Salah satu fenomena memprihatinkan yang
terjadi pada kaum muslimin di zaman ini adalah, ketika ditanyakan
mengenai apa saja yang dapat membatalkan wudhu, apa yang dapat
membatalkan shalat, atau apa yang dapat membatalkan puasa, kita dapat
dengan mudah menjawabnya. Namun apabila ditanyakan, apa saja yang dapat
membatalkan syahadat? Banyak orang yang terdiam seribu bahasa.
Padahal, syahadat merupakan rukun
pertama dalam Islam. Mengetahui hal pokok seperti ini juga termasuk
kewajiban. Berikut ini kami ketengahkan pembahasan mengenai sepuluh
pembatal keIslaman. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk
menjauhi perkara-perkara tersebut.
Pertama. Syirik kepada Allah Ta’ala dalam ibadah
Pembatal keIslaman yang pertama dan paling besar ialah syirik kepada Allah Ta’ala. “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa di
bawah itu (syirik), bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisa’ : 48). Syirik dalam ibadah yaitu memalingkan suatu jenis ibadah kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla.
Oleh karena itu barangsiapa yang
menyembelih, bernadzar, atau sujud kepada selain Allah, begitu pula
berdoa dan menyeru kepada orang mati, meminta tolong (istighotsah) kepada makhluk (baik hidup maupun mati) dalam hal-hal yang hanya mampu dilakukan oleh Allah Ta’ala,
atau memalingkan ibadah selain itu yang seharusnya hanya ditujukan
untuk Allah semata, maka dia telah melakukan syirik akbar yang
mengeluarkannya dari millah (agama). Pelakunya, apabila meninggal dalam keadaan belum bertaubat, akan diadzab dalam neraka selamanya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dan ia menyeru kepada selain Allah (dan belum bertaubat –pen), masuk neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua, menetapkan adanya perantara antara seseorang dengan Allah, dalam rangka memohon syafaat dan bertawakkal kepadanya.
Inilah perbuatan yang teramat subur di negeri kita, Allahul musta’an,
bahwasanya orang-orang atau tokoh-tokoh yang mengaku mendakwahkan
Islam, justru mengajak manusia untuk meminta syafa’at dan mencari
perantara dalam berdoa kepada Allah. Jenis perantara yang populer ialah
orang-orang shalih yang telah mati. Mereka bernadzar, menyembelih,
bahkan thawaf di kuburan orang-orang shalih, dalam rangka memohon
syafaat kepada Allah.
Padahal, Allah telah berfirman (yang artinya), “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Aku kabulkan.” (QS. Ghafir : 60), dan Allah tidaklah berfirman, “Berdoalah kepadaKu melalui perantara Fulan, atau dengan perantara ini, itu!”.
Sungguh, inilah keyakinan kaum kafir Quraisy, yang Allah turunkan
Rasul kepada mereka dalam rangka membantah keyakinan sesat tersebut.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya” (QS. Az Zumar : 3).
Ketiga, tidak mengkafirkan kaum musyrikin, atau ragu dengan kekafiran mereka, atau (bahkan) membenarkan keyakinan mereka.
Termasuk dalam hal ini ialah ragu dengan
bathilnya agama-agama selain Islam. Inilah propaganda yang kerap
dilancarkan oleh pengusung paham pluralisme, yang menghembuskan
keragu-raguan dalam diri kaum muslimin. Berkedok jargon bathil “Semua
agama baik”, agenda taqrib (pendekatan) antar agama pun dilancarkan. Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meneladani Ibrahim alaihissalam, yang berkata kepada ayahandanya, juga kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah” (QS. Az Zukhruf : 27). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Laa
ilaaha illallah, tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah
melainkan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, meyakini bahwasanya ada petunjuk selain dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang lebih sempurna, atau meyakini bahwa ada hukum yang lebih baik dari hukum beliau.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka
demi Rabbmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65). Petunjuk Nabi ialah petunjuk yang paling sempurna. “Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan ialah kalamullah (Al Quran), dan sebaik-baik
petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Muslim).
Sebagian dari kaum muslimin,
bermudah-mudahan dalam mengkafirkan sesama kaum muslimin yang tidak
berhukum dengan hukum Allah, dengan berdalil pada ayat “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al Maidah : 44). Maka masalah mengkafirkan secara mu’ayyan
(personal), perlu dikembalikan kepada para ulama. Masalah ini juga
memiliki banyak rincian dan batasan-batasan lebih lanjut. Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada para penguasa di negeri-negeri kaum muslimin, untuk berhukum dengan hukum Allah.
Kelima, membenci suatu perkara yang merupakan ajaran Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, walaupun ia sendiri mengamalkannya.
Perbuatan ini merupakan jenis nifaq i’tiqadiy (munafik dalam hal keyakinan). Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka membenci apa yang
diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala)
amal-amal mereka.” (QS. Muhammad : 9). Walaupun pelakunya hanya
membenci satu saja diantara ajaran Nabi, dan meskipun ia sendiri juga
mengamalkannya, maka ia terancam kafir.
Akhir-akhir ini sangat sering kita
jumpai kaum muslimin yang menolak syariat, seperti poligami (bahkan
dengan terang-terangan “berfatwa” tentang haramnya poligami),
memanjangkan jenggot, dan sunnah-sunnah lainnya. Meskipun untuk memvonis
kafir terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, akan tetapi tetap
perlu kami ingatkan bahwa perbuatan membenci salah satu ajaran Nabi,
merupakan salah satu pembatal keIslaman.
Keenam, mengolok-olok salah satu ajaran Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau mengolok-olok pahala atau adzabnya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) , “Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman.” (QS. At Taubah : 65-66). Beberapa ulama membagi perbuatan istihza’ (mengolok-olok) ke dalam dua jenis (At Tanbihat Al Mukhtasharah, Syaikh Ibrahim Al Khuraishi), Pertama, Al istihza’ as shariih,
mengolok-olok dengan jelas, yaitu dengan lisan. Contohnya perkataan,
“Memelihara jenggot? Seperti kambing saja!”, atau “Celananya kok
cingkrang mas? Korban banjir apa?” Kedua, Al istihza’ ghairu shariih, jenis ini cakupannya lebih luas, seperti mengejek dengan menjulurkan lidah, memberi isyarat dengan mata, dan sebagainya.
Ketujuh, Sihir
Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sedang
keduanya (yaitu malaikat Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan
(bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir” (QS. Al Baqarah : 102).
Contoh sihir yang populer di zaman kita ialah santet, pelet, guna-guna,
pengasihan, dan sebagainya. Barangsiapa yang mempraktekkan atau
menyetujui praktek sihir, maka dia kafir.
Kedelapan, mendukung orang-orang musyrik dan membantu mereka memusuhi kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka (orang-orang kafir itu) menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.” (QS. Al Maidah : 51). Mendukung orang-orang kafir dalam
memusuhi kaum muslimin tidak hanya melalui harta atau tenaga, tetapi
juga termasuk andil dalam menyebarkan propaganda mereka seperti
pluralisme dan liberalisme, atau ide-ide kufur lainnya. Maka hendaknya
kita mewaspadai perbuatan tersebut.
Kesembilan, meyakini bahwa sebagian orang bisa keluar dari syariat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan leluasa.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’ala yang menyatakan bahwa syariat telah sempurna, tidak ada lagi penambahan atau pengurangan. “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu”
(QS. Al Maidah : 3). Diantara contoh nyata perbuatan ini, adalah
fenomena yang terjadi di sebagian aliran sesat, yang beranggapan apabila
seorang muslim telah mencapai derajat makrifat, telah lepas baginya
kewajiban-kewajiban seperti shalat, puasa, zakat, dan kewajiban lain
yang menurut mereka hanyalah untuk orang-orang yang baru derajat syariat
saja. Wal’iyadzubillah.
Kesepuluh, berpaling dari agama Allah, tidak mau mempelajari dan mengamalkannya.
“Dan siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya,
kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan
pembalasan kepada orang-orang yang berdosa” (QS. As Sajdah : 22). Mempelajari agama Islam terbagi menjadi dua, yaitu yang hukumnya fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Fardhu ‘ain
yaitu kita dituntut untuk mempelajari pokok-pokok agama, aqidah yang
benar, rincian rukun Islam seperti shalat, zakat, puasa. Inilah ilmu
yang wajib dipelajari oleh setiap muslim. Adapun mengetahui rincian ilmu
seperti tafsir, ushul fiqh, mustahalah hadits, maka hukumnya fardhu kifayah. Semoga Allah Ta’ala mengaruniakan kita taufiq dalam menuntut ilmu agama.
Perlu diketahui bahwa kesepuluh hal ini
bukanlah batasan jumlah. Dr. Shalih Al Fauzan menyebutkan bahwa terdapat
sekitar 400 perkara yang dapat membatalkan keIslaman, akan tetapi
dipilih sepuluh diantaranya yang paling penting dan tersebar bahayanya
di negeri kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik untuk menjauhi
hal-hal tersebut.
Sumber : Buletin At Tauhid
STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar