Rabu, 31 Juli 2013

Panduan Shalat Idul Fithri dan Idul Adha

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang meniti jalan mereka hingga akhir zaman. 

Berikut adalah panduan ringkas dalam shalat ‘ied, baik shalat ‘Idul Fithri atau pun ‘Idul Adha. Yang kami sarikan dari beberapa penjelasan ulama. Semoga bermanfaat.

Hukum Shalat ‘Ied

Menurut pendapat yang lebih kuat, hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan yang dalam keadaan mukim[1]. Dalil dari hal ini adalah hadits dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

أَمَرَنَا - تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- - أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.[2]

Di antara alasan wajibnya shalat ‘ied dikemukakan oleh Shidiq Hasan Khon (murid Asy Syaukani).[3]

Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus melakukannya.

Kedua: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah kaum muslimin untuk keluar rumah untuk menunaikan shalat ‘ied. Perintah untuk keluar rumah menunjukkan perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied itu sendiri bagi orang yang tidak punya udzur. Di sini dikatakan wajib karena keluar rumah merupakan wasilah (jalan) menuju shalat. Jika wasilahnya saja diwajibkan, maka tujuannya (yaitu shalat) otomatis juga wajib.

Ketiga: Ada perintah dalam Al Qur’an yang menunjukkan wajibnya shalat ‘ied yaitu firman Allah Ta’ala,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al Kautsar: 2). Maksud ayat ini adalah perintah untuk melaksanakan shalat ‘ied.

Keempat: Shalat jum’at menjadi gugur bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied jika kedua shalat tersebut bertemu pada hari ‘ied. Padahal sesuatu yang wajib hanya boleh digugurkan dengan yang wajib pula. Jika shalat jum’at itu wajib, demikian halnya dengan shalat ‘ied. –
Demikian penjelasan Shidiq Hasan Khon yang kami sarikan-.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang menyatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah wajib bagi setiap muslim lebih kuat daripada yang menyatakan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah (wajib bagi sebagian orang saja). Adapun pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat ‘ied adalah sunnah (dianjurkan, bukan wajib), ini adalah pendapat yang lemah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan untuk melakukan shalat ini. Lalu beliau sendiri dan para khulafaur rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen), begitu pula kaum muslimin setelah mereka terus menerus melakukan shalat ‘ied. Dan tidak dikenal sama sekali kalau ada di satu negeri Islam ada yang meninggalkan shalat ‘ied. Shalat ‘ied adalah salah satu syi’ar Islam yang terbesar. ... 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan bagi wanita untuk meninggalkan shalat ‘ied, lantas bagaimana lagi dengan kaum pria?”[4]

Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Menurut mayoritas ulama –ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hambali-, waktu shalat ‘ied dimulai dari matahari setinggi tombak[5] sampai waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[6]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat 'Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan shalat 'Idul Adha. Ibnu ‘Umar  yang sangat dikenal mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah keluar menuju lapangan kecuali hingga matahari meninggi.”[7]

Tujuan mengapa shalat ‘Idul Adha dikerjakan lebih awal adalah agar orang-orang dapat segera menyembelih qurbannya. Sedangkan shalat ‘Idul Fitri agak diundur bertujuan agar kaum muslimin masih punya kesempatan untuk menunaikan zakat fithri.[8]

Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Ied

Tempat pelaksanaan shalat ‘ied lebih utama (lebih afdhol) dilakukan di tanah lapang, kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang.[9]

An Nawawi mengatakan, “Hadits Abu Sa’id Al Khudri di atas adalah dalil bagi orang yang menganjurkan bahwa shalat ‘ied sebaiknya dilakukan di tanah lapang dan ini lebih afdhol (lebih utama) daripada melakukannya di masjid. Inilah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin di berbagai negeri. Adapun penduduk Makkah, maka sejak masa silam shalat ‘ied mereka selalu dilakukan di Masjidil Haram.”[10]

Tuntunan Ketika Hendak Keluar Melaksanakan Shalat ‘Ied

Pertama: Dianjurkan untuk mandi sebelum berangkat shalat. Ibnul Qayyim mengatakan, “Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat mencontoh ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari ‘ied sebelum berangkat shalat.”[11]

Kedua: Berhias diri dan memakai pakaian yang terbaik. Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.”[12]

Ketiga: Makan sebelum keluar menuju shalat ‘ied khusus untuk shalat ‘Idul Fithri.

Dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ وَلاَ يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied pada hari Idul Fithri dan beliau makan terlebih dahulu. Sedangkan pada hari Idul Adha, beliau tidak makan lebih dulu kecuali setelah pulang dari shalat ‘ied baru beliau menyantap hasil qurbannya.”[13]

Hikmah dianjurkan makan sebelum berangkat shalat Idul Fithri adalah agar tidak disangka bahwa hari tersebut masih hari berpuasa. Sedangkan untuk shalat Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan terlebih dahulu adalah agar daging qurban bisa segera disembelih dan dinikmati setelah shalat ‘ied.[14]

Keempat: Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied. Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.”[15]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).”[16]

Tata cara takbir ketika berangkat shalat ‘ied ke lapangan:

[1] Disyari’atkan dilakukan oleh setiap orang dengan menjahrkan (mengeraskan) bacaan takbir. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab.[17]

[2] Di antara lafazh takbir adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)” 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[18]
Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, itu juga diperbolehkan.[19]

Kelima: Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied. Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas –yang ketika itu masih kecil- pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab,
نَعَمْ ، وَلَوْلاَ مَكَانِى مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ
Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.”[20]

Keenam: Melewati jalan pergi dan pulang yang berbeda. Dari Jabir, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘ied, beliau lewat jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.[21]

Ketujuh: Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat. Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.[22]

Tidak Ada Shalat Sunnah Qobliyah ‘Ied dan Ba’diyah ‘Ied

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, lalu beliau mengerjakan shalat ‘ied dua raka’at, namun beliau tidak mengerjakan shalat qobliyah maupun ba’diyah ‘ied.[23]

Tidak Ada Adzan dan Iqomah Ketika Shalat ‘Ied

Dari Jabir bin Samuroh, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْعِيدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ.
“Aku pernah melaksanakan shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah.”[24]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat, beliau pun mengerjakan shalat ‘ied tanpa ada adzan dan iqomah. Juga ketika itu untuk menyeru jama’ah tidak ada ucapan “Ash Sholaatul Jaam’iah.” Yang termasuk ajaran Nabi adalah tidak melakukan hal-hal semacam tadi.”[25]

Tata Cara Shalat ‘Ied

Jumlah raka’at shalat Idul Fithri dan Idul Adha adalah dua raka’at. Adapun tata caranya adalah sebagai berikut.[26]

Pertama: Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

Kedua: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir -selain takbiratul ihrom- sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”[27]

Ketiga: Di antara takbir-takbir (takbir zawa-id) yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.”[28] 

Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي
Subhanallah wal hamdulillah wa  laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).” Namun ingat sekali lagi, bacaannya tidak dibatasi dengan bacaan ini saja. Boleh juga membaca bacaan lainnya asalkan di dalamnya berisi pujian pada Allah Ta’ala.

Keempat: Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,
كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).”[29]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[30]

Kelima: Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

Keenam: Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

Ketujuh: Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir -selain takbir bangkit dari sujud- sebelum memulai membaca Al Fatihah.

Kedelapan: Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kesembilan: Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

Khutbah Setelah Shalat ‘Ied 

Dari Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ - رضى الله عنهما - يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”[31]

Setelah melaksanakan shalat ‘ied, imam berdiri untuk melaksanakan khutbah ‘ied dengan sekali khutbah (bukan dua kali seperti khutbah Jum’at).[32] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan khutbah di atas tanah dan tanpa memakai mimbar.[33] Beliau pun memulai khutbah dengan “hamdalah” (ucapan alhamdulillah) sebagaimana khutbah-khutbah beliau yang lainnya.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Dan tidak diketahui dalam satu hadits pun yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir. … Namun beliau memang sering mengucapkan takbir di tengah-tengah khutbah. Akan tetapi, hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau selalu memulai khutbah ‘iednya dengan bacaan takbir.”[34]

Jama’ah boleh memilih mengikuti khutbah ‘ied ataukah tidak. Dari ‘Abdullah bin As Sa-ib, ia berkata bahwa ia pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau selesai menunaikan shalat, beliau bersabda,
إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku saat ini akan berkhutbah. Siapa yang mau tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, silakan ia duduk. Siapa yang ingin pergi, silakan ia pergi.”[35]
 
Ucapan Selamat Hari Raya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun tentang ucapan selamat (tah-niah) ketika hari ‘ied seperti sebagian orang mengatakan pada yang lainnya ketika berjumpa setelah shalat ‘ied, “Taqobbalallahu minna wa minkum wa ahaalallahu ‘alaika” dan semacamnya, maka seperti ini telah diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi. Mereka biasa mengucapkan semacam itu dan para imam juga memberikan keringanan dalam melakukan hal ini sebagaimana Imam Ahmad dan lainnya. Akan tetapi, Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalasnya”. Imam Ahmad melakukan semacam ini karena menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai mengucapkannya bukanlah sesuatu yang dianjurkan. Dan sebenarnya bukan hanya beliau yang tidak suka melakukan semacam ini. Intinya, barangsiapa yang ingin  mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan barangsiapa yang meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh).”

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied, ia punya pilihan untuk menghadiri shalat Jum’at atau tidak. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. 

Dalil dari hal ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.”[36]

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[37] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.[38]

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[39]

Catatan:
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah dari An Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied dan shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[40] Karena imam dianjurkan membaca dua surat tersebut pada shalat Jum’at yang bertepatan dengan hari ‘ied, ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at dianjurkan untuk dilaksanakan oleh imam masjid.

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied –baik pria maupun wanita- maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur (4 raka’at) sebagai ganti karena tidak menghadiri shalat Jum’at.[41]

Demikian beberapa penjelasan ringkas mengenai panduan shalat Idul Fithri dan Idul Adha. Semoga bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, di hari yang baik untuk beramal sholih, 7 Dzulhijah 1430 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://rumaysho.com


[1] Lihat Bughyatul Mutathowwi’ fii Sholatit Tathowwu’, Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmoul, hal. 109-110, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1427 H.
[2] HR. Muslim  no. 890, dari Muhammad, dari Ummu ‘Athiyah.
[3] Kami sarikan dari Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/202, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422 H.
[4] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/183, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[5] Yang dimaksud, kira-kira 2o menit setelah matahari terbit sebagaimana keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarh Hadits Al Arba’in An Nawawiyah yang pernah kami peroleh ketika beliau membahas hadits no. 26.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/599 dan Ar Roudhotun Nadiyah, 1/206-207.
[7] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/425, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, tahun 1407 H [Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan ‘Abdul Qadir Al Arnauth]
[8] Lihat Minhajul Muslim,  Abu Bakr Jabir Al Jaza-iri, hal. 201, Darus Salam, cetakan keempat.
[9] HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889.
[10] Syarh Muslim, An Nawawi, 3/280, Mawqi’ Al Islam.
[11] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[12] Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.
[13] HR. Ahmad 5/352.Syaikh Syu’aib  Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/602.
[15] Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)
[17] Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 24/220, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[18] Idem
[19] Idem
[20] HR. Bukhari no. 977.
[21] HR. Bukhari no. 986.
[22] HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] HR. Bukhari no. 964 dan Muslim no. 884.
[24] HR. Muslim no. 887.
[25] Zaadul Ma’ad, 1/425.
[26] Kami sarikan dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[27] Idem
[28] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.
[29] HR. Muslim no. 891
[30] HR. Muslim no. 878.
[31] HR. Bukhari no. 963 dan Muslim no. 888.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/607.
[33] Lihat keterangan dari Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad, 1/425. Yang pertama kali mengeluarkan mimbar dari masjid ketika shalat ‘ied adalah Marwan bin Al Hakam.
[34] Idem
[35] HR. Abu Daud no. 1155 dan Ibnu Majah no. 1290. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[36] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310. Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)  mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.  Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
[37] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[38] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/596.
[39] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[40] HR. Muslim no. 878.
[41] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.

Sumber :  Rumaysho.com
 
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Selasa, 30 Juli 2013

Panduan I'tikaf Ramadhan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
 
Ada suatu amalan di bulan Ramadhan yang mesti kita ketahui bersama demi meraih banyak pahala di bulan tersebut. Amalan tersebut adalah i'tikaf. Bagaimanakah tuntunan Islam dalam menjalankan i'tikaf  di bulan Ramadhan? Berikut panduan ringkas yang semoga bermanfaat bagi para pengunjung rumaysho.com sekalian. Semoga Allah senantiasa memberkahi.

I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1]

Dalil Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa i’tikaf itu sunnah, bukan wajib kecuali jika seseorang mewajibkan bagi dirinya bernadzar untuk melaksanakan i’tikaf.”[2]

Dari Abu Hurairah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari”.[3]

Waktu i’tikaf yang lebih afdhol adalah di akhir-akhir ramadhan (10 hari terakhir bulan Ramadhan) sebagaimana hadits ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dengan tujuan untuk mendapatkan malam lailatul qadar, untuk menghilangkan dari segala kesibukan dunia, sehingga mudah bermunajat dengan Rabbnya, banyak berdo’a dan banyak berdzikir ketika itu.[5]

I’tikaf Harus Dilakukan di Masjid 

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. 
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[6] Termasuk wanita, ia boleh melakukan i’tikaf sebagaimana laki-laki, tidak sah jika dilakukan selain di masjid.[7]

I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja

Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. [8]

Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[9].[10]

Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[11] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[12] 
Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.

Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[13]

Wanita Boleh Beri’tikaf 

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri beliau untuk beri’tikaf.  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[14]

Dari ‘Aisyah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri'tikaf setelah kepergian beliau.”[15]

Namun wanita boleh beri’tikaf di masjid asalkan memenuhi 2 syarat
(1) Meminta izin suami dan 
(2) Tidak menimbulkan fitnah (godaan bagi laki-laki) sehingga wanita yang i’tikaf harus benar-benar menutup aurat dengan sempurna dan juga tidak memakai wewangian.[16]

Lama Waktu Berdiam di Masjid 

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak ada batasan waktu maksimalnya. Namun mereka berselisih pendapat berapa waktu minimal untuk dikatakan sudah beri’tikaf. [17]
Bagi ulama yang mensyaratkan i’tikaf harus disertai dengan puasa, maka waktu minimalnya adalah sehari. Ulama lainnya mengatakan dibolehkan kurang dari sehari, namun tetap disyaratkan puasa. Imam Malik mensyaratkan minimal sepuluh hari. Imam Malik  juga memiliki pendapat lainnya, minimal satu atau dua hari. Sedangkan bagi ulama yang tidak mensyaratkan puasa, maka waktu minimal dikatakan telah beri’tikaf adalah selama ia sudah berdiam di masjid dan di sini tanpa dipersyaratkan harus duduk.[18]

Yang tepat dalam masalah ini, i’tikaf tidak dipersyaratkan untuk puasa, hanya disunnahkan[19]. Menurut mayoritas ulama, i’tikaf tidak ada batasan waktu minimalnya, artinya boleh cuma sesaat di malam atau di siang hari.[20] Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak[21] adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).”[22]
 
Yang Membatalkan I’tikaf
  1. Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak.
  2. Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah ayat 187. Ibnul Mundzir telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa yang dimaksud mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim)[23].
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
  1. Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
  2. Melakukan hal-hal mubah seperti mengantarkan orang yang mengunjunginya sampai pintu masjid atau bercakap-cakap dengan orang lain.
  3. Istri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
  4. Mandi dan berwudhu di masjid.
  5. Membawa kasur untuk tidur di masjid.
Mulai Masuk dan Keluar Masjid

Jika ingin beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka seorang yang beri’tikaf mulai memasuki masjid setelah shalat Shubuh pada hari ke-21 dan keluar setelah shalat shubuh pada hari ‘Idul Fithri menuju lapangan. 

Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ - قَالَ - فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat shubuh, beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf beliau. Dia (Yahya bin Sa'id) berkata: Kemudian 'Aisyah radhiyallahu 'anha meminta izin untuk bisa beri'tikaf bersama beliau, maka beliau mengizinkannya.”[24]

Namun para ulama madzhab menganjurkan untuk memasuki masjid menjelang matahari tenggelam pada hari ke-20 Ramadhan. Mereka mengatakan bahwa yang namanya 10 hari yang dimaksudkan adalah jumlah bilangan malam sehingga seharusnya dimulai dari awal malam.

Adab I’tikaf

Hendaknya ketika beri’tikaf, seseorang menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdo’a, dzikir, bershalawat pada Nabi, mengkaji Al Qur’an dan mengkaji hadits. Dan dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.[25]

Semoga panduan singkat ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan membuahkan amalan tentunya.
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Cuplikan dari Buku Panduan Ramadhan


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/1699.
[2] Al Mughni, 4/456.
[3] HR. Bukhari no. 2044.
[4] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[5] Latho-if Al Ma’arif, hal. 338
[6] Fathul Bari, 4/271.
[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13775.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151.
[9] Fathul Bari, 4/271.
[10] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah, beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4/272.
[11] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754.
[12] Lihat Al Mughni, 4/462.
[13] Al Mugni, 4/461.
[14] HR. Bukhari no. 2041.
[15] HR. Bukhari no. 2026 dan  Muslim no. 1172.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/151-152.
[17] Lihat Fathul Bari, 4/272.
[18] Idem.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/153.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/154.
[21] I’tikaf mutlak, maksudnya adalah i’tikaf tanpa disebutkan syarat berapa lama.
[22] Al Inshof, 6/17.
[23] Fathul Bari, 4/272.
[24] HR. Bukhari no. 2041.
[25] Lihat pembahasan I’tikaf di Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158.

Sumber :  Rumaysho.com
 
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Batasan Waktu Minimal I’tikaf

I’tikaf berarti berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah. Dengan beri’tikaf, seseorang akan konsentrasi melakukan ibadah pada Allah. Dirinya akan lebih banyak mengintrospeksi diri kala bersendirian. Demikianlah salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di akhir-akhir Ramadhan. Dalam Shahih Bukhari, terdapat hadits dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri'tikaf selama dua puluh hari.” 

Lalu berapa lama waktu i’tikaf? Berapa waktu minimalnya bisa disebut i’tikaf?

Perselisihan Para Ulama

Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhoh). Imam Al Haromain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf.”

Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haromain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arofah. Imam Al Haromain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid.”

Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.

Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.[1]

Pendapat Jumhur Ulama

Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.” Lihat Al Majmu’ 6: 489.

Alasan jumhur ulama:

1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.

2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5: 179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.

3. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.

Beberapa Syubhat

Mengenai hadits Ibnu ‘Umar di mana ayahnya (‘Umar bin Al Khottob) berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ « فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Aku dahulu pernag bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, “Tunaikanlah nadzarmu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini.” (Al Muhalla, 5: 180)

Dijelaskan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah:
Jika ada yang beralasan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf kurang dari sepuluh hari. Ibnu Hazm menjawab, “Iya betul. Namun Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang jika kita melakukan i’tikaf kurang dari itu. Sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah beri’tikaf di selain masjid Nabawi. Seharusnya di selain masjid Nabawi tidak diperkenankan untuk i’tikaf. Rasul pun tidaklah pernah i’tikaf selain Ramadhan dan Syawal. Seharusnya selain dua bulan tersebut dilarang pula beri’tikaf. i’tikaf adalah suatu amalan kebajikan maka janganlah dilarang kecuali dengan nash (dalil) yang tegas yang menunjukkan larangan.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata pula, “Kami katakan bahwa beri’tikaf selama sepuluh hari itu boleh-boleh saja. Namun menyatakan tidak bolehnya beri’tikaf kurang dari sepuluh hari itu butuh dalil. Padahal Allah hanya menyebutkan secara mutlak dalam ayat (yang artinya), “(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Allah tidak membatasi i’tikaf dalam ayat ini dengan batasan waktu tertentu. Dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak. Dan tidak boleh membuat batasan kecuali dengan dalil.” Lihat Al Muhalla, 3: 642.

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz dalam Majmu’ Fatawanya (15: 441) berkata, “I’tikaf adalah berdiam di masjid dalam rangka melakukan ketaatan pada Allah Ta’ala baik berdiam lama atau sebentar. Karena tidak ada dalil dalam hal ini sejauh yang kuketahui yang menunjukkan batasan waktu minimal baik dalil yang menyatakan sehari, dua hari atau lebih dari itu. I’tikaf adalah ibadah yang disyari’atkan. Jika seseorang berniatan untuk bernadzar, maka i’tikaf yang dinadzarkan menjadi wajib. I’tikaf itu sama antara laki-laki dan perempuan.”

Kesimpulan Pendapat

Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)
Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja? Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Dan moga dari penjelasan ini terjawab pula pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Wallahu waliyyut taufiq. 

Sumber :  Rumaysho.com
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

I'tikaf di Malam Hari, Siangnya Kerja

Ada yang bertanya, bolehkah di malam hari itu melakukan i'tikaf dan di siang harinya tetap bekerja.  Permasalahan yang ditanyakan ini kembali pada masalah batasan minimal waktu i'tikaf.

Jangka Waktu Minimal I'tikaf

Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.

Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhoh). Imam Al Haromain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf.”

Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haromain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arofah. Imam Al Haromain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid.”

Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.

Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.[1]

Pendapat Jumhur Ulama

Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.

Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.” Lihat Al Majmu’ 6: 489.

Alasan jumhur ulama:

1. I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.

2. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5: 179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.

3. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.

Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)

Bedakan dengan I'tikaf Nadzar

Beda halnya jika i'tikafnya adalah i'tikaf nadzar, maka harus ditunaikan sesuai dengan hari yang ditentukan. Misalnya, jika ia bernadzar i'tikaf 3 hari 3 malam, maka ia harus menjalaninya tanpa keluar-keluar dari masjid ketika itu.

Contohnya saja dari perbuatan 'Umar bin Khottob yang bernadzar untuk i'tikaf semalam. 'Umar berkata pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ  فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
"Aku dahulu pernah bernadzar di masa Jahiliyah untuk beri’tikaf selama satu malam di masjidil harom.” Beliau pun bersabda, “Tunaikanlah nadzarmu.” (HR. Bukhari no. 2032 dan Muslim no. 1656).

 Ibnu Hazm berkata, “Dalil ini adalah umum yaitu perintah untuk menunaikan nadzar berupa i’tikaf. Dan dalil tersebut tidak khusus menerangkan jangka waktu i’tikaf. Sehingga kelirulah yang menyelisihi pendapat kami ini.” (Al Muhalla, 5: 180)

Jawaban ...

Sehingga jika ada yang bertanya, bolehkah beri’tikaf di akhir-akhir Ramadhan hanya pada malam hari saja karena pagi harinya mesti kerja?

Jawabannya, boleh. Karena syarat i’tikaf hanya berdiam walau sekejap, terserah di malam atau di siang hari. Misalnya sehabis shalat tarawih, seseorang berniat diam di masjid dengan niatan i'tikaf dan kembali pulang ke rumah ketika waktu makan sahur, maka itu dibolehkan.
Baca penjelasan selengkapnya mengenai masalah ini di artikel: Batasan Minimal Waktu I'tikaf.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber :  Rumaysho.com

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Sabtu, 27 Juli 2013

Berburu Lailatul Qadar

Malam lailatul qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Karunia dari Rabbul ‘alamin kepada para hamba-Nya yang mencintai ketaatan kepada-Nya. Keutamaan dan keistimewaannya masyhur di tengah kita semua. Lalu, bagaimana memburunya?

## Tips Dalam Berburu Lailatul Qadar

Komisi Tetap Penelitian dan Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz memberikan beberapa tips untuk berburu lailatul qadar :

Pertama : Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dengan kesungguhnya yang lebih dari pada malam-malam sebelumnya dalam mengerjakan shalat, membaca Al Qur’an, dan berdo’a. Sebagaimana hadits diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha, bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam jika memasuki sepuluh malam akhir bulan Ramadhan, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam menghidupkan malam dan membangunkan keluarganya dan mengencangkan kain sarungnya.

Juga dalam Shahih Muslim dan Musnad Ahmad, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dengan kesungguhan yang berbeda dari pada malam-malam sebelumnya.

Kedua : Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menghasung umatnya untuk mengerjakan shalat malam dengan dasar keimanan yang mengharapkan pahala yang besar. Sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat malam pada malam lailatul qadar karena iman dan mengarapkan pahala, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Al Jama’ah kecuali Ibnu Majah)

Hadits ini merupakan dalil disyariatkannya menghidupkan malam di sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan shalat malam.

Ketiga : Do’a yang paling afdhal untuk diperbanyak dibaca ketika malam lailatul qadar adalah do’a yang diajarkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ’anha. Sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan At Tirmidzi yang juga beliau nilai shahih, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika seandainya saya mengetahui bahwa suatu malam adalah malam lailatul qadar. Apa yang saya baca ketika itu?” Rasulullah bersabda, “Bacalah : ‘Allāhumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni’ (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi Maaf, dan Engkau menyukai permintaan maaf, maka ampunilah aku)’

Keempat : Mengkhususkan suatu malam dari malam-malam Ramadhan bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar itu membutuhkan dalil yang jelas. Namun secara umum, malam-malam ganjil terutama malam ke dua puluh tujuh lebih besar kemungkinannya sebagai malam lailatul qadar dibanding malam-malam yang lain. Karena terdapat hadits-hadits shahih yang menyatakan hal tersebut.

Kelima: Adapun perbuatan bid’ah, tidak diperbolehkan di bulan Ramadhan maupun di waktu lain. Karena terdapat hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-ada suatu perkara dalam urusan kami ini (urusan agama), yang tidak ada asalnya dari agama, maka itu tertolak

Hal ini terkait yang diadakan sebagian orang di bulan Ramadhan berupa perayaan-perayaan yang tidak kita ketahui tuntunannya (Fatawa Ramadhan, 10/414-415)

Apakah Perlu Bersungguh-Sungguh Di Siang Hari Juga?

Sebagaimana telah disebutkan dalam hadits riwayat Muslim, “beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersungguh-sungguh pada al ‘asyrul al awakhir (sepuluh hari terakhir) bulan Ramadhan dengan kesungguhan yang berbeda dari pada malam-malam sebelumnya”.
Dalam hadits ini digunakan lafadz al ‘asyrul al awakhir yang artinya ‘sepuluh terakhir’. Ini menunjukkan kesungguhkan beliau tidak hanya pada malam hari saja, namun sehari-semalam beliau bersungguh-sungguh.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan mengerjakan shalat malam terutama pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Dan malam-malam yang ganjil lebih ditekankan lagi, dan yang paling kuat kemungkinannya pada malam ke dua puluh tujuh. Dan disyariatkan untuk bersungguh-sungguh melakukan ketaatan kepada Allah pada siang dan malam hari di sepuluh hari terakhir Ramadhan” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/432).

Apakah Perlu Berburu Lailatul Qadar Di Malam-Malam Genap?

Imam Ibnu Hazm Al Andalusi memiliki pandangan yang memberikan kita alasan untuk berburu malam lailatul qadar di malam genap juga. Dalam kitab Al Muhalla beliau berkata, “Lailatul Qadar itu ada hanya sekali dalam setahun, dan hanya khusus terdapat di bulan Ramadhan-nya serta hanya ada di sepuluh malam terakhirnya, tepatnya hanya satu hari saja dan tidak akan pernah berpindah harinya. Namun, tidak ada satu orang manusia pun lailatul qadar jatuh di malam yang mana dari sepuluh malam tersebut. Yang diketahui hanyalah bahwa ia jatuh di malam ganjil.

Andaikata Ramadhan itu 29 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-20. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-20, atau ke-22, atau ke-24, atau ke-26, atau ke-28. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir.

Andaikata Ramadhan itu 30 hari, maka dapat dipastikan bahwa awal dari sepuluh malam terakhir adalah malam ke-21. Sehingga, lailatul qadar dimungkinkan jatuh pada malam ke-21, atau ke-23, atau ke-25, atau ke-27, atau ke-29. Karena inilah malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir” (Al Muhalla, 4/457)

Amalan Untuk Meraih Lailatul Qadar
  1. Shalat Malam
Sebagaimana hadits yang telah lewat, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat malam pada malam lailatul qadar karena iman dan mengarapkan pahala, dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni

  1. Berdo’a
Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ’anha yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam meminta diajari amalan yang dilakukan ketika lailatul qadar, ternyata Rasulullah mengajarkan ‘Aisyah untuk berdo’a. Dari sini para ulama mengatakan bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang dianjurkan untuk memperbanyak do’a. Dan do’a yang paling afdhal adalah do’a yang Nabi ajarkan, sebagaimana telah disebutkan.

  1. Membaca Al Qur’an
Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Dan setiap malam malaikat Jibril datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam untuk mengajarkan dan mendengarkan hafalan Al Qur’an Nabi. Hal ini diceritakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk mengajarkan Al Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi angin yang berhembus” (HR. Bukhari)
Maka pada malam hari bulan Ramadhan terutama sepuluh hari terakhir dianjurkan untuk memperbanyak bacaan Al Qur’an.

  1. Istighfar
Hendaknya memperbanyak istighfar di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ’anha yang diajari Rasulullah sebuah do’a untuk diamalkan ketika malam lailatul qadar yang isinya adalah permohonan ampun kepada Allah. Waktu malam secara umum adalah waktu yang afdhal untuk beristighfar, Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya: “Ketika waktu sahur (akhir-akhir malam), mereka berdo’a memohon ampunan” (QS. Adz Dzariyat: 18)

  1. I’tikaf
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk meraih lailatul qadar. Sebagaimana hadits yang terdapat dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Aku dahulu beri’tikaf pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan untuk mencari lailatul qadar , lalu aku beri’tikaf pada sepuluh hari. Kemudian diwahyukan kepadaku bahwa lailatul qadar ada di sepuluh hari terakhir. Maka barangsiapa yang mau beri’tikaf hendaknya ia beri’tikaf”. Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau

Inilah beberapa amalan utama untuk meraih lailatul qadar. Namun selain amalan-amalan ini, hendaknya juga melakukan amalan-amalan ketaatan lain yang termasuk dalam kategori ‘menghidupkan malam’, seperti memperbanyak dzikir dan bershalawat.

Apakah Orang Yang Tidak Bisa I’tikaf Berkesempatan Meraih Lailatul Qadar?

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah memberi teladan kepada kita bahwa cara untuk mendapatkan lailatul qadar adalah dengan i’tikaf. Ini menunjukkan bahwa orang yang beri’tikaf berkesempatan lebih besar untuk meraih lailatul qadar. Namun bagi orang yang berhalangan untuk beri’tikaf semisal wanita haid, orang yang sakit, musafir, semisalnya tetap berkesempatan untuk meraih lailatul qadar. Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Dalam Musnad Ahmad dan Sunan An Nasa-i terdapat hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda tentang bulan Ramadhan, “Di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa terhalang dari berbuat kebaikan di malam itu maka terhalang baginya kebaikan seribu bulan”.

Juwaibir pernah bertanya kepada Adh Dhahhak, “Bagaimana pandanganmu tentang wanita-wanita yang sedang nifas, haid, dan juga musafir serta orang yang tidur di malam lailatul qadar? Apakah mereka mendapat bagian dari lailatul qadar?’. Adh Dhahhak berkata, “Ya, setiap orang yang diterima amalannya pada malam itu mendapat bagiannya dari lailatul qadar’’ (Lathaa-if Al Ma’arif, 192).

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Semoga kita termasuk hamba Allah yang sukses meraih lailatul qadar. Wabillahi at taufiq.

Penulis : Ustadz Yulian Purnama, S.Kom (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Sumber : Buletin At Tauhid Muslim.Or.Id 

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA

Perusak Pahala Puasa

Puasa dan Meraih Pahala Istimewa

Puasa yang merupakan salah satu rukun Islam adalah ibadah yang sangat istimewa dimana Allah Ta’ala sendirilah yang akan membalas dan memberi pahala bagi pelakunya secara khusus. Allah Ta’ala merahasiakan pahala besar yang tak terbatas yang akan diraih seseorang jika ia dapat melaksanakan ibadah mulia ini dengan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan dan adab-adab puasa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam sebuah hadits qudsi, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Allah Ta’ala berfirman : “setiap amal manusia adalah untuknya, kecuali puasa, maka sesungguhnya ia (puasa ini) adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya (secara khusus)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (yang artinya), “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan dasar iman dan mengharap pahala, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau” (HR. Bukhari dan Muslim)

Untuk catatan, para ulama mengatakan bahwa dosa-dosa yang terhapus karena puasa adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar (seperti berzina) maka pelakunya harus bertaubat yang sebenar-benarnya agar dosa-dosa itu juga diampuni oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikesempatan yang lain bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya disurga ada sebuah pintu yang dinamakan ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa sajalah yang akan masuk (surga) melalui pintu tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan banyak lagi janji-janji pahala yang dijanjikan kepada orang-orang yang menunaikan ibadah yang istimewa ini. Akan tetapi, disamping memberi kabar gembira tentang pahala-pahala puasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mewanti-wanti kita agar jangan sampai melakukan hal-hal yang dapat mengurangi, merusak, bahkan bisa jadi melenyapkan pahala puasa itu.

Hal-hal yang Dapat Mengurangi dan Merusak Pahala Puasa

Di dalam hukum fiqih, jika seseorang berniat ibadah puasa dimalam hari (sebelum fajar menyingsing), lalu ia meninggalkan segala hal yang dapat membatalkan puasanya, seperti makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri, maka puasanya dapat dikatakan sah. Artinya, telah terlepas kewajiban berpuasa darinya. Namun apakah hal tersebut pasti membuahkan pahala? 

Pada dasarnya, segala perkara yang sia-sia -apalagi maksiat- dapat merusak pahala puasa seseorang. Oleh karena itu, seyogyanya kita menghindarinya sekuat tenaga agar kita dapat meraih pahala yang sempurna dengan izin Allah melalui puasa yang kita laksanakan. Atau paling tidak jangan sampai puasa kita –meskipun sah– tidak berbuah pahala, melainkan hanya mendapat lapar dan haus semata, na’uudzu billaah min dzalik. Diantara perkara-perkara tersebut adalah :
  • Berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), bertindak bodoh, dan melakukan perkara yang sia-sia
Sebagian orang yang berpuasa terkadang meskipun ia mampu menahan lapar dan dahaga, namun ia tidak dapat menahan lisannya dari perkataan yang kotor dan tidak senonoh. Ada juga yang tidak memahami salah satu hikmah puasa, yaitu melatih kesabaran, sehingga jika terjadi sedikit saja perselisihan maka hal tersebut mendorongnya untuk melakukan pertengkaran dan perdebatan dengan saudaranya sesama muslim. Yang lain berpuasa dengan “tekun” namun sembari berbuat usil terhadap orang lain, atau melakukan hal-hal yang tidak membawa manfaat baginya sama sekali baik manfaat di dunia maupun manfaat di akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), ”Apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Berkata dan melaksanakan kedustaan
Sebagaimana yang kita maklumi bahwa perbuatan dusta adalah perbuatan haram, baik bagi orang yang berpuasa maupun yang sedang tidak berpuasa. Namun perbuatan haram yang satu ini semakin besar dampak negatifnya bagi orang yang berpuasa. Bayangkan, seseorang berjuang menahan lapar dan haus, dan meninggalkan syahwat (berhubungung suami-istri) sejak terbitnya fajar hingga tenggelam matahari, namun apa yang ia dapatkan? Bisa jadi ia tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga disebabkan kedustaan yang ia lakukan. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi Allah”(HR. Bukhari)
  • Mendengar, melihat, membicarakan, dan melalukan segala perkara yang diharamkan olehAllah
Hikmah syariat yang tertinggi yang berada dibalik perintah puasa adalah agar seseorang dengan ibadah puasanya ini dapat menjadi hamba Allah yang bertaqwa. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa juga telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al Baqarah : 183)

Hakikat taqwa – sebagaimana disebutkan oleh para ulama- adalah melakukan semua yang dapat menjaga diri seseorang dari kemarahan dan siksaan Allah Ta’ala dengan cara menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhkan segala yang dilarang.

Oleh karena itu segala hal yang berseberangan dengan hakikat taqwa tentu dapat mengurangi bahkan bisa merusak pahala dan hikmah puasa itu. Jadi sangat disayangkan dan merugilah orang yang mampu berpuasa dengan menahan keinginan perutnya untuk tidak makan dan minum, namun anggota-anggota tubuhnya yang lain tidak dapat ia tahan untuk melakukan perbuatan-perbuatan maksiat. 

Banyak sekali orang yang ketika berpuasa dan ketika menunggu waktu berbuka yang penuh berkah, mereka tidak melewatinya dengan beramal sholeh dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, namun justru menghabiskannya dengan sekian banyak perbuatan maksiat, baik yang diucapkan oleh lisan, seperti menggunjing orang (ghibah), mengadu domba sesama muslim (namimah), mencaci-maki orang, dan semisalnya, atau yang didengar oleh telinga, seperti mendengarkan musik dan mendengarkan lagu-lagu yang diharamkan, atau yang dilihat oleh mata, seperti menonton acara-acara maksiat, yang menampakkan fenomena aurat wanita yang bukan mahram, film-film atau drama-drama percintaan dan ajakan berbuat keji, ataupun yang dilakukan oleh anggota tubuh yang lain, seperti berpacaran, duduk bareng dipinggir jalan bersama lawan jenis dan semisalnya yang mereka lakukan dalam kondisi mereka sedang berpuasa dan sedang menunggu waktu berbuka puasa. Wa Laa hawla wa Laa quwwata illaa billaah

Semua ini –tanpa keraguan sedikitpun– merusak nilai-nilai dan janji pahala puasa yang istimewa dari Allah Ta’ala dan merusak inti tujuan dan hikmah disyari’atkannya puasa itu sendiri, yaitu untuk meraih derajat taqwa.

Makan dan minum adalah perkara yang – pada asalnya – mubah dilakukan oleh orang yang tidak sedang berpuasa, namun ia menjadi haram dilakukan pada saat puasa, dan dapat membatalkan puasa. Akan tetapi bagaimana dengan perbuatan maksiat? Perbuatan maksiat kapan saja ia tetap haram, baik saat berpuasa ataupun tidak. Bahkan kemaksiatan yang merupakan keburukan ini akan semakin bertambah buruk jika dilakukan oleh seseorang yang sedang melaksanakan puasa, dibanding pada saat yang lainnya. Perbuatan maksiat itu dapat merusak keutuhan puasa dan dapat membatalkan pahala puasa yang telah dijanjikan Allah Ta’ala. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadits nabawi diatas, ”Apabila seorang diantara kalian berpuasa maka janganlah ia berkata kotor, berteriak-teriak (bertengkar), dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mencela atau mengajaknya bertengkar maka katakanlah : ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa (dua kali)’ ” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dan hadits yang lain, “Barang siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan melakukan sesuatu dengan dasar kedustaan itu, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makanan dan minumannya itu disisi Allah”(HR. Bukhari)

Penutup

Oleh karena itu, marilah kita berusaha melaksanakan puasa ini sesuai dengan hikmah tertinggi puasa itu sendiri, yaitu agar dapat menjadi hamba Allah Ta’ala yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala dengan sebenar-benar taqwa, yaitu dengan cara mengikhlaskan ibadah puasa hanya untuk Allah Ta’ala dan menjalankan ibadah besar ini sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meninggalkan segala hal yang dapat merusak nilai dan pahala puasa sebagaimana yang telah dipaparkan diatas. Wallahu a’lam.

Penulis : Ustadz Kamal Abu Muhammad al Medany

Sumber : Buletin At Tauhid Muslim.Or.Id 

STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA