggandengkan sesuatu dengan nama-Nya kecuali dengan makhluk-Nya yang istimewa.(Lathaiful Ma’arif hal 70, karya Ibnu Rajab Al Hambali)
Al Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan yang suci dan menutupnya dengan bulan yang suci pula. Dan tidaklah ada bulan dalam setahun yang lebih agung di sisi Allah setelah bulan Ramadhan kecuali bulan Muharram.”  (Lathaiful Ma’arif hal 67, karya Ibnu Rajab Al Hambali)
Bulan Muharram merupakan bulan yang Allah utamakan. Sisi keutamaannya adalah bahwa berpuasa di bulan ini lebih utama daripada berpuasa di bulan yang lain selain bulan Ramadhan, sebagaimana terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shalallahu ‘alai wa sallam, “Puasa paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Al Muharram.” (HR. Muslim)
Adapun hadits yang menceritakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa apa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, kemudian beliau menjawab, “Puasa pada bulan Sya’ban dalam rangka mengagungkan Ramadhan.” Kemudian beliau ditanya lagi tentang sedekah apa yang paling utama, kemudian beliau menjawab,”Sedekah di bulan Ramadhan.” Hadits tersebut adalah hadits yang mungkar begitu pula dengan hadits: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Sya’ban.”
Imam An Nawawi berkata dalam kitab Al Adzkar,”Makruh hukumnya menamai bulan Muharram dengan Shafar karena hal tersebut merupakan kebiasaan jahiliyah.” (Al Adzkar hal.313, karya An Nawawi)
Ibnu ‘Allan mengatakan,” As Suyuthi berkata: Aku ditanya” Mengapa bulan Muharram dikhususkan dengan sebutan “Syahrullah Al Muharram” sedangkan bulan yang lain tidak. Padahal, ada bulan lain yang menyamai keutamaannya atau bahkan lebih utama darinya semisal Ramadhan?” Maka diantara jawaban yang aku temukan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa penamaan bulan Muharram dengan istilah Al Muharram adalah penamaan yang islami, berbeda dengan bulan selainnya di masa jahiliyah. Karena nama bulan Muharram di masa jahiliyah adalah “Shafar Al Awwal” (bulan Shafar yang pertama). Kemudian bulan setelahnya dinamakan “Shafar Ats Tsani” ( bulan shafar yang kedua). Ketika islam datang, maka Allah menamai bulan Muharram yang tadinya bernama “Shafar Al Awwal” menjadi “Al Muharram”, maka Allah kemudian menggandengkan nama bulan ini dengan namanya (sehingga menjadi: Syahrullah Al Muharram). Ini merupakan faidah yang sangat menarik dan berharga yang aku lihat dalam kitab Al Jamharah” (Al Futuhat Ar Rabaniyyah bi Syarhi Al Adzkaar An Nabawiyyah 7/100, karya Ibnu ‘Allan)
Diantara kekeliruan yang dilakukan banyak orang adalah menyebut bulan ini dengan lafadz “muharram” tanpa ada hurul alif dan lam di awalnya.  Penyebutan yang benar adalah dengan lafadz “al muharram” karena orang arab tidaklah menyebut bulan ini kecuali dalam bentuk mu’arraf (mengandung huruf alif dan lam) dan demikian pulalah yang disebutkan dalam berbagai hadits yang mulia dan berbagai syair arab. (Tashwibul Mafaahim hal 75). Tidaklah huruf alif dan lam masuk dalam nama bulan kecuali untuk bulan Muharram.

Bulan Muharram dan Puasa Asyura’

Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh di bulan Muharram menurut mayoritas ulama. Hari tersebut merupakan hari yang mulia, diberkahi, agung kedudukannya, dan memiliki keutamaan yang besar. Diantara keutamaan hari Asyura’ adalah:
1. Pada Hari Asyura’ Allah ta’ala Menyelamatkan Musa dan Bani Israil serta Menenggelamkan Fir’aun dan Pengikutnya.
Dari Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma , beliau mengatakan, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah dan beliau menjumpai orang Yahudi dalm keadaan berpuasa pada hari Asyura’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian berpuasa di dalamnya?” Mereka menjawab, ”Ini merupakan hari yang agung dimana Allah ta’ala menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya. Sehingga Musa berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk syukur, sehingga kami pun berpuasa sebagaimana beliau.” Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Kami lebih berhak terhadap Musa dari kalian.” Beliau pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Puasa di Hari Asyura’ Dapat Menghapus Dosa Setahun yang Lalu.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai puasa di hari Asyura’, “Aku berharap bisa menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim)
3. Puasa di Hari Asyura’ Merupakan Puasa yang Sangat Nabi Inginkan Keutamaannya Dibandingkan Hari yang Lain.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang puasa di hari Asyura’, maka beliau menjawab, “ Tidaklah aku melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada satu hari yang sangat beliau inginkan mendapat keutamaannya dibandingkan hari yang lain kecuali hari ini – yaitu hari Asyura’-, dan bulan ini –yaitu Ramadhan-.” (HR. Bukhari-Muslim)
Disunnahkan untuk berpuasa di tanggal sembilan Muharram beserta tanggal sepuluhnya, karena hal ini merupakan keadaan akhir yang dilakukan Nabi ketika melakukan puasa Asyura’.
Diantara perbuatan yang keliru adalah berpuasa pada tanggal sembilan Muharram saja, sedangkan yang diajarkan dalam hadits shahih adalah berpuasa pada tanggal sepuluh saja atau pada tanggal sembilan dan sepuluh. Adapun menambahkannya dengan tanggal sebelas, maka sebagian ulama menilai bahwa hadits yang menyebutkan tanggal sebelas Muharram adalah hadits yang dha’if.

Beberapa Bid’ah Berkaitan Dengan Bulan Muharram

Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, ”Tidak ada satu dalil pun yang shahih dalam syariat berkenaan dengan dzikir dan doa awal tahun, yaitu untuk awal hari atau malam memasuki bulan Muharram. Banyak orang yang membuat doa, dzikir, berbagai peringatan, saling mengucapkan selamat, berpuasa di hari pertama awal tahun, menghidupkan malam di hari pertama bulan Muharram dengan sholat, dzikir, doa, berpuasa di akhir tahun dan berbagai hal lainnya yang ternyata tidak ada dalilnya.” (Tas-hihud Du’aa’ hal.107-108, karya syaikh Bakr abu Zaid)

Berkaitan dengan ini, berikut ini adalah diantara bid’ah yang dilakukan di bulan Muharram:

1. Membuat Perayaan Masuknya Tahun Baru Hijriyah dan Saling Mengucapkan Selamat dengan Datangnya Tahun Baru.

Betapa merasa sakitnya seorang muslim ketika melihat jama’ah kaum muslimin, baik individu maupun masyarakatnya merayakan tahun baru hijriyyah sedangkan ketika merayakannya mereka lupa berdasar perintah siapa mereka merayakan perayaan tersebut. Apakah berdasar perintah Allah dalam Kitab-Nya? Ataukah berdasarkan perintah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam? Ataukah mereka melakukan demikian karena meneladani para sahabat radhiallahu ‘anhum? Sesungguhnya diantara kekeliruan yag sangat jelas adalah ketika kaum muslimin lebih memilih melakukan hal-hal yang tidak berdalil baik dari Al Qur’an maupun sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Peringatan Hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian orang di zaman ini tidaklah mengetahui hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kecuali sebagai memoar yang dibacakan sekali tiap tahun dan diadakanlah berbagai perayaan, khutbah, dan berbagai ceramah keagamaan dalam jangka waktu beberapa hari kemudian selesai dan dilupakan sampai tiba tahun selanjutnya tanpa adanya pengaruh sedikitpun pada perilaku dan amalan mereka. Oleh karena itulah Anda jumpai sebagian mereka tidak berhijrah dari negeri musyrik ke negeri Islam sebagaimana hijrahnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang berpindah dari negeri Islam ke negeri musyrik bukan karena alasan apapun selain hanya untuk mencari kemewahan dan hidup di sana dengan kebebasan hewani -wal iyadzu billah-.

3. Mengkhususkan Hari Pertama di Awal Tahun dengan Berpuasa dengan Niat Membuka Tahun Baru Tersebut dengan Puasa.

Begitu pula mengkhususkan berpuasa selama sehari di hari terakhir tahun tersebut dengan niat sebagai ucapan selamat tinggal untuk tahun tersebut dengan berdalil menggunakan hadits palsu: “Barangsiapa yang berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama di bulan Muharram, dia telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa, maka Allah akan menjadikannya sebagai penebus dosa baginya selama lima puluh tahun.”

4. Menghidupkan Malam Pertama di Bulan Muharram untuk Melakukan Ibadah.

Syaikh Abu Syamah mengatakan, ”Tidak ada satu pun dalil yang menuntunkan suatu amalan tertentu di malam pertama bulan Muharram. Aku telah mencari di berbagai riwayat baik yang shahih maupun yang dha’if dan dalam hadits-hadits maudhu’, tetapi tidak aku jumpai satu pun yang menyebutkan tentang hal tersebut.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.239)

5. Mengkhususkan Awal Tahun Hijriyah untuk Melakukan Umrah Sebagaimana yang Dilakukan Sebagian Orang di Bulan Muharram.

6. Membuat Doa Khusus di Hari Pertama Tahun Baru yang Dinamakan dengan Doa Awal Tahun.

Semua hal tadi merupakan amalan yang tidak ada satu dalil shahih pun yang menuntunkan untuk melakukannya. Hendaknya kita merasa cukup dengan ajaran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, dan sejelek-jelek perkara dalam agama adalah amalan ibadah baru yang diada-adakan.

(Disarikan dari kitab “Lathaiful Ma’arif”  karya Ibnu Rajab Al Hambali dan “Bida’ wa Akhtha’ Tata’allaqu bil Ayyaam Wa syuhur” karya Ahmad bin Abdullah As Sulami oleh Rizki Amipon Dasa).

Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

KEUTAMAAN PUASA ‘ASYURA

Mungkin bulan-bulan yang sering kita dengar adalah bulan-bulan pada penanggalan kalender masehi. Namun sebagai seorang muslim, kita harus mengetahui bulan-bulan yang ada pada penanggalan kalender hijriyah. Dan di dalam kalender hijriyah, terdapat empat bulan yang disebut bulan-bulan haram.
Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram…” (QS. At-Taubah: 36).
Adapun bulan-bulan yang telah Allah tetapkan sebagai bulan haram (bulan yang dimuliakan, ed) adalah bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram.
Insyaa Allah pada kesempatan kali ini, kita akan membahas suatu amalan yang agung, yang terdapat di dalam salah satu di antara bulan-bulan yang haram. Amalan tersebut adalah Puasa ‘Asyura yang jatuh pada tanggal sepuluh di bulan Muharram.

Keutamaan Amalan Puasa

Sebelum membahas keutamaan Puasa ‘Asyura, sungguh puasa itu sendiri adalah amalan yang Allah sendiri akan membalasnya, dan dilipatkan gandakan tanpa batas pahalanya.
Bacalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (yang artinya), “Setiap amalan kebaikan anak Adam akan di lipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim)
Kemudian sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (yang artinya), “Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang bernama Ar-Royyaan. Pada hari kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk surga melalui pintu tersebut dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Dikatakan kepada mereka,’Di mana orang-orang yang berpuasa?’ Maka orang-orang yang berpuasa pun berdiri dan tidak ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut kecuali mereka. Jika mereka sudah masuk, pintu tersebut ditutup dan tidak ada lagi seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Keutamaan Puasa ‘Asyura

Setelah membaca hadits-hadits Nabi secara umum tentang keutamaan orang yang berpuasa, di dalam bulan Muharram terdapat anjuran secara khusus untuk berpuasa pada Hari ‘Asyura.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini disebutkan bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram. Dan di dalam bulan Muharram terdapat anjuran untuk berpuasa di Hari ‘Asyura.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), “Puasa ‘Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Kemudian terdapat suatu hadits yang menceritakan bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang pahala puasa hari ‘asyura. Maka Rasulullah menjawab: Aku berharap kepada Allah agar menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim)

Hukum Puasa ‘Ayura

Shahabat ‘Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengerjakan Puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para shahabat untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan hal tersebut- yakni berhenti mewajibkan mereka mengerjakan dan hukumnya menjadi mustahab (sunnah).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian perkataan shahabat Mu’awiyyah Radhiyallahu ‘anhu, “Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Hari ini adalah hari ‘Asyura. Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa padanya, tetapi aku berpuasa, maka barang siapa yang ingin berpuasa, maka berpuasalah. Dan barangsiapa yang ingin berbuka (tidak berpuasa), maka berbukalah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum bepuasa pada Hari ‘Asyura adalah mustahab (dianjurkan), yang sebelumnya adalah wajib. Tatkala disyariatkan Puasa Ramadhan, maka hukum Puasa ‘Asyura menjadi Sunnah

Menambah Puasa pada Tanggal Sembilan Muharram

Dianjurkan untuk menambah Puasa ‘Asyura pada tanggal sembilan Muharram, dalam rangka menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani. ‘Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan puasa hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, kemudian pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara.” Lantas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insyaa Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” ‘Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim)

Semangat Dalam Mengerjakan Amalan Sunnah

Meskipun hukum melaksanakan Puasa ‘Asyura adalah dianjurkan, hendaknya seorang muslim tetap semangat dalam melaksanakan amalan-amalan sunnah. Karena hal ini menjadi salah satu sebab Allah akan mencintainya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits Qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya…” (HR. Al-Bukhari)
Dalam shahihain, dari ‘Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah ditanya tentang hari ‘Asyura, maka beliau menjawab: Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam begitu menjaga keutamaan satu hari diatas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (maksudnya, hari ‘Asyura) dan bulan yang ini (maksudnya, bulan Ramadhan).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri sangat bersemangat dalam menjaga amalan Puasa ‘Asyura. Dan kita sebagai seseorang yang mengaku mencintai Nabi, hendaknya kita mencontoh amalan-amalan yang dilakukan oleh Beliau, meskipun dalam perkara yang bukan wajib. Semoga Allah memudahkan kita dalam melaksanakan salah satu syariat-Nya, dan semoga Allah menerima amalan kita. [Wiwit Hardi Priyanto*]
* Penulis adalah Alumni Ma’had al-‘Ilmi dan sekarang menjadi anggota takmir mahasiswa di Masjid al-Ashri Pogung Rejo; 300 m sebelah utara Fakultas Teknik UGM.

Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Amalan-Amalan di Bulan Muharram

Pembaca yang semoga senatiasa dirahmati Allah Ta’ala, sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Dimana bulan pertama dalam kelender hijriyah adalah bulan Muharram. Allah Ta’ala telah menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang mulia dan menjadikannya sebagai salah satu dari empat bulan haram (yang disucikan).

Bulan Muharram, Bulan yang Dimuliakan

Para pembaca yang budiman, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah sejak menciptakan langit dan bumi. Di antara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan yang suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian pada bulan-bulan (suci) tersebut.” (QS. At Taubah : 36)
Diantara keempat bulan haram (suci) tersebut adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaimana yang disebutkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam (yang artinya), “Satu tahun ada 12 bulan, diantaranya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab diantara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari)
Mengapa keempat bulan tersebut dinamakan bulan haram? Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah dahulu. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan maksiat lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya dikarenakan mulianya bulan tersebut.” (Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy)

Beberapa Amalan yang Dilakukan di Bulan Muharram

Para pembaca rahimakumullah, berikut akan kami bawakan beberapa amalan yang hendaknya dilakukan pada bulan Muharram.

1. Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah telah mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya, hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram ini dengan membaca Al Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa, dan lainnya.
Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan dosa-dosa selain bulan haram.
Qotadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.”

2. Perbanyaklah Puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Para salaf pun sampai-sampai sangat suka untuk melakukan amalan dengan berpuasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Lathaa-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab)

3. Puasa ‘Asyuro (Tanggal 10 Muharram)

Para pembaca yang dirahmati Allah, hari ‘Asyuro merupakan hari yang sangat dijaga keutamannya oleh Rasulullah, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam begitu menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (yaitu hari ‘Asyuro) dan bulan yang ini (yaitu bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu bentuk menjaga keutamaan hari ‘Asyuro adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyuro, mereka mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah” (HR. Bukhari)
Rasulullah menyebutkan pahala bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah ‘Asyuro, sebagaiamana riwayat dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyuro, kemudian beliau menjawab, “Puasa Asyuro menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat” (HR. Muslim)

4. Selisihi Orang Yahudi dengan Puasa Tasu’a (Tanggal 9 Muharram)

Setahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau berrtekad untuk tidak berpuasa hari ‘Asyuro (tanggal 10 Muharram) saja, tetapi beliau menambahkan puasa pada hari sebelumnya yaitu puasa Tasu’a (tanggal 9 Muharram) dalam rangka menyelisihi puasanya orang Yahudi Ahli Kitab.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau mengatakan, Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyuro dan menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (Tasu’a, untuk menyelisihi Ahli kitab)”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”
Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ada ulama lain yang membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram). (Asy Syarhul Mumti’, Ibnu ‘Utsaimin)

5. Muhasabah dan Introspeksi Diri

Hari berganti dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa pergantian tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita sadari, bertambahnya usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam akhirat.
Sebuah pertanyaan besar, “Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah atau malah dosakah yang bertambah??!” Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat untuk muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, masa hidupku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”
Wahai saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan yang panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat di hadapan Allah kelak? Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan setiap diri hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…” (QS. Al Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian di-hisab (pada hari kiamat), dan perhatikanlah apa yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.”
Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk tetap teguh berada di atas jalan kebenaran-Nya, bersegera untuk melakukan instrospeksi diri sebelum datang hari di-hisab-nya semua amalan, dan menjauhkan dari perbuatan maksiat yang bisa membuat noda hitam di hati kita. Wallahu Ta’ala a’lam.

Penulis : Raksaka Indra (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)
Muroja’ah : Ustadz Abu Salman

Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Selasa, 05 November 2013

BULAN MUHARRAM BULAN YANG MULIA

Bulan Muharram-atau yang lebih dikenal masyarakan Jawa dengan nama bulan suro-bukanlah bulan sial. Bukan pula waktu dimana kita harus menghindari aktivitas atau hajatan besar di bulan ini. Akan tetapi bulan ini adalah bulan yang Allah muliakan. Sepantasnya juga kita memuliakan bulan ini dengan ibadah dan amalan sholeh…

Bulan Muharram Bulan Suci
Kaum muslimin yang berbahagia, di dalam syariat islam telah dijelaskan kemuliaan bulan Muharram. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah 12 bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya 4 bulan suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah : 36).
Empat bulan suci tersebut adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Sebagaimana sabda Rasulullah sholallahu ’alaihi wasallam (yang artinya), “Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3 bulan berturut-turut, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang berada di antara bulan Jumada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 2958).
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan,”Dinamakan bulan haram karena ada dua alasan. Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaimana hal ini juga diyakini orang jahiliyyah. Kedua, karena pelarangan untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya.” (Lihat Zadul Maysir, Ibnul Jauziy).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tentang firman Allah surat at-Taubah ayat 36  diatas, “Allah mengkhususkan 4 bulan yang haram dan menegaskan keharamannya. Allah juga menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar. Demikian pula pahala amal saleh pada bulan tersebut juga menjadi lebih besar.”
Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin masih percaya dengan berbagai mitos tentang bulan Suro. Misalnya, masih banyak yang takut mengadakan acara pernikahan di bulan Suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti perceraian, dililit utang, atau yang lain. Ada yang takut bepergian jauh  di bulan Suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti kecelakaan, kematian, atau yang lain. Mereka menunda aktivitasnya ke bulan yang lainnya.

Janganlah mencela waktu 
Kaum muslimin -yang dirahmati Allah-, sesungguhnya Allah melarang kita untuk mencela dan menganggap sial suatu waktu tertentu, termasuk bulan Muharram ini. Dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah sholallahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya), ” Allah ta’ala berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku, ia mencela dahr (waktu), padahal Aku yang menciptakan waktu. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang”. (HR. Bukhari no. 5827 dan Muslim no. 5824)
Demikian pula hadist nabi yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya),” Thiyarah(menganggap sial sesuatu) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik.” (HR. Abu Daud no. 3910 dan Tirmidzi no. 1614, Tirmidzi mengatakan hadist ini hadist hasan shahih).
Dan termasuk thiyarah adalah keyakinan sebagian masyarakat kita yang menganggap bulan suro (muharram) adalah bulan sial. Thiyarah dapat mengurangi tauhid seseorang, karena dalam thiyaroh terdapat dua hal yaitu memutus tawakkal kepada Allah dan bertawakkal kepada selain Allah serta bergantung pada sesuatu yang tidak jelas. (Lihat AlQoulul Mufiid ‘ala Kitabit Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, terbitan Daar Ibnil Jauzi halaman 358)
Jika seorang melakukan tathoyyur disertai keyakinan sesuatu tersebut yang mendatangkan manfaat dan madhorot, maka dia terjatuh kedalam syirik akbar. Jika dia melakukan tathoyyur disertai keyakinan bahwa Allah yang mendatangkan manfaat dan madhorot, sesuatu tersebut hanya sebagai sebab saja, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar.
Perjalanan waktu telah diatur oleh Allah ta’ala. Barangsiapa yang mencacinya, berarti dia mencaci pengaturnya, yaitu Allah. Dan barangsiapa yang mencaci Allah, berarti telah merendahkan Allah. Sesungguhnya kesialan atau musibah merupakan bagian dari taqdir Allah yang ditimpakan kepada hambaNya yang dikehendaki.
Jika memang kebetulan kita terkena musibah di bulan ini, tentu bukan karena kesialan bulan muharram ini. Tetapi semua musibah itu disebabkan karena dosa dan kemaksiatan yang kita lakukan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Telah tampak musibah di daratan dan di lautan, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah ingin merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan dosa mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS.Ar-Rum: 41)
. 
Puasa yang sangat utama
Pada bulan Muharram, kita dinjurkan untuk memperbanyak puasa sunah. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), ”Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu bulan Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 2812).
Jangan lewatkan pula puasa Assyura’ yaitu puasa pada tanggal 10 Muharram. Dari Abu Qotadah radhiyallahu ’anhu berkata,”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arofah? Beliau menjawab,”Puasa Arofah(puasa pada tanggal 9 dzulhijjah) akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyuraa’? Beliau menjawab,”Puasa ’Asyura’ akan menghapus dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 2804).
Dan kita juga dianjurkan untuk berpuasa di tanggal 9 Muharram untuk menyelisihi kaum yahudi dan nashrani. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bercerita, Ketika  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada shahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan”. (HR. Bukhari).

Renungan pergantian tahun
Tidak terasa kita telah berada di awal tahun baru hijriyyah. Begitu cepatnya perjalanan waktu ini. Usia kita di dunia semakin berkurang, itu artinya kita semakin dekat dengan kehidupan akhirat. Benarlah apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu,“Hari-hari dunia ini semakin lama semakin meninggalkan kita. Hari-hari akhirat semakin lama semakin menanti di hadapan kita, setiap darinya memiliki anak, maka jadilah engkau anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia, karena sesungguhnya hari ini adalah hari untuk beramal dan tidak ada penghisaban, dan besok (hari akhirat) adalah hari penghisaban amal dan tidak ada lagi hari untuk beramal” (HR. Bukhari).
Maka saudaraku -di jalan Allah- marilah kita senantiasa menginstropeksi diri kita. Selama ini, apa sajakah yang kita kerjakan?. Sudah cukupkah bekal kita untuk menghadap Allah dan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita?. Marilah kita merenungkan firman Allah ta’ala,“Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Hasyr : 18).
Akhirnya, marilah kita memperbanyak amal sholeh dan meninggalkan keyakinan-keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran islam. Islam bukan berarti melarang semua adat istiadat dalam masyarakat. Hanya saja, adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran islam, terlebih lagi yang mengandung kesyirikan dilarang keras dalam islam. Karena kesyirikan adalah kelancangan dan kejahatan yang sangat besar terhadap hak Allah ta’ala. Nasihat ini adalah untuk diri kami sendiri dan untuk kaum muslimin. Kami hanya menginginkan sebagaimana yang diucapkan oleh nabi Syu’aib kepada kaumnya“Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud : 88)

Wallahu ’alam bis showab

Ferdiansyah Aryanto, Penulis adalah alumni Ma’had al-’IlmiYogyakarta.

Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Minggu, 29 September 2013

Biografi Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Nama

Nama beliau adalah Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan yang berasal dari keluarga Alu Fauzan dari Syamasiyah, mereka adalah penduduk yang menepati lembah Ad Dawasir.

Jabatan

Anggota dewan istimewa di Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta dan Hai’ah Kibaril ‘Ulama, Saudi Arabia, sejak 15 Rajab 1412 H.

Masa Kecil Dan Pendidikan

Beliau dilahirkan pada tahun 1363 H lalu orang tua beliau meninggal pada saat beliau masih kecil. Beliau dibina oleh keluarganya dengan mempelajari Al Qur’an. Beliau juga belajar dasar-dasar qira’ah dan kitabah pada imam masjid di daerah tinggalnya, yaitu seorang Qari’ yang mutqin yang bernama Syaikh Hamud bin Sulaiman At Talaal. Terakhir Syaikh Hamud ini bertugas di pengadilan daerah Dhariyyah provinsi Qashim.

Kemudian Syaikh Fauzan masuk ke sekolah negeri yang baru dibuka di Syamasiyah pada tahun 1369 H. Kemudian beliau juga menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Faishaliyah di daerah Buraidah pada tahun 1371 H. Beliau lalu ditetapkan sebagai pengajar di sekolah dasar setelah itu. Beliau kemudian masuk ke Ma’had Al ‘Ilmi di Buraidah ketika baru dibuka pada tahun 1373 H, hingga beliau lulus pada tahun 1377 H. Pada tahun itu, beliau melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah (Universitas Imam Muhammad bin Su’ud) di Riyadh hingga lulus pada tahun 1381 H. Setelah itu beliau melanjutkan kuliah hingga meraih gelar Magister dalam bidang fiqih, lalu juga gelar Doktoral pada universitas tersebut juga pada bidang fiqih.

Aktifitas

Setelah lulus dari universitas, beliau menjadi pengajar di Ma’had Al ‘Ilmi Riyadh. Kemudian beliau pindah mengajar di Fakultas Syari’ah Universitas Imam Muhammad bin Su’ud. Setelah itu beliau berpindah lagi mengajar di tingkat magister Fakultas Ushuluddin. Beliau juga mengajar di Ma’had Ali Lil Qadha, hingga akhirnya diangkat menjadi mudiir di ma’had tersebut. Tapi beliau kembali mengajar lagi di Ma’had Ali Lil Qadha setelah masa kepengurusan beliau habis. Kemudian beliau menjadi anggota Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta, dan ini menjadi aktifitas utama beliau hingga sekarang.

Disela-sela tugasnya sebagai anggota Al Lajnah Ad Daimah, Syaikh Shalih Fauzan juga menjadi anggota Hai’ah Kibaril Ulama (Persatuan Ulama Besar) juga anggota dewan di Al Ma’jma Al Fiqhi (Asosiasi Ahli Fiqih) di Makkah Mukarramah. Beliau juga anggota Al Lajnah Al Isyraf ‘Alad Da’wah Fil Hajj (Komisi Urusan Da’wah Untuk Jama’ah Haji). Beliau juga mengajar di Universitas Al Amir Mat’ab bin Abdil Aziz Alu Su’ud di kota Malaz. Beliau juga mengasuh acara tanya-jawab di program Nuurul ‘Ala Ad Darb di radio.Sebagaimana beliau juga mengasuh berbagai rubrik di beberapa majalah terkait penelitian ilmiah dan fatwa. Bahkan sebagiannya sudah dicetak. Beliau juga membimbing penyusunan penelitian dan tesis untuk gelar magister maupun doktoral. Selain itu, banyak penuntut ilmu yang berada di bawah bimbingan beliau, yang senantiasa mengikuti majlis dan pengajian rutin beliau.

Masyaikh

Syaikh Shalih Fauzan menuntut ilmu pada banyak ulama besar ahli fiqih. Yang terkenal diantara mereka antara lain:
  • Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
  • Samahatus Syaikh Abdullah bin Humaid. Beliau (Syaikh Shalih Fauzan) dahulu rutin menghadiri pengajiannya di Buraidah.
  • Fadhilatus Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi
  • Fadhilatus Syaikh Abdurrazaq ‘Afifiy
  • Fadhilatus Syaikh Shalih bin Abdurrahman As Sukaiti
  • Fadhilatus Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi
  • Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Subail
  • Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Shalih Al Khulaifi
  • Fadhilatus Syaikh Ibrahim bin ‘Ubaid Al ‘Abdul Muhsin
  • Fadhilatus Syaikh Hamud bin ‘Aqlan
  • Asy Syaikh Al Ali’ An Nashir
Beliau juga belajar pada beberapa ulama Al Azhar Mesir pada bidang hadits, tafsir dan bahasa arab.

Karya Tulis
  • At Tahqiqat Al Mardhiyyah Fil Mabahits Al Fardhiyyah. Ini merupakan tesis beliau untuk gelar magister. (satu jilid)
  • Ahkam Al Ath’imah Fii Asy Syari’ah Al Islamiyyah. Ini merupakan tesis beliau untuk gelar doktoral. (satu jilid)
  • Al Irsyad Ila Shahihil I’tiqaad. (satu jilid)
  • Syarhul Aqidah Al Wasithiyyah. (satu jilid)
  • Al Bayaan Fima Akhta’ Fihi Ba’dhil Kitab. (satu jilid)
  • Majmu’ Muhadharaat Fil Aqidah Wad Da’wah. (dua jilid)
  • Al Khuthab Al Mimbariyyah Fil Munasabaat Al ‘Ashriyyah. (empat jilid)
  • Min ‘Alaam Mujaddiddin Fil Islaam.
  • Rasaail Fil Mawadhi’ Mukhtalifah
  • Majmu’ Fatawa Fil ‘Aqidah Wal Fiqhi. Yang diambil dari acara Nuurun ‘Ala Ad Darb dan dijilid menjadi empat jilid.
  • Naqdu Kitabil Halaal Wal Haraam Fil Islam.
  • Syarh Kitab At Tauhid
  • At Ta’qiib ‘Ala Ma Dzakarahu Al Khatib Fii Haqqi Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.
  • Mulakhash Al Fiqhi. (dua jilid)
  • Ithaafu Ahlil Iman bi Duruusi Syahri Ramadhan
  • Adh Dhayaa’ Al Laami’ Minal Ahadiits Al Qudsiyyah Al Jawaami’
  • Bayaanu Maa Yaf’aluhu Al Haaj Wal Mu’tamir
  • Kitab At Tauhid. Ada dua jilid yang diperuntukan bagi madrasah tsanawiyah.
  • Fatawa Wal Maqaalat. Yang disebarluaskan oleh majalah Ad Da’wah. Atau yang dikenal dengan Kitab Ad Da’wah.
Beliau memiliki beberapa kitab dan karya tulis lagi. Sebagian sudah tercetak dan sebagian masih dalam proses pencetakan.

Website



Sabtu, 28 September 2013

Faidah Seputar Aqidah Dari Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


بسم الله الرحمن الرحيم

Hakikat Iman

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan kepada-Nya agama secara lurus, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus” (QS. al-Bayyinah: 5)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu adalah ucapan, perbuatan, dan keyakinan. Karena Allah menamakan perkara-perkara ini sebagai agama yang lurus. Istilah agama dan iman adalah semakna. Yang dimaksud dengan agama yang lurus adalah millah/ajaran yang benar.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)

Unsur Keimanan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Bahkan, rasa malu juga merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari no. 9 dan Muslim no. 35).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Beliau menjadikan perkara-perkara ini semuanya sebagai bagian dari iman. Yaitu ucapan laa ilaha illallah, ini adalah ucapan. Menyingkirkan gangguan dari jalan, ini adalah amalan. Dan rasa malu sebagai cabang keimanan, maka ini adalah keyakinan…” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 181)

Fluktuasi Iman

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya mereka maka bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal: 2).

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa iman itu bertambah. Apabila seorang insan mendengar al-Qur’an maka bertambahlah imannya. Dan apabila dia jauh dari al-Qur’an maka berkuranglah imannya.” (lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad, hal. 175)

Tujuan Penciptaan

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Makna ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku- adalah agar mereka mengesakan Aku (Allah, pent) dalam beribadah. Atau dengan ungkapan lain ‘supaya mereka beribadah kepada-Ku’ maksudnya adalah agar mereka mentauhidkan Aku; karena tauhid dan ibadah itu adalah sama (tidak bisa dipisahkan, pent).” (lihat I’anat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/33])

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Dia (Allah) tidaklah membutuhkan ibadahmu. Seandainya kamu kafir maka kerajaan Allah tidak akan berkurang. Bahkan, kamulah yang membutuhkan diri-Nya. Kamulah yang memerlukan ibadah itu. Salah satu bentuk kasih sayang Allah adalah dengan memerintahkanmu beribadah kepada-Nya demi kemaslahatan dirimu sendiri. Jika kamu beribadah kepada-Nya, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memuliakanmu dengan balasan dan pahala. Ibadah menjadi sebab Allah memuliakan kedudukanmu di dunia dan di akherat. Jadi, siapakah yang memetik manfaat dari ibadah? Yang memetik manfaat dari ibadah adalah hamba. Adapun Allah jalla wa ‘ala, Dia tidak membutuhkan makhluk-Nya.”(lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 15-16)

Asas Agama Islam

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia’nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid [1/17] cet. Mu’assasah ar-Risalah)

Tiga Pilar Ibadah

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ibadah yang diperintahkan itu harus mengandung unsur perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini mengandung tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga unsur ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satu unsur saja maka dia belum dianggap beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja, maka ini adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan modal rasa harap semata, maka ini adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)

Tauhid Rububiyah Tidak Cukup

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).

Landasan Kecintaan

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kecintaan merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros segala ajaran agama. Dengan kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama islam, dan dengan berkurangnya cinta maka berkuranglah tauhid seorang insan. Yang dimaksud dengan cinta di sini adalah kecintaaan penghambaan yang mengandung perendahan diri dan ketundukan serta ketaatan secara mutlak dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari segala sesuatu selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allah, tidak boleh dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.”(lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 84)

Maqam Tauhid Yang Tertinggi

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tawakal kepada Allah adalah sebuah kewajiban yang harus diikhlaskan (dimurnikan) untuk Allah semata. Ia merupakan jenis ibadah yang paling komprehensif, maqam/kedudukan tauhid yang tertinggi, teragung, dan termulia. Karena dari tawakal itulah tumbuh berbagai amal salih. Sebab apabila seorang hamba bersandar kepada Allah semata dalam semua urusan agama maupun dunianya, tidak kepada selain-Nya, niscaya keikhlasan dan interaksinya dengan Allah pun menjadi benar.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 91)

Larangan Provokasi

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memberontak kepada para pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Sumber : Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA