Saudaraku, yang semoga diberi taufik oleh Allah Ta’ala.
Saat ini kita lihat di mana masjid-masjid kaum muslimin tampak megah
dan indah dengan berbagai hiasan dan aksesoris di dalamnya. Namun
sangat-sangat disayangkan masjid-masjid tersebut sering kosong dari
jama’ah. Ini sungguh sangat mengherankan. Kita kadang melihat masjid
yang megah dan besar hanya dipenuhi satu shaf padahal jumlah kaum
muslimin di sekitar masjid itu amat banyak.
Berlatar belakang inilah, dalam risalah
yang ringkas ini kami berusaha mendorong setiap orang yang membaca
tulisan ini untuk melakukan shalat yang memiliki banyak keutamaan yaitu
shalat berjama’ah. Semoga Allah selalu memberi hidayah dan taufik kepada
kita sekalian.
Shalat Jama’ah Memiliki Pahala yang Berlipat daripada Shalat Sendirian
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّلاَةُ
فِى جَمَاعَةٍ تَعْدِلُ خَمْسًا وَعِشْرِينَ صَلاَةً فَإِذَا صَلاَّهَا
فِى فَلاَةٍ فَأَتَمَّ رُكُوعَهَا وَسُجُودَهَا بَلَغَتْ خَمْسِينَ صَلاَةً
“Shalat jama’ah itu senilai dengan
25 shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat ketika dia bersafar, lalu
dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tersebut bisa
mencapai pahala 50 shalat.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan,
“Kadang keutamaan shalat jama’ah disebutkan sebanyak 27 derajat, kadang
pula disebut 25 kali lipat, dan kadang juga disebut 25 bagian. Ini
semua menunjukkan berlipatnya pahala shalat jama’ah dibanding dengan
shalat sendirian dengan kelipatan sebagaimana yang disebutkan.” (Syarh Shohih Al Bukhari li Ibni Baththol, 2/271, Maktabah Ar Rusyd)
Dengan Shalat Jama’ah Akan Mendapat Pengampunan Dosa
Dari ‘Utsman bin ‘Affan, beliau berkata bahwa saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى
الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ
الْجَمَاعَةِ أَوْ فِى الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ذُنُوبَهُ
“Barangsiapa berwudhu untuk shalat,
lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian dia berjalan untuk menunaikan
shalat wajib yaitu dia melaksanakan shalat bersama manusia atau bersama
jama’ah atau melaksanakan shalat di masjid, maka Allah akan mengampuni
dosa-dosanya.” (HR. Muslim)
Dengan Setiap Langkah Menuju Masjid dan Menunggu Shalat Jama’ah…
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ
الرَّجُلِ فِى جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ
وَصَلاَتِهِ فِى سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ
أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ
لاَ يَنْهَزُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ لاَ يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ فَلَمْ
يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا
خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ
فِى الصَّلاَةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِىَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلاَئِكَةُ
يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِى مَجْلِسِهِ الَّذِى صَلَّى
فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ
تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalat seseorang dalam jama’ah
memiliki nilai lebih 20 sekian derajat daripada shalat seseorang di
rumahnya, juga melebihi shalatnya di pasar. Oleh karena itu, jika salah
seorang di antara mereka berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya,
kemudian mendatangi masjid, tidaklah mendorong melakukan hal ini selain
untuk melaksanakan shalat; maka salah satu langkahnya akan meninggikan
derajatnya, sedangkan langkah lainnya akan menghapuskan kesalahannya.
Ganjaran ini semua diperoleh sampai dia memasuki masjid. Jika dia
memasuki masjid, dia berarti dalam keadaan shalat selama dia menunggu
shalat. Malaikat pun akan mendo’akan salah seorang di antara mereka
selama dia berada di tempat dia shalat. Malaikat tersebut nantinya akan
mengatakan: “Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya
Allah, terimalah taubatnya”. Hal ini akan berlangsung selama dia tidak
menyakiti orang lain (dengan perkataan atau perbuatannya) dan selama dia
dalam keadaan tidak berhadats.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Melaksanakan Shalat Jama’ah Berarti Menjalankan Ajaran Nabi, Meninggalkannya Berarti Meninggalkan Ajarannya
Terdapat sebuah atsar dari dari ‘Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata,
مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى
هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ
لِنَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ
سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِى بُيُوتِكُمْ كَمَا
يُصَلِّى هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ
نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ
“Barangsiapa yang ingin bergembira
ketika berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah
shalat ini (yakni shalat jama’ah) ketika diseru untuk menghadirinya.
Karena Allah telah mensyari’atkan bagi nabi kalian shallallahu ‘alaihi
wa sallam sunanul huda (petunjuk Nabi). Dan shalat jama’ah termasuk
sunanul huda (petunjuk Nabi). Seandainya kalian shalat di rumah kalian,
sebagaimana orang yang menganggap remeh dengan shalat di rumahnya, maka
ini berarti kalian telah meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian.
Seandainya kalian meninggalkan sunnah (ajaran) Nabi kalian, niscaya
kalian akan sesat.” (HR. Muslim)
Pembicaraan Hukum Shalat Jama’ah dalam Al Qur’an
Allah Ta’ala menceritakan dalam firman-Nya mengenai shalat khouf (shalat dalam keadaan perang),
وَإِذَا
كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ
مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا
فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ
”Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang
shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) , maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan
hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka
denganmu.” (QS. An Nisa’ [4]: 102)
Dari ayat ini, Ibnul Qoyyim menjelaskan mengenai wajibnya shalat jama’ah:
”Ini merupakan dalil bahwa shalat jama’ah hukumnya adalah fardhu ’ain
karena dalam ayat ini Allah tidak menggugurkan perintah-Nya pada
pasukan kedua setelah dilakukan oleh kelompok pertama. Dan seandainya
shalat jama’ah itu sunnah, maka shalat ini tentu gugur karena ada udzur yaitu dalam keadaan takut. Seandainya pula shalat jama’ah itu fardhu kifayah maka sudah cukup dilakukan oleh kelompok pertama tadi. Maka dalam ayat ini, tegaslah bahwa hukum shalat jama’ah adalah fardhu ’ain
dilihat dari tiga sisi: [1] Allah memerintahkan kepada kelompok
pertama, [2] Selanjutnya diperintahkan pula pada kelompok kedua, [3]
Tidak diberi keringanan untuk meninggalkannya meskipun dalam keadaan
takut.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, hal. 110, Dar Al Imam Ahmad)
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ
يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ
(42) خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا
يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ (43)
“Pada hari betis disingkapkan dan
mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam
keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi
kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk
bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera.” (QS. Al Qalam [68]: 42-43)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala
menghukumi orang-orang tersebut pada hari kiamat. Mereka tatkala itu
tidak bisa sujud karena ketika di dunia mereka diajak untuk bersujud
(yaitu shalat jama’ah), mereka pun enggan. Jika memang seperti ini, maka
ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan mendatangi
masjid yaitu dengan melaksanakan shalat jama’ah, bukan hanya
melaksanakan shalat di rumah atau cuma shalat sendirian. Yang dimaksud
dengan memenuhi panggilan adzan (dengan menghadiri shalat jama’ah di
masjid), inilah yang ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits mengenai orang buta yang akan kami sebutkan nanti. (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 110)
Pembicaraan Hukum Shalat Jama’ah dalam As Sunnah
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
memperingatkan keras pria yang meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin
membakar rumah mereka. Tentu saja hal ini menunjukkan bahwa shalat
jama’ah adalah wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والذي نفسي بيده لقد هممت أن آمر بحطب فيحطب ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها ثم آمر رجلا فيؤم الناس ثم أخالف إلى رجال فأحرق عليهم بيوتهم
”Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk
mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk
menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku
memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju
orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar
rumah-rumah mereka”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى
الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ
يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى
دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ
نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».
”Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki
penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.”
Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat
berjama’ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian
Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun ketika lelaki itu
hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”. Rasulullah bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.”.”(HR. Muslim)
Orang buta ini tidak dibolehkan shalat
di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi
panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini
ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْمَدِينَةَ كَثِيرَةُ الْهَوَامِّ وَالسِّبَاعِ.
فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَسْمَعُ حَىَّ عَلَى
الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَحَىَّ هَلاَ ».
“Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Lihatlah laki-laki tersebut memiliki
beberapa udzur:
[1] dia adalah seorang yang buta,
[2] dia tidak punya
teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani,
[3] banyak sekali tanaman,
dan
[4] banyak binatang buas.
Namun karena dia mendengar adzan, dia
tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai
macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu
melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam
keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan
penglihatan dan sebagainya?!
Kesimpulan Pendapat
Memang diakui bahwa terjadi perselisihan
pendapat mengenai hukum shalat jama’ah. Ada yang mengatakan bahwa hukum
shalat jama’ah adalah wajib, ada yang mengatakan sunnah mu’akkad dan
ada pula yang mengatakan fardhu kifayah. Namun berdasarkan berbagai
dalil di atas, -menurut pendapat yang lebih kuat- shalat jama’ah adalah wajib
(fardhu ‘ain) sebagaimana hal ini adalah pendapat ‘Atho’ bin Abi
Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu ‘Amr Al Awza’i, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad
(yang nampak dari pendapatnya) dan pendapat Imam Asy Syafi’i dalam Mukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafi’i mengatakan:
وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107)
Shalat Jama’ah bagi Wanita Tidaklah Wajib
Shalat jama’ah tidaklah wajib bagi
wanita dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Akan
tetapi shalat jama’ah tetap dibolehkan bagi wanita –secara global-
menurut mayoritas ulama.
Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah- ketika ditanya apakah wanita wajib mengerjakan shalat secara jama’ah setiap melaksanakan shalat fardhu?
Beliau –hafizhohullah-
menjawab, “Wanita tidak wajib melaksanakan shalat secara berjama’ah.
Shalat jama’ah hanya wajib bagi laki-laki. Para wanita tidak wajib
mengerjakan shalat secara berjama’ah, akan tetapi boleh atau mungkin
dianjurkan bagi mereka melaksanakan shalat secara jama’ah dengan imam di
antara mereka (para wanita). Namun sebagaimana yang kami katakan bahwa
imam mereka berdiri di antara shaf yang ada (bukan maju ke depan)” (Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 103, Dar Ibnul Haitsam)
Semoga risalah yang ringkas ini
bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian. Semoga Allah membuka hati-hati
setiap muslim untuk tergerak mengerjakan shalat jama’ah dan memakmurkan
masjid-masjid mereka. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal]
Sumber : Buletin At Tauhid Muslim.Or.Id
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar