Amalan yang mulia tentu saja harus dimulai dengan ilmu terlebih dahulu. Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Barangsiapa
beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang
diperbuat lebih banyak daripada kebaikan yang diraih.” (Majmu’ Al Fatawa, 2/382). Jadi, agar ibadah puasa kita tidak sia-sia, dasarilah dan awalilah puasa tersebut dengan ilmu.
Puasa secara bahasa berarti menahan diri (al imsak)
dari sesuatu. Sedangkan secara istilah, puasa adalah menahan hal
tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu pada waktu tertentu dengan
memenuhi syarat tertentu. (Kifayatul Akhyar, hal. 248).
Dalil Kewajiban Puasa
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183).
Bahkan ada dukungan ijma’ (konsensus ulama) yang menyatakan wajibnya puasa Ramadhan.
Syarat Wajib Puasa
Ada empat syarat wajib puasa: (1) islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) mampu menunaikan puasa.
Rukun Puasa
Disebutkan dalam Matan Ghoyatul Ikhtishor,
rukun puasa itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan
minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jima’), (4) menahan diri
dari muntah dengan sengaja.
Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga hal:
1- At tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum shubuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An Nasaa-i, Ibnu Majah, dan Abu Dawud. Dinilai dho’if oleh Al Hafizh Abu Thohir tetapi dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani).
2- At ta’yiin, yaitu menegaskan niat, apakah puasa wajib ataukah sunnah.
3- At tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya. (Lihat Al Fiqhul Manhaji karya Syaikh Musthofa Al Bugho, dkk, hal. 340-341).
Kalau ada yang bertanya, bagaimanakah niat puasa Ramadhan? Maka kami jawab, “Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup.”
Karena niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah
berkehendak mau menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah
disebut berniat. Salah seorang ulama syafi’iyah, Muhammad Al Khotib
berkata, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat
letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan
melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Ar Roudhoh.” (Al Iqna’, 1/404).
Sepuluh Pembatal Puasa
Yang membatalkan puasa ada 10 hal :
(1) segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh),
(2) segala sesuatu yang masuk lewat kepala,
(3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat kemaluan atau dubur
Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal:
jika ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka
dan dilakukan dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf
di sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh
yang jadi pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari
luar ke perut melalui rongga terbuka. Sedangkan menelan ludah tidak
membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh. Lihat penjelasan ini
dalam Kifayatul Akhyar, hal. 249.
Komentar: Pada kenyataannya, dalil begitu
jelas menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa hanyalah makan dan minum
saja. Ini berarti bahwa yang dianggap membatalkan puasa adalah sesuatu yang masuk menuju perut (lambung).
Inilah yang menjadi batasan hukum dan jika tidak memenuhi syarat ini
berarti menunjukkan tidak adanya hukum. Sehingga pendapat terkuat dalam
masalah ini, yang dimaksud al jauf adalah perut (lambung), bukan organ lainnya dalam tubuh.
Juga ditambahkan bahwa yang membatalkan puasa adalah jika yang masuk ke dalam perut berupa makanan atau minuman, artinya bisa mengenyangkan, bukan segala sesuatu yang masuk dalam perut.
(4) muntah dengan sengaja
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang tidak sengaja muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak
ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka
wajib baginya membayar qodho’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi, shahih).
Yang dimaksud di sini adalah memasukkan pucuk zakar
atau sebagiannya secara sengaja dan dalam keadaan tahu akan haramnya hal
tersebut. Yang termasuk pembatal di sini bukan hanya jika dilakukan di
kemaluan, termasuk pula menyetubuhi di dubur manusia atau selainnya,
seperti pada hewan. Menyetubuhi di sini termasuk pembatal meskipun tidak
sampai keluar mani.
(6) keluar mani karena bercumbu.
Yang dimaksud bercumbu di sini adalah dengan
bersentuhan seperti ciuman tanpa ada pembatas, atau bisa pula dengan
onani. Sedangkan jika keluar mani tanpa bersentuhan seperti keluarnya
karena mimpi basah atau karena imajinasi pikiran, maka tidak membatalkan
puasa. (Lihat Al Iqna’, 1/408-409 dan Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344)
Dalam Hasyiyah Al Baijuri (1: 560) disebutkan bahwa keluarnya madzi tidak membatalkan puasa, walau karena bercumbu.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata,
“Diharamkan mencium pasangan saat puasa Ramadhan bagi yang tinggi
syahwatnya karena hal ini dapat mengantarkan pada rusaknya puasa.
Sedangkan bagi yang syahwatnya tidak bergejolak, maka tetap lebih utama
ia tidak mencium pasangannya.” (Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 344).
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata, “Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (Muttafaqun ‘alaih)
(9) Gila dan (10) Murtad
Tiga Sunnah Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ulama sepakat makan sahur hukumnya sunnah (Kifayatul Akhyar, hal. 252). Mengenai anjuran makan sahur disebutkan dalam hadits, “Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”(Muttafaqun ‘alaih).
Mengenai sunnah mengakhirkan makan sahur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan Zaid bin Tsabit pernah makan sahur. Ketika keduanya selesai dari
makan sahur, Nabi pun berdiri untuk pergi shalat, lalu beliau shalat.
Kami pun berkata pada Anas, “Berapa lama jarak antara waktu selesai makan sahur dan waktu dimulainya shalat?” Beliau menjawab, “Sekitar seseorang membaca 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih).
Ibnu Hajar berkata, “Hadits di atas menunjukkan jarak antara akhir
makan sahur dan mulai shalat.” (Fathul Bari, 4/138). Ibnu Abi Jamroh
mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa sahur itu diakhirkan.” (Idem)
(3) Meninggalkan kata-kata kotor
Orang yang berpuasa sangat ditekankan untuk meninggalkan ghibah (menggunjing orang lain) dan dusta, begitu juga meninggalkan perbuatan haram lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang tidak meninggalkan dusta dan malah melakukan konsekuensinya, maka
Allah tidak pandang lagi pada makan dan minum yang ia tinggalkan.” (HR. Bukhari).
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho berkata bahwa
mencela, berdusta, menggunjing, mengadu domba, dan semacamnya termasuk
perbuatan yang haram secara zatnya. Namun dari sisi orang yang berpuasa,
hal ini lebih berbahaya karena bisa menghapuskan pahala puasa, walau
puasanya itu sah dan telah dianggap menunaikan yang wajib. Sehingga
perkara ini tepat dimasukkan dalam adab dan sunnah puasa. (Lihat Al Fiqhu Al Manhaji, hal. 347)
Yang Mendapatkan Keringanan Tidak Puasa
1- Orang yang sudah tua renta (sepuh)
Selain berlaku bagi orang tua renta (sepuh) yang
tidak mampu puasa, juga berlaku untuk orang yang sakit yang tidak bisa
diharapkan sembuhnya.
Dari ‘Atho, ia mendengar Ibnu ‘Abbas membaca firman Allah Ta’ala (yang artinya), “
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin “.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Ayat itu tidaklah dihapus. Ayat itu berlaku untuk
orang yang sudah sepuh dan wanita yang sudah sepuh yang tidak mampu
menjalankan puasa. Maka hendaklah keduanya menunaikan fidyah, yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari tidak berpuasa.” (HR.
Bukhari).
2- Wanita hamil dan menyusui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa dan memberi
keringanan separuh shalat (shalat empat raka’at menjadi dua raka’at),
juga memberi keringanan tidak puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. Ahmad, hasan dilihat dari jalur lainnya).
Dalil yang menunjukkan kewajiban membayar fidyah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai ayat, “
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin“,
itu adalah keringanan bagi pria dan wanita yang sudah sepuh yang berat
untuk puasa, maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan kepada orang
miskin bagi setiap hari yang tidak berpuasa. Sedangkan wanita hamil dan
menyusui jika khawatir pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa
dan memberi makan satu orang miskin setiap hari. (HR. Abu Dawud).
3- Orang sakit dan musafir
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
Penulis : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. (Pengasuh website Rumaysho.Com dan Pimred Muslim.Or.Id)
Sumber : Buletin At Tauhid Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar